Part One (1)
Senja sudah mulai membayang di ufuk barat sana. Air laut sudah mulai pasang dan awan sudah mulai berwarna gelap. Sesekali, suara geluduk saling bersahutan. Burung-burungpun terbang bersama sebelum badai benar-benar datang. Tapi aku? Apa yang ku lakukan? Aku masih saja tetap disini, berdiam diri, menunggunya.
Angin kembali berhembus dengan sangat kencang. Kembali, kilatan-kilatan terbentuk di langit. Harusnya aku takut, sebagai wanita. Tapi aku tidak. Tak ada lagi rasa itu, semua rasa. Senang, bahagia, sedih, tangis, canda, marah, dan...cinta. Semua telah hilang seolah aku tak lagi berhak untuk memiliki semua rasa itu. Yang ada hanyalah hampa dengan hati yang kosong.
Aku duduk di atas pepasir putih ini. Membiarkan ombak menyapu kedua kakiku. Mencoba melepaskan seluruh rasa sakit, perih, dan pedih ini, pergi bersama ombak. Sejauh ini, cara itu berhasil mengurangi rasa sakit ini, tapi tentu saja ini semua sia-sia. Ntah sudah berapa banyak bulir air mataku yang jatuh tersapu bersama ombak.Ya Tuhan..apa salahku? Apa? Kenapa dia? Kenapa harus dia?.....Maafkan aku Tuhan, tapi aku tetap tak bisa....
***
Jakarta, Indonesia, 2012
Sial! Dasar tidak tahu seni!, gadis itu keluar dari sebuah ruangan yang berlabelkan ‘Director’ di atas pintu berdaun dua itu. Ia melemparkan begitu saja hasil jepretannya yang baru saja ditolakku di sekitar ruangan kerjanya.
Ia duduk frustasi di kursi yang memiliki roda di bagian bawahnya itu, memutar kursi ke kiri dan kanan. Masih teringat di memorinya ucapan pedas sang manager tempat ia bekerja. “kau bilang ini akan menaikkan penjualan majalah kita?! ini hanya sekedar sampah! Takkan ada yang mau membeli majalah kita bila edisinya seperti ini. Pikir Mia! Pikir! Aku menggajimu untuk memajukan perusahaan majalah ini. Ingat! Kita ‘The Most’! jadi kita harus menjadi yang paling dan terdepan!
‘arrgghhh’, gadis itu mengacak-acak rambut lurusnya yang tergerai. Ia kembali melirik ke hasil jepretannya yang berserakan di lantai. Photo mengenai kehidupan artis veteran yang sudah lama mengundurkan diri dari dunia keartisan. Veteran yang dulu berjaya dan tampil di berbagai stasiun TV di tahun 70-an. tapi, bossnya sama sekali tidak menghargai jerih payahnya. Diterima saja tidak.
Amia Desire, yang biasanya dipanggil Mia ini hanyalah seorang photografer di sebuah perusahaan majalah terbesar di Jakarta berlabel ‘The Most’ yang berjargon: Selalu terdepan. Mungkin ia adalah salah satu gadis beruntung yang bisa bekerja di perusahaan ‘The Most’. Tapi, ia tak pernah merasa seberuntung itu.
Malah, ia merasa perusahaan itu adalah neraka baginya. Bukan karena perusahaan itu menempatkannya sebagai seorang photografer yang merangkap sebagai seorang yang mengurus menata ini-itu dalam sebuah pemotretan, tapi terlebih karena manager The Most yang sangat teramat cerewet. Seorang perawan tua yang belum pernah menikah di umurnya yang menjelang 40 tahun itu.
Sebenarnya, ia bisa saja keluar dari perusahaan itu. Tapi, tidak untuk saat ini. Gadis itu – Mia, masih memikirkan nasibnya ke depan. Yang hanya bisa diandalkan adalah dirinya. Ia adalah gadis sebatang kara yang telah hidup sendiri di umurnya yang masih tergolong belia, sekitar 16 tahun. Ntah bagaimana, ia masih bisa selamat di umurnya yang menginjak 23 tahun itu. Bahkan, bisa dibilang sukses. Kedua orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan saat umurnya 16 tahun. Dan sejak saat itu, ia harus menghidupi dirinya sendiri. Bukan ia sampai putus sekolah, bahkan ia bisa menyelesaikan kuliahnya di usianya yang masih semuda itu di jurusan photography, University of Los Angeles sebagai lulusan termuda dan peraih nilai tertinggi. Soal harta peninggalan orang tuanya? Sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana keadaan harta kedua orang tunya. Sudah dibilang, ia masih tergolong sangat muda untuk bisa mengerti masalah harta seperti itu.
Pintu ruangannya berdecit dan terbuka sedikit. Tampak seorang gadis berambut cokelat melongoh ke dalam. Melihat Mia yang sedang berjongkok memunguti hasil karyanya itu, ia segera masuk dan membantu gadis yang telah dianggapnya sebagai sahabat itu.
“kau dimarahi lagi? Hem?”. Mia sedikit menoleh padanya dan mengerucutkan bibir sambil terus memunguti photonya yang ditolak itu. Tak perlu dijawabpun, gadis berambut cokelat itu sudah tahu jawabannya.
“Kelvin Shayne Romero kembali merislis single terbarunya yang berjudul ‘right here’ kemarin. Seperti yang telah kita duga, penyanyi yang sedang naik daun 3 tahun belakangan ini berhasil menembus angka 12 juta penonton youtube dalam 1 malam dan menduduki posisi pertama chart musik Indonesia dan Australia, serta masuk ke Billboard 100 USA dengan cepat. Indonesia harus bangga akan ini.
‘Romero, bisakah anda cerita bagaimana kesan anda mengetahui berita yang sangat luar biasa ini?’
‘yeah, saya sangat berterimakasih kepada fans yang telah membuat hal ini. I can’t expect this and thank you everybody’
Tangan Mia berhenti memunguti hasil karyanya itu. Ia berbalik menatap ke layar LCD yang ada di ruangan kerjanya yang baru saja menampilkan berita seorang penyanyi yang tengah naik daun di negeri ini. Ia tersenyum melihat lelaki itu berada di sana, tepatnya pada sang artis, Kelvin Shayne. Sayang, ia hanya seorang gadis yang berada di balik layar kaca itu.
***