The call

34 1 0
                                    

PART FOUR (4)

Lelaki berpostur tubuh besar memakai setelan jas berdiri dengan tegap di hadapanku. sepertinya ia telah lama menungguku di depan kamar mandi wanita ini. Aku sangat mengenal pria ini. Aku memberikan senyumku padanya. “jay? Ada apa?”

“kau menangis, nona muda?”, tanyanya dengan nada sarat kekhawatiran.

Aku tertawa lepas menutupi tudingannya yang benar 100%. “kau masih sama seperti dulu jay, suka bercanda. Aku tidak menangis kok. See?”, dustaku, tentu saja.

Jay menggeleng kuat. “tidak! Kau menangis nona muda. Dan aku tahu itu! Kau menangisinya kan? Menangisi Tuan muda?”, tudingnya, malah sangat frontal. Yah, seharusnya aku tidak melupakan sifatnya yang satu ini. Dia sangat pandai membaca air muka seseorang. Jadi, Jay akan bisa langsung tahu apakah orang yang di hadapannya berbohong atau tidak. Di tambah lagi, mungkin Jay mendengar isakanku di dalam. Sudahlah, memang tak ada gunanya membohongi jay.

Wajah ceriaku berubah datar. Aku tersenyum miring pada jay. “aku tidak apa-apa Jay. Sekarang aku bisa lega karena akhirnya bisa menangis. Ohiya, jangan panggil aku nona muda. Karena nona muda sekarang adalah perempuan itu....”lirihku pahit.

Jay menatapku dengan tatapan sedih. “tidak! Kau tetap nona mudaku, nona Mia. Karena aku tahu, pada akhirnya, kaulah yang akan menjadi nona muda dari tuan muda, tuan Kelvin! Dan kau tetap nona mudaku, dari dulu, sekarang, dan selamanya!”, Jay bersikeras

Aku cukup terharu mendengar penuturan Jay. Tak kusangka, ternyata masih ada orang yang menganggapku. Jay memang sangat mengerti aku sejak dulu. “terimakasih jay...”, aku menepuk-nepuk bahunya dan tersenyum.

“bersabarlah nona. Suatu hari, semua pasti akan kembali seperti sedia kala. Dan jika saat itu tiba, perempuan itu pasti akan rasakan ganjaran dari perbuatannya selama ini dari tangan tuan Kelvin sendiri. Nona tahukan jika tuan Kelvin sangat mencintai dan memujamu?”, ujar Jay dengan nada yang berapi-api.

“aku tahu itu Jay, begitupun aku.”

Kami kembali diam. Aku memikirkan kata-kata Jay dan mulai memercayai perkataannya. Aku yakin, saat itu akan tiba. Dimana penantianku tak akan sia-sia. “jay?”

“ya, nona muda?”

Aku menoleh padanya yang menatapku dengan tatapan penasarannya. “boleh aku memelukmu? Aku sangat merindukanmu”

Jay tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang putih, “tentu saja sayang. Ayo, kemari. Aku juga merindukanmu”. Jay merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan aku langsung menjatuhkan tubuhku ke dalam tubuh besarnya.

Ku peluk ia dengan sangat erat. Mencium aroma tubuh khasnya yang bau parfum paris kesukaannya, aku sangat mengenal aroma parfum ini. Aku teringat dulu saat aku dan kelvin berumur tujuh tahun, kami pernah menyembunyikan parfum jay yang membuat pria ini tak mau keluar rumah tanpa parfum itu.

Ntah berapa lama kami berpelukan. Dan aku tidak peduli terhadap orang-orang yang memperhatikan kami yang sedang berpelukan. Aku hanya ingin melapaskan kerinduanku pada Jay, bodyguard setia kelvin ini, yang telah ku anggap sebagai pamanku sendiri.

“jay?”

Kami melepaskan pelukan kami dan terkejut melihat dia berdiri beberapa meter dari kami. Dia berjalan menghampiri kami dengan tatapan curiga. Ia memandangi kami bergantian.

“kenapa kalian berpelukan?”,tanyanya dengan tampang penasaran.

“tuan kelvin? Ah, ti..tidak...kami..”, Jay menyahut dengan nada yang gelagapan.

“aku yang memeluknya kelv! Karena...dia seperti beruang madu...”, ujarku dengan pipi yang mungkin merona merah. Ada bohongnya, ada tidaknya. Karena waktu kecil, kami menyebut jay dengan beruang madu karena kulitnya yang hitam, asli dari Nusa Tenggara.

Kelvin hanya mengangguk mengerti. Lalu, deringan iPhone Kelvin berbunyi, menyanyikan salah satu dari penyanyi yang sangat ku benci di dunia ini. Aku sangat membenci suara cempreng itu. Jika boleh, aku ingin membanting iPhone Kelvin ke lantai yang keras ini.

Kelvin buru-buru mengambil iPhone dari kantung jeansnya. “eh, sebentar ya. Jilly menelpon. Aku harus menggangkatnya”kata kelvin cepat kemudian pergi meninggalkan kami.

Keningku berkerut. Jilly? Siapa Jilly?. “dia perempuan itu”, gumam Jay seolah bisa membaca pikiranku. Aku menoleh padanya dan bersungut kesal. “oh, begitu”. Aku mengangguk dengan tampang seolah aku ini bersikap biasa saja mendengar hal itu. jadi jilly itu maksudnya panggilan kesayangan? Huh. Memang aku harus bersikap bagaimana? Menangis meraung-raung di depan Jay? Atau sekalian saja di depan Kelvin dan memohon padanya untuk tidak mengangkat telepon dari perempuan psikopat itu? Tidak, tidak! Aku masih punya harga diri untuk hal yang satu itu

“ Jay, sepertinya aku harus kembali. Jika tidak, nenek tua itu pasti akan menggantungku! Oh Tuhaan...”, kataku mengucapkan suatu kalimat hiperbola. Dan berlagak dengan tangan terangkat ke udara dan memutar kedua bola mataku seperti orang yang frustrasi.

“sampai jumpa Jay. See ya?”, aku berpamitan pada Jay dengan memberikannya senyuman sumringah. Lalu berbalik meninggalkan Jay yang sepertinya masih harus menunggu sampai Kelvin kembali dari acara telepon bermesraannya itu.

“tapi, nona muda...”, lirih Jay dalam kepergianku dari hadapannya. Aku tahu, dia pasti sangat khawatir padaku. Tapi maaf Jay, aku bukanlah Mia yang seperti dulu. Aku bukanlah Mia yang cengeng, yang penakut, dan selalu bergantung pada Kelvin. Aku berbeda 100 derajat dari Amia Desire yang dulu...

***

“tenang saja Tuan Shayne. Asisten ku ini adalah photografer yang handal. Dialah yang akan mengatur seluruh acara pemotretanmu dengan nona Francois, bahkan dia yang akan memotret couple romantis di Indonesia ini. hahaha”

Errrhh..ucapan nenek cerewet itu masih saja berputar di otakku dan hampir saja aku berniat membanting kamera SLR kesayanganku ini. Kenapa harus aku yang memotret mereka? Aku tidak keberatan jika harus memotret kelvin. Tapi, memotret kelvin bersama wanita itu? Bisa-bisa kamera ini akan terlempar ke wajah buleknya itu. Ya ampun Tuhan..sabarkan aku.

“always said I would know where to find love. Always thought I’d be ready and strong enough, but sometimes.....”

Suara craig david melantun lembut dari handphone ku. Ku lirik handphone ku yang menampilkan sebuah nomor yang tidak ku kenal. Dengan malas, ku raih handphone yang terletak di atas ranjang dan menekan tombol hijaunya.

“ya, Desire disini. Siapa ini?”, sapaku dengan nada yang sangat berat karena malas.

“Mia? Ini betul kau kan Mia?”, tanya suara di seberang sana. Deg! Aku begitu mengenal suara ini. Suara yang sangat ku rindukan. Oke Mia, bersikap biasa saja. Kau dan dia hanya rekan kerja. Ingat itu!

Aku sedikit berdehem, “yeah. Siapa kau?”. Hey, apa terdengar galak?

Dia terkekeh dengan jelas di seberang sana. “kau galak sekali nona Desire. Apa aku menganggumu? Aku kelvin”

“oh, maaf Tuan Shayne. Aku kira kau penggemar rahasiaku. Kau sama sekali tak mengangguku. Ada apa kelvin?”, tanyaku dengan sikap yang sudah ku usahakan biasa saja sebisa mungkin. Hey, kau tahu? Ini sangat sulit. Seharusnya sekarang  aku berteriak histeris karena akhirnya, setelah sekian lama orang yang kau cintai menelponmu. Tapi, apa sekarang aku bisa berbuat begitu?

“tidak. Aku...emm..kau besok ada waktu luang tidak?”

Otakku berputar mengingat-ingat acara apa besok yang harus ku hadiri di hari minggu. Dan sialnya, aku tak bisa mengingat satupun acara yang telah ku janjikan untuk ku datangi. “emm, tidak!”

Kelvin seperti menghela napas, napas kelegaan. “baguslah. Bisakah kita bertemu? Aku perlu bicara dengamu”

Aku menimbang-nimbang tawaran Kelvin. Apa seharusnya aku senang? Tapi, aku sama sekali tak merasakan hal itu. Aku menimbang, apakah menerima atau menolak tawarannya. Jika ku terima, aku takut perasaan ku takkan terkendali, lost control!

“baiklah. Jam 10,  di Magenta Resto!”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 19, 2012 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The MemoriesWhere stories live. Discover now