Empat

333 35 3
                                    

"Wanita yang merangkak di atap itu. Kalian sudah melihatnya?"

Omongan siti membuatku membeku seketika tetapi Najwa hanya geleng-geleng kepala. Sudah pasti Siti tahu sesuatu! Oh ya tuhan apalagi ini...

"Kamu tau sesuatu ya Sit?" tanyaku to the point.

"Sedikit saja aku tahu. Saat menanyakan sejarah villa itu lebih jauh pada ibu saya, ibu malah marah-marah. Saya jadi takut buat nanya lagi,"

"Ga apa-apa kok Sit. Cerita kamu itu perlu kami tau." Najwa meyakinkan Siti.

"Baik saya akan cerita, tapi kita pindah yuk ke halaman biar ibu saya gak dengar," kami pun pindah ke halaman depan dan duduk di kursi yang tersedia.

"Jadi pada awal cerita ini, saat saya masih kecil. Kira-kira berumur 5 tahun dan belum sekolah. Saya dan teman-teman saya suka main sampai sore. Kalo sudah gitu, saya pasti dimarahi ibu saya.

Jadinya sejak saat itu saya ga boleh main jauh-jauh. Pas suatu hari, ibu saya lagi ngeberesin villa itu dan saya sama tiga kakak saya disuruh main di halamannya. Awalnya kami main kejar-kejaran. Tapi akhirnya kami bosen dan milih buat masuk ke dalam villa.

Akhirnya kami istirahat dan saya tiba-tiba ngerasa ada suara kratak-kratak gitu dari atas atap padahal ngga ada langit-langitnya. Waktu itu villanya baru 7 tahun dibangun. Dan saya belum mengerti dengan kehadiran mahluk seperti itu. Yang saya ingat saya menatap atap lama sekali. Dan pada akhirnya dia muncul."

"Kayak gimana bentuknya?" tanya Najwa dengan muka kepo.

"Saya sih gak terlalu inget. Tapi rambutnya kusut dan basah. Kadang-kadang airnya sampai netes le lantai gitu."

Aku dan Najwa terdiam memandang Siti. Sungguh sangat mengerikan jika memang benar apa yang Siti katakan. Aku kembali meminum teh hangat dan Najwa menyelesaikan makan bandrosnya.

•••••

Tak lama setelah Siti bercerita kami langsung pulang ke villa bersama Mbok Rah yang membawa 4 ikat kangkung dan bungkusan hitam.

Kami berdua membantunya hingga sampai di villa. Saat sampai di villa, Mbok Rah segera memasak di dapur. Dan teman-temanku hanya bermain ps secara bergantian.

Sambil menunggu, Maura, Ica dan Bagas bermain kartu uno yang sengaja di bawa dari bandung.

Aku dan Najwa telah sepakat untuk tidak menceritakan asal suara kratak-kratak itu agar semuanya tidak ketakutan dan memilih pulang. Tentu saja kami berdua tidak mau disalahakan atas gagalnya liburan kami semua.

"Sini Nat, Wa, main uno," tawar Ica.

"Ga ah Ca, di Bandung udah sering main gue," jawab Najwa disertai anggukan dariku.

"Ikut lah biar rame. Kalah juga gapapa kok ga akan dihukum,"

"Tetep g." kata Najwa. Aku terdiam. 

"Eh Ra, gue minjem laptop dong, mau ngeliat-liat foto waktu festival kampus kita,"

"Oohh boleh Nat. Laptopnya di kamar gue. Lo ambin sendiri ye,"

Aku mengangguk dan mengajak Najwa ke lantai dua. Setelah kami membuka pintunya, nampaklah nuansa kamar yang sangat kuno.

Ada lampu gantung juga yang tidak ada di kamarku. Hanya ada satu jendela yang membuat kamar Maura terkesan gelap.

"Kayaknya ini kamar utama dari semua kamar deh. Ada lampu gantungnya juga," ucap Najwa sisertai anggukanku.

"Yaudah gue ambil laptopnya dulu ya." ucapku pada Najwa.

Pukul 3 PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang