Hati yang terluka

171 7 1
                                    


Pagi menyapa. Ega sudah bangun sejak jam 3 pagi tadi. Seperti biasa, ia melaksanakan rutinitas nya untuk salat tahajjud. Selepas tahajjud, Ega tidak tidur lagi melainkan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an sembari menunggu adzan subuh tiba. Dengan membaca surat Ali Imran mulai dari ayat 18-79. Suara adzan mulai memenuhi telinga Ega. Lantunannya terdengar begitu merdu.

"Alhamdulillah.." senyum terukir di bibir tipis milik gadis mungil ini.
Ia bergegas menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu. Iqamah mulai terdengar, ia segera menjalankan ibadah salat subuh dengan mengikuti imam di masjid yang kebetulan berada di dekat gang ke arah kos Ega sehingga suara speaker nya sangat terdengar.
Dua rakaat telah Ega laksanakan dengan penuh khusyuk. Tak lupa sebagai hamba Allah ia selalu berdoa di akhir salat nya. Tak lain, Ega mendoakan calon suaminya yaitu Irwan. Dengan berurai air mata, hatinya bergetar setiap menyebut nama Allah dan nama Irwan yang selalu menjadi topik utama dalam doanya. Kejadian semalam kembali terlintas di benak Ega,membuat air mata turun semakin deras.

Ega tengah mempersiapkan segala keperluannya untuk mulai beraktivitas lagi di kampusnya. Ega sengaja berangkat lebih pagi karena ingin mengerjakan tugas yang semalam tak sempat ia kerjakan karena...
Ah, Ega tak ingin membahas hal itu lagi. Itu cukup menyakitkan u tuk diingat bagi Ega.
Ega mengganti baju dengan satu cardigan hijau daun polos dan kaos putih dengan celana jeans yang baru kali ini ia pakai. Baju itu adalah baju pemberian mama irwan. Ia mengambil tas ransel hitam dengan motif kecil berwarna pink di tengah-tengah tas itu. Meraih dua buah buku yang lumayan tebal dari lemari belajarnya.
Ega mengambil kunci di atas lemari belajarnya dan tak lupa mengambil dompet nya barangkali ada sesuatu yang harus Ega beli.

Ega memang gadis yang tak pandai membuang-buang uang. Bahkan dalam sehari, ia hanya menghabiskan uang sepuluh ribu rupiah itupun jika ia sangat lapar. Dan uang Lima puluh ribu rupiah jika ia harus membeli keperluan untuk kuliahnya.

@kampus

Ega melangkahkan kakinya santai menuju ruang kelasnya dengan sebuah catatan agenda kecil di tangannya. Matanya masih tetap fokus dengan buku di hadapannya itu tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang juga dengan santai berjalan menatap layar handphone lawan arah dengan Ega.

"Bruukkk.." buku Ega terbanting dan tergeletak di atas lantai putih itu.
Ega mengambil bukunya dan mengangkat kepalanya menatap seseorang yang sangat dikenalnya kini ada di hadapannya. Seketika rasa perih menyeruak kembali memenuhi dada Ega.

"Maaf kak, Ega gak sengaja"

Lelaki tampan dengan postur tubuh proporsional berbaju biru muda dengan jaket kulit dan celana jeans itulah yang telah ditabrak ega. Ya, siapa lagi kalau bukan Irwan.
Ega menundukkan kepalanya sejenak dan berjalan meninggalkan Irwan yang menatap kepergian Ega dengan penuh tanda tanya.
Irwan membalikkan badannya dan melihat punggung Ega yang berjalan mulai jauh dari tatapannya. Sempat ada rasa bingung bercampur sesal melihat sikap Ega yang tak seperti biasanya.

"apa mungkin Ega marah dengan ucapanku semalam?"
Tak bisa dipungkiri,batin Irwan berkata begitu sejak semalam.
Tapi, apa pedulinya Irwan pada sikap Ega? Toh,dia sendiri yang bilang kalau ia tak membutuhkan dan mencintai Ega.

****
Mata Ega masih serius memandangi buku tebal yang sangat tidak penting bagi orang awam. Juga beberapa kertas putih yang telah ada tulisan tangan ega. Ya, tentunya itu adalah tugas beberapa hari yang lalu yang masih saja menumpuk dan membuat Ega sedikit jenuh.
Tangannya masih dengan setia membolak-balik halaman buku dan terkadang pandangannya teralih pada kertas tipis di sampingnya itu.
Ega disini sendiri, di ruang kelas yang hanya terdapat Ega dan buku-bukunya di tempat itu. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 3 sore. Jam kampus nya memang sudah habis. Hanya saja, Ega sedang malas pulang ke rumah. Ia hanya ingin fokus ke tugas presentasi nya itu.

@gerbangkampus

Setelah dua jam Ega berkumpul dengan buku buku dan tugasnya yang menumpuk,akhirnya ega memutuskan pulang. Seorang diri tentunya. Dua temannya itu, Lesty dan Rara telah pulang lebih dahulu karena ada urusan keluarga. Jadi, Ega hanya sendiri sekarang.
Ega berjalan perlahan di trotoar jalan, ia hendak mencari halte busway. Lalu lalang mobil dan motor melintas ramai di hadapan Ega. Inilah salah satu ciri khas ibu kota Jakarta. Kalau tidak ramai bukan Jakarta namanya.
Di sebrang jalan, terlihat sebuah mobil mewah yang sangat Ega kenali. Tapi Ega tak mau menduga- duga. Ia takut salah harapan. Perlahan, kaca mobil terbuka. Terlihat isi mobil, terutama pengendara. Lelaki tampan yang teramat Ega tahu. Bukan cuma tahu, tapi sangat tahu.

"Kak irwan.." pekiknya.

Dadanya terasa berdegup kencang. Teringat kejadian semalam, memorinya berputar membuat hatinya terasa perih seketika. Rasa kecewa masih mendera di dada Ega. Ega membuang muka, mencoba pura-pura tidak tahu akan kehadiran Irwan. Tapi, mobil Irwan malah putar arah, dan kini tengah berada di hadapan Ega. Ega masih membuang muka. Meski, hatinya sedikit berbunga akan kehadiran Irwan. Andai saja, Irwan akan menjemputnya saat ini. Tapi, tak mungkin. Itu hak yang teramat mustahil untuk hidup Ega.

Wajah Irwan terlihat jelas menghampiri Ega, langkah kaki Irwan yang santai membuat dada Ega semakin berdegup kencang. Ada beberapa tanya penyebab Irwan datang kesini. Tapi, Ega tak pernah tahu apapun tentang Irwan.

"Ayo, aku antar kau pulang" nada dingin memang tak pernah bisa hilang dari nada bicara Irwan. Meski perasaan Ega menghangat atas perkataan Irwan barusan.
Ega menatap Irwan nanar.

"Tidak, Ega bisa pulang sendiri" Ega membuang muka kembali setelah melihat wajah Irwan yang menatap lepas ke jalan raya.

"Aku tak suka dibantah. Ikutlah, aku akan mengantarmu pulang"

Helaan nafas panjang begitu terdengar nyaring. Kalau sudah begini, irwan memang tak bisa lagi dibantah. Rasa perih dan kecewa yang kemarin saja masih belum usai. Dan sekarang, ia dan Irwan harus satu mobil bagaimana keadaannya nanti?? Ega memang selalu lemah perihal sakit hati. Oh, bukan Ega saja bahkan semua wanita di seluruh dunia ini.
Baru selangkah Ega berjalan, tiba-tiba dering handphone Irwan mengganggu. Irwan merogoh saku celananya dan melihat nama kontak yang tertera di layar handphonenya.
                         AULIA

Irwan menatap Ega sejenak sebelum mengangkat teleponnya. Sempat ragu, ia takut kembali melukai hati ega.
Namun, Ega sudah terlebih dulu tahu lewat tatapan Irwan. Ia mengerti itu sesuatu yang lebih penting dari ega.

Via telpon.
Aulia : hallo,wan.
Irwan: iya,Aul ada apa?
Aulia : kamu bisa nganterin aku      gak? Hari ini aku mau pergi ke mall. Mau beli perlengkapan buat lusa nanti, aku mau pergi ke Jogja sama papa mama
Irwan: emm, memangnya gak ada supir?
Aulia : ada sih, tapi aku maunya sama kamu
Irwan: iyaiya, aku kesana ya

Telepon berakhir. Menambah perih juga di hati Ega. Irwan menatapnya sejenak.

"Pergilah,kak. Ega bisa pulang sendiri." Ega masih membuang muka. Ia tau, pasti itu telpon dari Aulia. Persetujuan yang Irwan berikan menambah keyakinan Ega bahwa Aulia mengajak Irwan jalan.

Irwan masih menatap Ega dengan ragu. Entah ragu atau merasa bersalah. Itu adalah tatapan yang sungguh sulit diartikan.

"Ega akan menunggu angkutan umum disini, kak Irwan bisa pulang dan urus urusan kak Irwan sendiri"
kalimat terakhir yang Ega ucapkan menambah perih di hati Ega. Dadanya bagai dihantam oleh perkataan sendiri.  Bukankah Ega yang meminta Irwan pulang? Lalu, kenapa Ega terluka seperti ini?
Oh, Ega saat ini sedang pura-pura bahagia. Pura-pura tegar dan kuat.

"Baiklah, telepon aku jika terjadi sesuatu" Irwan berlalu dari hadapan Ega dan segera melajukan mobilnya. Meninggalkan banyak luka dan kecawa yang masih setia bersemayam di hati Ega.

"Bahkan membujuk aku saja tidak, segitu tak berarti kah aku kak?" Hati Ega merintih kesakitan. Perih. Kecewa. Bercampur jadi satu. Tujuannya saat ini hanya pulang. Ia ingin di rumah dan segera menangis tanpa diketahui banyak orang.

#bersambung

KETIKA IRGA BERTASBIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang