3k+ words. Thank me later. ;)
---
Adira
“Jadi setelahnya cowok itu ngomong apa ke kamu, Ra?”
Aku mendesis kecil karena Mama yang justru tertawa. Begitu pulang ke rumah, aku cerita pada Mama tentang Andra. Lebih tepatnya, apa yang membuatku malu di depan Andra.
Seperti biasa Mama menjadi pendengar yang baik, menyimak ceritaku. Hanya saja begitu aku cerita soal perut yang keroncongan, Mama langsung terbahak. Aku malah jadi lebih malu.
Tapi aku tetap menjawab pertanyaan Mama. “Dia malah ngasih makanan yang dia bawa ke aku. Katanya baru delivery. Kayaknya itu tadinya mau dia makan deh.”
“Enak dong makanan gratis.” Mama tertawa kemudian menyodorkanku kotak brownies, yang tentu saja langsung kuterima. Tidak ada penolakan untuk segala sesuatu yang berbau cokelat.
“Malunya yang nggak enak,” aku protes, “lagian kalau makan kan aku nggak perlu dikasih. Makan di rumah juga bisa, wong ada Mama.”
Mama kemudian duduk di sofa yang sama dengnanku. Kami jadi berbagi brownies sambil menonton siaran televisi tetangga. “Bersyukur aja, Ra. Kan pemberian seseorang itu harus disyukuri. Udah gitu dia ngasih solusi lho ke kamu, ngasih makanan, bukannya ngejek.”
“Tapi dia nggak perlu ngelakuin itu. Cukup ngingatin aja.” Sebenarnya aku juga ingin bilang apa yang Andra katakan. Tapi kalau Mama mendengarnya, aku rasa Mama akan menyetujui hal itu, karena aku pun setuju.
Kalimat Andra itu benar, dan itu yang membuatku kurang nyaman. Karena aku salah. I don’t like being wrong.
Aku hanya bisa memakan brownies potong demi potong karena tidak bisa bicara lagi. Kepalaku masih menghadap ke televisi ketika tangan Mama bergerak untuk mengelus rambutku yang tergerai. Mama tersenyum ke arahku. “Hanya karena ada cowok yang bantuin kita, bukan berarti kita itu lemah, Adira. Saling membantu itu sudah kodratnya manusia.”
“Tapi aku bisa sendiri kok. Lagian hanya urusan makanan doang.”
“Membantu itu kan nggak harus mulai dari hal besar.”
Mama benar. Selalu benar. Dan aku sama sekali tidak bisa membantah ucapannya. Pada akhirnya, semua kekesalan ini ada karena memang aku tidak menyukainya, bukan karena Andra melakukan kesalahan.
Aku tahu itu, dan aku tetap kesal. Katanya hal yang begini naluriah bagi wanita, kan?
“Oh, ya, Ra,” Mama tiba-tiba bersuara lagi. kepalaku menoleh dan Mama melanjutkan, “Besok libur, kan?”
Aku diam sejenak untuk mengingat. Iya juga, ya. Dari beberapa minggu yang lalu Mama sudah mengingatkanku untuk mengosongkan jadwal—kata lainnya, minta libur. Aku sudah sempat bilang pada Azra, wakil pimred, untuk mengurus semuanya selama satu hari, dan syukurnya dia mengiakan. Kurasa aku harus mengonfirmasi sekali lagi untuk mengingatkan Azra, barangkali dia lupa.
Melihat Mama yang masih menunggu jawaban, aku mengangguk. “Besok aku libur kok, Ma. Kenapa? Jangan bilang suruh temenin arisan, males aku.”
“Udah tahu kok Mama, kalau kamu diajak arisan mana mau,” Mama memberengut lebih dulu, “nggak kok, Ra. Mau ke pernikahan adeknya Papa.”
“Om Reza?” tanyaku, dan Mama mengangguk. Aku tahu Om Reza. Well, actually aku memanggilnya Eja. Dia hanya beda kurang lebih tiga tahun, dan dari kecil kami sudah jadi teman main sih. Dan sejujurnya, ada hal lain yang mencuri perhatianku. Bukan Reza yang jadi masalahnya. Aku menatap Mama lamat, menyerongkan tubuh. “Dia bakal di sana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecurities Principle (✓)
Literatura FemininaSEGERA TERBIT [10 besar Kompetisi #GrasindoStoryInc] Adira punya prinsip tersendiri dalam hidup, terlebih lagi soal pasangan. Baginya, selagi masih bisa dilakukan sendiri, pendamping bukanlah hal krusial. Segala cibiran dia anggap sebagai bentuk b...