ibukota

25 3 2
                                    

Jakarta. Sebuah kota metropolitan yang memutar nyanyian bising, berpondasi keramaian, beratap polusi, dan berpagar gedung pencakar langit. Rumah yang indah bagi mereka yang mau bekerja keras dan mengadu nasib demi lembar lembar kertas yang dicetak dengan gambar pahlawan. Singkatnya, uang.

Kebisingan kota jakarta yang terus bergulir 24 jam tiada henti, justru membuat mereka—para penggila kerja—berkobar kobar api semangatnya.
Bunyi klakson membuncahkan hati mereka di pagi hari—menimbulkan semangat baru. Raungan mesin bus dan angkot menjadi sarapan di pagi yang gegap gempita. Dan asap polusi menjadi pengantar semangat mereka menuju tempat mengadu tenaga masing masing.

Bagi mereka yang gila kerja, tentu saja tak menganggapnya masalah. Justru itulah kebiasaan monoton yang mereka jalani setiap hari tak kenal bosan.
Selama lembar demi lembar uang terus bergulir, tak ada kata lelah. Tak ada alasan untuk menyerah.

Namun, lain urusan dengan mereka yang anggun dan tenang.
Mereka yang datang nun jauh dari pelosok desa—yang kadang bagi orang kota disebut negri antah berantah.
Mereka yang phobia terhadap bising dan kekacauan.
Mereka yang mencintai damai dan ketenangan.

Suasana desa mereka tentu berbanding-terbalik dengan suasana ibukota. 180 derajat. Benar benar berbeda. Camkan itu.

Di desa, paling paling yang berisik benar hanyalah keributan kecil di ujung gang tentang harga cabai yang berbeda antar penjual. Si konsumen mencak mencak merasa diberi harga mahal dan tak pantas. Sedangkan antar penjual sibuk membela diri dengan merasa paling benar menakar harga cabai.

Selain itu, tak ada kekacauan berarti. Tak ada kebisingan yang memuakkan telinga. Tak ada keramaian seperti di kota.

Itulah kiranya yang dialami oleh seorang Hasna. Gadis lugu taat agama yang berasal dari ujung desa.

Dengan hanya berbekal sedikit sandang dan pangan, juga beberapa lembar uang yang disisipkan ibunya di selembar kain, Hasna menggebah nasibnya menuju ibukota.

     Pasukan semangatnya ia pompa habis habisan agar tegar meninggalkan tanah kelahirannya. Ia mantapkan niat. Ia kuatkan tekad. Tak ada kata putar balik. Karena apapun yang dilakukan Hasna, semua itu ia khususkan untuk kedua orang tuanya, kelangsungan hidup, dan beberapa alasan lainnya yang mendasari semangatnya melaju menuju kota yang bahkan sekalipun belum pernah ia injak jalan jalannya.

mesogavitoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang