"Kau mau soda atau jus?"
Alih-alih memilih salah satu opsi yang ditawarkan Alex, aku bergeser ke samping dan memasukkan koin ke mesin penjual m&m. Tanpa menoleh pun aku bisa merasakan cowok itu menaikkan alis, jelas heran dengan perbandingan antara usia dan makanan ringan yang kupilih. Tapi dia tidak mengatakan apapun.
Saat ini kami sedang berada di lantai 4 institut, dengan mesin penjual otomatis berjejer manis di hadapan kami.
Tragedi lift barusan masih sedikit membuatku kaget, tapi kurasa kuasa atas rasa penasaranku jauh lebih besar daripada keterkejutanku.
"Kau—" aku mengernyit. "—pengirim rahasia itu, bukan?"
Alex—yang saat itu sedang meneguk sekaleng soda—memuntahkan sebagian besar soda dingin dari mulutnya mendengar pertanyaan tiba-tibaku.
Cowok itu buru-buru mengelap sebagian besar wajahnya yang basah dan melempar kaleng sodanya—yang akhirnya kosong—ke tempat sampah di seberang kami.
Entah aku memiliki keberanian dari mana untuk menatap mata coklat itu, sementara tubuhku berdiri tegak menghadapnya lengkap dengan kedua lengan tersilang di depan dada, menunggu jawaban.
Ketika Alex lantas membalas tatapanku, masih dengan mengibas-ngibas kemejanya yang agak basah, dia terkekeh pelan. "Pengirim rahasia, ya?"
Aku mendelik.
Alex kini menatapku sepenuhnya, sebentuk tawa yang ada di garis bibirnya belum menghilang. "Jadi kau menyebutku si pengirim rahasia? Itukah sebutanku?"
Aku benar-benar kesal sekarang. Apa dia mempermainkanku?
"Kau bercanda? Apa yang lucu dari itu semua?" oke, sepertinya aku memasang oktaf terlalu tinggi, karena Alex jadi tampak agak kaget dan mundur beberapa langkah.
"Whoa, easy tiger." Kedua telapaknya siaga di depan dada, seolah aku bakal menerkamnya saja. Tapi senyum itu masih tetap ada di garis bibirnya, "Kau tak perlu semarah itu."
Aku merubah arah pandang ke luar jendela, "Well, aku tidak marah... hanya sedikit kesal."
Cowok jangkung itu kini berdiri tegak beberapa senti di hadapanku, dan sekarang ia tampak jauh lebih tinggi dari yang kuduga sebelumnya. Dia menyodorkan tangannya padaku.
"Alexander Adrien," ujarnya ramah, "—si pengirim rahasia."
Aku melotot dan menonjok pelan lengannya. Cowok itu terkekeh lagi, dan aku menerima uluran tangannya.
Aku tidak tahu apakah ini karena senyumnya yang ramah, arau karena mata coklatnya yang berkilau itu, atau memang karena aku yang belum pernah membiarkan orang asing menjabat tanganku bertahun-tahun lamanya—tapi aku merasa seperti bertemu dengan teman lama.
Ya, kau benar.
Rasanya seperti déjà vu.
Seolah aku dan Alexander Adrien adalah teman lama di masa silam, kemudian karena suatu peristiwa memalukan, kami bertemu kembali.
Tapi tentu saja itu hanya hasil pikiran konyol dari otakku yang sama konyolnya.
"Rhiannon." Balasku agak canggung.
Cowok itu menaikkan alis, "itu saja?"
Aku mengangguk, "Ya. Itu saja."
Alex tertawa lagi, "Aku tahu kau memiliki nama belakang."
"Aku tahu kau memiliki nama samaran."
Mungkin aku memang tak bisa membaca pikirannya seperti yang kulakukan terhadap orang lain, tapi kurasa aku berhasil menemukan titik lemah cowok ini, karena kini dia berhenti tertawa, lalu mengernyit, "Nama samaran?"
Aku mengangguk yakin, "Ya. Bukankah kau selalu mengirimiku macam-macam dengan nama itu?" tanyaku penuh kemenangan, "One?"
Apakah aku kalah lagi? Karena alih-alih menampakkan ekspresi terkejut, Alex justru tertawa, dan kali ini lebih keras, "One? Kaupikir itu nama samaran?" tanyanya, "Wah, kau lebih lucu dari yang kukira, Rhiannon Thasgard."
Hahaha. Oke, aku memang kalah lagi. Dia tahu nama belakangku.
"Oke, kalau begitu bisakah kau jelaskan?" aku masih tak mau kalah dari cowok ini.
Alex mengambil posisi santai dan bersandar lagi ke jendela kaca, "Oke. Kurasa karena kita sudah berkenalan aku bisa memberitahumu sedikit rahasiaku."
Sikap santainya membuatku ikut merasa santai, dan ikut bersandar beberapa jengkal darinya.
"Kurasa seharusnya aku tak memberitahumu ini, jadi anggap saja ini sebagai hadiah permintaan maaf."
Aku tak bergeming, mendengarkan kalimat cowok itu.
"Jadi, One adalah code name-ku."
Aku menatapnya, melongo, "Kau pasti bercanda." Timpalku, "Kau, mantan militer?"
"Sejujurnya, ekspresimu membuatku agak tersinggung," sahutnya sambil tertawa, yang membuatku buru-buru memalingkan muka, "Bukan militer, tapi lebih seperti... hm, agen rahasia?"
Kini giliran aku yang tertawa. Benar-benar tertawa. "Ini benar-benar omong kosong di siang hari."
Aku baru saja meraih tas-ku hendak beranjak dan pergi sebelum mendengar lebih jauh omong kosong cowok tak berotak ini ketika sebuah bandul kalung khas militer diacungkan di depan hidungku.
Di kalung itu terukir sebuah nama: ONE.
"Bisakah kau mempercayaiku sekarang?"
----------------
i'm really sorryyyy bcs this part is zuppeerr short!! i promise i'll make a long one after this chapter ;)
YOU ARE READING
〚 Boundaries 〛
Fanfiction[Highest rank 5 in #monstaxhyungwon!] 04.12.18 [59 in #schoolromance] Victoria Thasgard tak pernah menduga kehidupan bawah radar dan penuh rahasia yang selama ini dinikmatinya mendadak berantakan hanya dalam waktu beberapa pekan setelah pertemuan t...