Rhyme One

68 4 2
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Riuh bising yang menggema di sepanjang koridor institut berubah menjadi suara sekelompok lebah berkompetisi paduan suara. Lorong yang panjangnya tak lebih dari empat deret kelas, ditambah empat lagi yang satu sama lain saling berhadapan—total delapan kelas—kini terasa sepanjang sungai Nil di Mesir.

Tak ada yang lebih kubenci dari koridor institut di jam makan siang.

Dengan satu sentakan ringan, kepala dan rambut coklat gelap masai yang menempel pada kepalaku tertutup sempurna oleh hoodie biru gelap; salah satu warna favoritku di antara deretan pakaian serba gelap yang biasa kukenakan. Begitu kurasakan kedua telapak tanganku masuk ke kantong, kuambil satu tarikan napas panjang dan berjalan keluar kelas yang kini berubah menjadi zona peperangan Troya.

Koridor bagiku adalah ladang ranjau.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi di koridor, dan telah kutegaskan pada diriku sendiri untuk dihindari: yaitu saat aku berpeluang untuk tak sengaja menabrak (atau ditabrak) seorang cowok yang dengan ceroboh memperagakan gerakan three point di sepanjang lorong—jelas-jelas untuk pamer—atau kemungkinan lain ketika seorang cewek dengan bawahan super-pendek yang dengan heboh membahas si-cowok-tampan-yang-entah-siapa, lantas menjatuhkan seluruh buku yang dia bawa karena tak melihat sosokku berjalan tepat di depan hidungnya.

Poin penting: berjalanlah sebisa mungkin tanpa menyentuh lautan manusia di koridor.

Ketidaksengajaan menabrak seseorang di koridor adalah kondisi terburuk di mana kau akan berakhir dengan sebuah kewajiban untuk mengucap maaf atau setidaknya sekedar membuka mulut untuk menyebut namanya. Well, dengan reputasiku sebagai salah satu manusia di institut yang selalu berada di bawah radar alias tak dikenal, jujur saja itu adalah hal yang sangat kuhindari. Aku memang selalu enggan berbicara pada mereka—yang dengan lega kusadari hanya sedikit dari mereka yang kukenal atau mengenalku—karena kurasa suaraku terlalu berharga untuk para manusia berotak kosong ini.

Atau setidaknya, kecuali satu orang.

Hiruk pikuk ini tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat, dan jika kau sedang bersamaku di sini sekarang kurasa kau akan menduga para singa laut bermigrasi ke institut kami semalam karena kondisinya yang kacau balau dan amat bising. Namun, perlu kuakui bahwa di antara segala kegilaan yang kubenci ini, ada satu titik di kejauhan yang tak bisa kuabaikan—seolah titik itu adalah batu permata jadeite yang langka berkilauan tertimpa cahaya—kusebut demikian karena sosok itu memang benar-benar bersinar, secara harfiah.

Aku bisa memastikan bahwa tiap orang yang ada di Institut pasti menyadari kehadiran cowok jangkung yang berdiri di tengah kerumunan, dengan rambut coklat serta bola mata yang sama coklatnya—yang omong-omong merupakan bagian dari dirinya yang paling berkilau karena tertimpa cahaya. Matahari benar-benar dengan luar biasa melakukan keajaiban padanya, hingga cowok itu tampak seperti sebuah mahakarya ratusan juta dollar. Entah disadari orang lain atau tidak, namun mata indahnya itu untuk alasan yang tak kuketahui selalu terlihat sedih tiap aku melihatnya di koridor. Oke, pengakuan lainnya: aku memang selalu memperhatikannya di manapun kami bertemu karena yah, dia memang tak mungkin tidak tampak. Dan dimanapun kami tanpa sengaja berpapasan, cowok itu selalu bermandikan cahaya, yang mana di sisi lain—adalah sesuatu yang sangat kuhindari selain hiruk pikuk koridor.

〚 Boundaries 〛Where stories live. Discover now