Aku—yang terbiasa menggunakan tangga sebagai medium transisi antara satu lantai dengan lantai lainnya entah kenapa sekarang merasa hal itu melelahkan. Jadi alih-alih menuruni tangga menuju lantai 2, aku memilih lift sebagai alternatif.
Lift di sisi barat, aku menyadarinya baru-baru ini, dilengkapi dengan kamera pengawas yang tampaknya rusak karena sepanjang yang kuingat lampu LED nya tak pernah menyala merah seperti lift di sisi timur. Itulah sebabnya setiap kali aku menggunakan lift dalam beberapa kesempatan, membuatku dengan tenang mengeluarkan puntung rokok dari saku mantel dan menyulutnya dengan pemantik api bertuliskan "I ❤ L.A."—meski sejujurnya aku tak begitu menyukai L.A. dan segala hingar-bingarnya.
Oh, ya. Aku merokok. Kurasa itu adalah satu-satunya hal ilegal yang kulakukan di kampus. Walau aku hampir yakin tak ada siswa yang mematuhi peraturan dilarang-merokok-di-institut.
Kenyataan bahwa aku harus selalu berada di bawah radar, tak dikenali, membuatku memaksa diri sendiri untuk tidak melanggar satupun peraturan yang ada di institut.
Well, kecuali merokok, tentu saja.
Begitu api membakar ujung rokokku, aku menghirupnya dalam-dalam, menikmati sensasi membakarnya dalam leherku dan menyimpan memori itu agar saat dimana aku tak bisa menghirupnya, paling tidak aku masih mampu mengingat rasanya.
Mungkin ini adalah salah satu pelarianku dari segala rahasia dan intrik yang kusembunyikan dalam hidupku. Merokok, maksudku.
Pelarian lainku adalah bermain musik. Atau lebih tepatnya, gitar.
Aku bisa membayangkan kalian tidak menyangkanya. Aku memang tak pernah mengikuti kursus atau semacamnya, tapi aku bisa menjamin bahwa kemampuan bermainku cukup baik. Setidaknya untuk diriku sendiri. Kadang aku bahkan menulis beberapa lirik yang tercetus begitu saja di kepalaku. Dan bisa kupastikan aku tidak akan memperdengarkannya kepada siapapun.
Ting.
Bunyi denting lift memaksaku untuk bangkit dan mematikan puntung rokokku yang nyaris utuh. Tak masalah, toh aku bukan pecandu. Aku hanya memanfaatkan rokok sebagai media untuk menyalurkan kegilaan yang berputar di ruang kepalaku.
"Kau bau rokok."
Aku berjengit—nyaris menjerit—mendengar suara serak dan dalam yang bergumam lirih di belakangku, tepat beberapa langkah setelah aku keluar dari lift. Adakah yang lebih buruk dari terpergok melanggar peraturan institut?
"Dan kau menggunakan lift." Lirih Alexander Adrien lagi, "sebuah kemajuan." Segaris senyum tipis kulihat di bibirnya setelah aku menoleh.
Dalam hati aku mendesah lega. Bisa jadi lebih buruk jika aku bertemu dengan siapapun selain Alexander Adrien, kan?
Mengabaikan pandangan ingin tahunya aku melanjutkan langkah menuju lapangan parkir, bersiap pulang.
Tanpa menoleh aku bisa merasakan Alex berusaha menjajari langkahku. Tentu saja ia dengan mudah melakukan itu karena kakinya yang sangat panjang.
"Aku tak berminat berdebat hari ini, Alexander."
Hell. Sekarang aku bahkan bisa merasakan seringainya melebar karena aku menyebut namanya dengan lengkap. "Aku juga. Aku hanya ingin memberimu tumpangan."
Kini aku mengernyit. Harusnya dia tau aku mengendarai sepeda karena rumahku memang tak jauh dari institut. "Aku punya tumpangan, Alexander."
"Orang lain akan mengira kau ibuku jika kau terus memanggilku begitu, Rhi."
"Kurasa itu jauh lebih baik daripada menjadi salah satu gadis yang berhasil kau taklukkan."
Yah, mungkin aku terdengar seperti cewek yang sedang cemburu. Tapi bisa kupastikan bahwa bukan itu maksudku. Aku hanya kesal dan bingung bagaimana menanggapi pertanyaan orang-orang yang memergoki Alex berbicara denganku beberapa waktu belakangan. Sejak kejadian lift waktu itu, frekuensi pertemuan kami yang omong-omong disebut Alex sebagai 'berpapasan secara tak disengaja' menjadi jauh lebih intens. Bukan seperti yang kau bayangkan, tentunya. Hanya saja beberapa kali Alex menunggu jam kelasku berakhir sebelum menemuiku di luar kelas, terkadang di kantin, atau seperti hari ini: di luar lift dekat pintu keluar institut. Sejujurnya aku tau dengan pasti dia sengaja mengubah jam kelasnya ke jam-jam yang berdekatan dengan jam kelasku. Terkesan percaya diri berlebihan, tapi instingku mengatakan demikian. Tak ada yang namanya kebetulan bukan? Atau setidaknya itulah yang dikatakan James Patterson.
Sama seperti hari ini, interaksi kami hanya sebatas ruang kelasku hingga lapangan parkir. Bukan karena kami tak mempunyai topik untuk dibicarakan, tapi lebih karena aku tak mau dia memasuki teritori hidupku di luar institut. Dan karena rentetan pertemuan itulah pertanyaan seputar 'apakah kau ceweknya minggu ini' atau 'sejauh apa hubunganmu dengan Alex' membuat telingaku panas.
Bahkan ada juga cewek yang nekat bertanya sehebat apa dia di ranjang. Dasar jalang.
Aku sungguh ingin ber-high five dengan cewek itu. Dengan wajahnya, lebih tepatnya.
Alex tertawa ngakak. "Sekarang kau terdengar seperti cewekku sungguhan, Rhi."
Seperti cewekku sungguhan. Ouch.
Aku mengalami hari yang cukup buruk karena banyak hal dan sungguh tak ingin berdebat sekarang. Jadi sekali lagi aku mengabaikan Alex dan berjalan ke tempat parkir sepeda.
Dan sama gigihnya denganku, sekali lagi cowok itu mengejarku, menghadangku, berdiri tepat di antara tubuh pendekku dan sepeda gunung yang cukup maskulin untuk ukuran cewek sepertiku.
Kusilangkan lenganku di depan dada, berusaha keras menekan emosiku. "Apa yang kau inginkan, Alex?"
Cowok itu kini duduk di atas sadel sepedaku, mengangkat bahu. "Sudah kubilang, aku hanya ingin menawarimu tumpangan, Babe."
"Dan sudah kubilang, jangan panggil aku seperti salah satu pelacurmu."
Alex menghembuskan napas keras. Oke, jika aku ingin membuatnya kesal, sepertinya aku berhasil. Tapi sekarang aku justru agak takut.
"Rhi." Alex berdiri, mencengkram kedua bahuku. "Aku tak pernah sekalipun menganggapmu begitu."
Aku mendesah, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. "Entahlah. Aku hanya lelah dengan pandangan dan pertanyaan orang-orang, Alex."
Alex mengernyit tak paham. "Ada apa dengan mereka?"
Oh, demi segala ketampanan yang melekat padanya. "Tidakkah kau menyadarinya? Orang-orang selalu bertanya apa hubunganku denganmu. Sejauh apa hubunganku dengan Alexander Adrien." Dan dengan kesal kutambahkan, "dan sehebat apa dia di ranjang."
Mata bulat Alex kini tampak semakin bulat. Ekspresi yang ditunjukkannya antara takjub, terkejut, dan heran.
"Wow."
Aku memutar bola mata. "Yeah. Wow." Kupalingkan wajahku yang entah kenapa mendadak terasa panas.
Perhatian kami teralih pada suara dering ponsel Alex. "Maaf." Gumamnya.
Aku mengedikkan bahu. Cowok jangkung di depanku itu tampak mengernyit melihat layar ponselnya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku jaket.
"Maafkan aku, sepertinya aku tidak bisa memberimu tumpangan hari ini." Aku nyaris menjawab aku-tak-butuh-tumpangan, namun Alex keburu berlari ke arah sebuah chevy yang berhenti di depan pintu utama institut.
Betapapun canggung dan anehnya diriku, kalian tau jauh di dalam aku tetaplah seorang cewek. Jadi, ketika pintu chevy itu terbuka dan Alex yang nyaris masuk menoleh padaku dan melempar sebuah senyuman, aku tau aku sama idiotnya dengan seluruh cewek penghuni institut ini.
Aku buru-buru menunduk dan mengeluarkan sepedaku dari tempatnya sambil tak henti merutuki ketololanku barusan. Namun beberapa detik kemudian gerakanku terhenti, tepat ketika aku menyadari sesuatu yang ganjil.
Bukankah chevy hitam tadi adalah milik Mr. Blake, Kepala Institut?
YOU ARE READING
〚 Boundaries 〛
Fanfiction[Highest rank 5 in #monstaxhyungwon!] 04.12.18 [59 in #schoolromance] Victoria Thasgard tak pernah menduga kehidupan bawah radar dan penuh rahasia yang selama ini dinikmatinya mendadak berantakan hanya dalam waktu beberapa pekan setelah pertemuan t...