A6

142 4 0
                                    

Buram. Namun aku melihat sosoknya.
Siapa itu? apakah itu orang yang memiliki kekuatan?.

Perlahan aku bisa melihat dengan jelas teman-teman yang juga terkapar di sekitarku. Namun, lebih jelas aku melihat orang yang berdiri di depanku seraya tersenyum.

"Hai Nak, apa kau baik baik saja?".

Orang itu mengulurkan tangan untuk membantu tubuhku berdiri.

"Apakah kamu tahu siapa aku?"Katanya.

aku melihat ke arah orang itu, lalu aku terkejut bukan kepalang karena yang kulihat adalah penjaga sekolah kami.

"Pa..pak Sodikun!"

Aku masih tidak percaya apa yang kulihat. ternyata penjaga sekolah kami bukan orang sembarangan. Dia bisa mengalahkan
musuh kami dengan sangat cepat. Eh, namun aku masih bingung kemana menghilangnya lawan kami tadi.

"Dia sudah pergi nak, tepatnya menghilang."

Arsya dan lainnya sudah sadar sepenuhnya dan bangkit setelah tidak sadarkan diri.

"Menyebalkan sekali orang itu, ingin rasanya menbinasakanya."Fikri berseru ketus.

"Kamu tidak sadar kalau dari tadi hanya kamu yang belum mengerahkan kekuatan?"sahut Erza.

"Maaf, tapi hanya aku yang bisa membuatnya berdarah," Seraya membetulkan rambutnya yang tidak apa-apa.

"Itu hanya kebetulan, tak aku anggap, payah," Sahut Erza kembali.

"Hei apa maksutmu mengejekmu payah ?!" Fikri mendorong dada Erza.

"Kau berani mendorongku ya ? belum tau rasanya dipukul tangan sekeras dinding ?" Erza balas mendorong dada Fikri.

"Siapa takut, walau hanya menggunakan tongkat kasti ini aku bisa membuatmu berdarah" Jawab Fikri dengan mata tajam.

Sekarang aku tahu tabiat mereka berdua. Cari masalah.
Hana yang tadi diam sekarang turun tangan.

"Kalian ini anak SMA kayak anak SD sukanya bertengkar, Gak punya malu,"

"Emang kamu yakin yang biasanya tawuran di jalanan itu anak SD hahh." Fikri tidak terima.

Sejak tadi hanya Arsya yang kulihat diam. Entah mengapa.

"Kamu kenapa Sya ?"Seraya mendekati Arsya.

"Tidak apa-apa, aku cuman lelah
sehabis bertarung dengan orang tadi," jawabnya singkat.

"Daripada kita ribut terus, lebih baik kita keluar dari gudang dan membicarakan apa yang sebenarnya terjadi."Pak Sodikun berkata lembut.

Kami pun keluar gudang dan menuju ke ruangan tempat Pak Sodikun. Ruangan Pak Sodikun berada di bawah tangga. Lebar ruangan itu hanya sepetak tanah dan hanya muat untuk dihuni
Oleh enam orang.

"Selamat datang di ruanganku."Pak Sodikun dengan bangga. Kami melihat isi ruangan itu. Sekilas tidak ada yang menarik. Meja rias kecil untuk beliau "berdandan", sisir berwarna merah muda diletakkan di atasnya, kasur lipat yang digunakan untuk beristirahat, dan masih banyak lagi.

"Sudahku duga, kalianlah orang-orang itu"Pak sodikun memulai
Pembahasan.

Kami bertiga saling tatap. Itu awal pebahasan yang aneh. Apa maksudnya?

"Kenapa Pak Sodikun berkata seperti itu, Jangan-jangan bapak berasal dari luar angkasa ya?" Fikri bertanya.

"Atau jangan jangan, bapak ingin menculik kami." Tanya Arsya penuh selidik.
Pak Sodikun malah terkekeh mendengar perkataan kami.

"Anak zaman sekarang ya."Pak sodikun kembali menatap kami, namun kali ini ekspresi wajahnya serius.

"Mari kuceritakan. Aku ini bukan dari alam ini." Kami semua terpaku. Menatap tak percaya.

"Apa maksudnya?" Aku dan Erza
Bertanya.

"Baik, kalian boleh bertanya sekarang, namun saat aku bercerita, jangan ada yang bertanya." Kami mengangguk.

"Baiklah. Aku mulai ceritanya, Aku bukan berasal dari alam ini, aku berasal dari Alam Quantum. Kalian kaget mendengar kata asing itu, namun, ketahuilah. Kalian adalah manusia yang dilahirkan di Alam Quantum. Alam Quantum adalah
Alam yang jauh lebih besar daripada alam dunia. Namun memasukinya kita justru harus masuk kedalam benda paling kecil yang ada di alam dunia."

“Dan di Alam Quantum mirip seperti Alam Dunia. Disana terdapat 5 kota besar dan banyak kota kecil,  setiap kota memiliki pemimpin sendiri, Namun jarak antar kotanya sekitar 10 tahun cahaya, jadi setiap kota memiliki keunikan dan peradaban yang berbeda-beda.” Lanjutnya.

“Lalu bapak berasal dari kota apa ?” Fikri memotong tidak sabaran.

“Hey mengganggu saja, sudah dibilang jangan memotong saat Pak Dikun bercerita masih ngeyel,” Celetuk Reza.

“Bertengkar lagi, anak TK dua ini harap tenang.” Arsya melihat keduanya.

"Aku penasaran bodoh," Jawab Fikri tidak terima.

“sudah sudah, pak Dikun Silahkan dilanjut,” Leraiku sembari tanganku seperti mempersilahkan lewat.

“Baiklah, Aku berasal dari kota kecil yang tidak dikenal, kota itu hancur saat perang besar ribuan tahun silam, tapi mungkin masih ada puing-puing sisa peninggalannya,”

“Dan tentang perang besar itu, saat itu aku belum lahir dan kotaku masih sangat indah, tapi kota-kota besar sedang ada konflik yang tidak diketahui antara para pemimpin kotanya yang berubah menjadi perang mahadahsyat, dan berimbas pada kota kecil disekitarnya termasuk kotaku,”

"Aku turut sedih dengan apa yang terjadi pada kotamu pak,” Kata Hana.

“Tak apa, itu sudah masa lalu,Tapi..”

“Dari 5 kota besar itu, seluruh pemimpinnya mati di peperangan kecuali satu, dan tidak diketahui dimana ia sekarang. Menurut cerita guruku, Ia adalah pemuda yang hebat, cepat mempelajari sesuatu lebih cepat dari siapapun di Alam Kuantum, Ia bernama..”

BLARR !

Belum sempat pak Dikun menyebut namanya, tempat kami terguncang, seperti dihantam sesuatu yang sangat besar.

“apa itu ?” Tanya kami berlima bersamaan.

“Tidak tahu, ayo kita lihat,” Kata Pak Dikun dengan setengah berdiri.

Kami berlari menuju lapangan, dan kami melihat pemandangan yang tak pernah kami lihat sebelumnya.

Sekolah kami hancur total.

Api.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang