Sebuah alat serupa tangan manusia terus bergerak mengikuti jalur besi di langit-langit kelas suatu sekolah–IXC, tugasnya mengambil dan mengubah apa yang tidak seharusnya diubah. Sementara itu, murid-murid yang "tersisa" di dalam kelas hanya menunggu dengan bulir keringat sebesar biji jagung menetes deras tanpa ampun.
"Mengapa kita harus berakhir seperti ini?" tanya Clarissa, teman sebangkuku yang kondisi jiwa dan raganya tak jauh berbeda dengan diriku; badan yang bergetar ketakutan seakan kematian sudah di depan mata, walau secara subjektif, "kematian" yang dimaksudkan disini merujuk pada kata benda.
"Hei, May. Kita hanya berniat belajar. Mengapa pada akhirnya seperti ini? Apakah hanya karena sekolah ini tidak sebagus di kota, nasib murid-murid semacam kita harus seperti ini? Apakah hanya karena kita tidak sekaya tikus-tikus berdasi diantara gedung pencakar langit, kita jadi hilang harga? Kita disingkirkan dan menjadi alat setara budak, May!" Clarissa mulai meracau. Akalnya sudah angkat kaki.
"Ssstt, pelankan suaramu. Kau tidak mau 'kan jika nanti diambil oleh si 'Malaikat Pencabut Nyawa' lebih cepat dari yang seharusnya?" Aku berbisik. Mengajaknya agar lebih tenang. Sebenarnya mau lebih cepat atau lebih lambat dibawa oleh alat yang dipanggil 'Malaikat Pencabut Nyawa' itu pun akan sama saja hasilnya. Kami tetap menjadi budak. Hidup terkurung. Mati muda. Terlecehkan.
"Karena aku ramai, huh? Terserah! Aku lebih baik memberontak kemudian dibawa ke Desa Terbuang daripada menjadi alat. Kau dengar apa yang dikatakan Pak Guru tentang desa di luar tembok kota kita? Disana mereka hidup tidak berdasarkan Yang Berkuasa, mereka bebas. Jika dinalar, Yang Berkuasa sangat mengekang dan memperalat penduduknya–di samping keberhasilannya dalam memerintah, tetapi dalam TEKANAN–itu berarti desa di luar tembok memiliki jiwa dan raga secara utuh, tidak disini. Bahkan ukuran porsi makan, warna baju tiap penduduk, tontonan setiap satu jam, model pakaian setiap tempat, model rumah, kebebasan pers, dan sebagainya diatur oleh Yang Berkuasa langsung. Katakan kepadaku, aku benar atau benar, May?" Aku termenung memikirkan kata-katanya. Memang benar tampak jelas bahwa hidup di luar dinding merupakan suatu tawaran yang menggiurkan. Bebas, tanpa kekangan. Tidak peraturan ketat dari Yang Berkuasa. Namun...
"Selanjutnya, Evangeline Maya." Namaku terpanggil bersamaan dengan tangan robotik itu mengangkatku melalui pinggang dan menaruhku di atas sebuah lantai berjalan di depan kelas.
Namun pada akhirnya aku memilih menjadi budak bagi tikus-tikus berduit itu karena aku sudah terlanjur termakan iming-iming uang jika aku berhasil menjadi salah satunya. Tidak salah lagi jika penghasilan yang dihasilkan lebih besar daripada pekerjaan lain bagi mereka rakyat jelata. Itulah sebabnya aku memilih pekerjaan kotor ini.
Semuanya demi ibuku yang sakit di Desa Terbuang.
(4/12/2018)
Pedagang siomay,Ella S.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Terakhir
Historia CortaUntuk memenuhi sesuatu, pasti harus ada yang dilakukan. Sekalipun di kesempatan terakhir. ©2018