2

27 6 0
                                    

Aldhy memandang langit-langit kamarnya tanpa sedikitpun matanya ingin untuk terpejam, pikirannya selalu saja mengenang masa lalu yang masih sangat Aldhy harapkan kembali.

Bayangkan saja jika udara yang menjadi sumber nafasnya pergi meninggalkanmu sendirian. Mati! Itulah yang dirasakan Aldhy rasakan saat ini, mungkin raganya masih hidup saat ini namun jiwanya telah mati sejalan dengan perginya Hara dalam hidupnya.

Bahkan disaat seperti ini Aldhy masih mengingatkan kebiasaan Hara yang selalu menelpon Aldhy agar tak bekerja saat dirumah. Namun yang terjadi sekarang berbeda selama 2 tahun ini, ia tak bekerja namun hanya menatap langit-langit kamarnya sampai pagi datang atau tertidur karena lelah sendiri.

Telpon Aldhy berdering seperti biasa setiap malam karena sang kekasih selalu menelpon untuk sekedar mendengar suara Aldhy atau juga karena memastikan Aldhy tak bekerja selama dirumah. Hara, kekasihnya itu tak ingin Aldhy menjadikan waktu istirahat sebagai jam bekerja.

"Halo sayang"

"Al, kamu gak lagi kerjakan? Kalo kamu ketahuan kerja, lihat aja abis kamu aku marahin terus nggak usah ketemu aku, nggak usah ngomong sama aku, pokoknya aku ngambek"

Aldhy menggaruk tengkuk tak gatal mendengar semua ancaman yang sudah hampir setiap hari diucapkan Hara.

"Awas kalau kamu bohong, aku punya mata-mata disitu yang bakal tahu kalo kamu bohong sama aku"

Dengan cepat Aldhy menutup laptop yang tengah memperlihatkan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Aldhy, Aldhy menatap sekeliling mencari adakah yang mengawasinya saat ini.

"Nggak sayang, aku lagi nonton tv saat ini. Kamu sendiri yang melarang aku buat kerja kalau dirumah, aku juga sadar kalau aku perlu istirahat walaupun sebentar"

Aldhy meringis membayangkan jika semua ancaman Hara itu terjadi, betapa tersiksa dirinya nanti.

"Nah gitu dong nurut sama aku, aku cuma gak mau kamu sakit gara-gara kecapekan kerja"

"Iya sayang, maaf kalo aku masih terlalu sibuk sama kerjaan aku sampai terkadang lupa sama kamu"

"Gapapa kok Al, aku bisa maklum. Jabatan yang kamu pegang juga besar banget jadi wajar kalau kamu sibuk tapi tetap harus kasih waktu buat tubuh kamu istirahat"

Aldhy tersenyum mendengar yang dikatakan Hara, hanya sebuah perhatian kecil namun begitu memiliki efek besar untuk Aldhy. Hara adalah hidupnya, semangatnya.

"I love you"

"I love you more babe"

Keduanya menghabiskan malam dengan membahas semua yang dilakukannya hari ini hingga tak sadar salah satu telah terlelap terlebih dahulu.

Lagi-lagi Aldhy hanya menghela nafas lelah. Aldhy sudah lelah harus selalu hidup dalam kenangan membuat dirinya tak bisa membuka perasaan pada wanita lain.

Apa perlu dia menerima tawaran Mamanya untuk dikenalkan dengan anak temannya? Ah tapi sepertinya memang perlu.

Tawaran itu sebenarnya bukan hal baru, sudah berkali-kali Mama Aldhy menawarkan untuk dikenalkan kepada anak temannya agar Aldhy segera melupakan Hara namun yang Aldhy lakukan selalu saja menolak. Bahkan pernah sangking geramnya selalu ditolak oleh Aldhy, Mamanya tak berbicara lagi langsung saja mengenalkan wanita kepada saat jam makan siang di kantor.

"ini kenapa bawa anak temen mama kesini?"

"Mama mau kamu kenalan sama dia, siapa tahu kalian cocok kan?"

"Ma, kita pernah bicara tentang ini. Mama tahu Aldhy masih belum bisa ngelupain Hara"

"Mama tahu Al, sangat tahu tapi apa salahnya mencoba bukan?"

"Ma, Aldhy mohon jangan paksa Aldhy"

"Tapi Al"

Udah ma, Aldhy capek berdebat masalah ini mulu. Yang mau ngejalanin itu Aldhy, Aldhy gak mau punya pasangan sedangkan Aldhy belum punya rasa apapun sama dia. Tolong mama ngertiin Aldhy"

Aldhy langsung keluar dari ruangannya tanpa menoleh kepada mamanya yang masih sibuk memanggilnya.

Keputusan Aldhy sudah bulat untuk menerima tawaran mamanya yang selama ini dia tolak. Seperti satu pesan cukup untuk memberi tahu mamanya dan lihat saja betapa heboh mamanya nanti.

ReviensTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang