"Yah, lupa. Bang, anter ke minimarket dulu dong. Aku tadi mau beli sesuatu." Seru Adelia saat mengingat dia harus mencari 'roti rasa srikaya' untuk Denis. Hampir saja dia melupakannya jika saja seorang anak kecil yang asyik makan roti tidak lewat didepan komplek rumahnya.
Dibalik helm yang menutupi sebagian wajahnya, Dika mendengus seraya menatap horror Adelia dari balik kaca spion. Saat motor matic itu berhenti tepat didepan rumah mereka Adelia enggan turun. Dengan wajah memelas, sekali lagi dia mencoba membujuk Dika. "Ayolah Bang. Masa nganterin adek aja nggak mau."
Namun Dika tidak perduli dan dengan cuek langsung turun dari motor meninggalkan Adelia yang nyaris jungkir balik jika saja kaki cewek itu tidak menahan pijakannya. Setelah melepas helmnya dan merapikan rambutnya, Dika menatap adiknya yang juga balik menatapnya masih dengan mata memelas itu. Lalu cowok itupun menghela napas sambil menunjuk awan mendung diatas mereka.
"Kamu nggak lihat, bentar lagi hujan. Entar kalau kehujanan terus sakit gimana?" Ujar kakak Adelia itu seraya melepas sepatunya.
"Lagian se-emergency apa sih? Sampai mau ngotot pergi begitu?" Adelia lalu menggaruk belakang lehernya yang sebenarnya tidak gatal. Bingung mau menjawab apa. Jika dia bilang dia harus membelikan seorang teman cowoknya sebungkus roti itu pasti Adelia akan dicekoki berbagai pertanyaan yang berbau interogasi yang pastinya akan memperpanjang masalah. Apalagi abangnya itu susah diajak kompromi jika menyangkut masalah cowok.Adelia jadi ingat pas masih tinggal di Bandung dulu. Saat itu musim hujan dan dia baru bisa pulang sekolah pukul lima sore gara-gara masa pengayaan sebelum ujian. Saat itu Adelia pulang diantar salah satu teman cowoknya dan setelah sampai rumah dia langsung diinterogasi habis-habisan oleh Dika dan berakhir dengan ancaman. "Awas aja kalau abang masih lihat kamu pulang bareng cowok tengik itu. Mending kamu tungguin abang jemput kamu setiap hari." Kata-kata ancaman Dika waktu itu kembali terngiang dikepala Adelia. Punya kakak over protective itu ternyata nggak semanis yang Adelia pernah pikirkan.
"Malah bengong. Mau beli apaan sih?" Ujar Dika berdiri diambang pintu sambil menatap Adelua dengan wajah penuh tanda tanya. Adelia tersadar dan langsung membuat bentuk persegi dengan kedua jari telunjuknya dengan gugup.
Dika makin menautkan alisnya dengan bingung. Namun setelah melihat ekspresi aneh Adelia, cowok itu malah salah kiprah. "Kamu mau beli pembalut? Nggak ah. Pergi aja sendiri." Ujar Dika sambil melemparkan kunci motornya kearah Adelia. Dengan wajah merah padam Dika lansung beranjak kedalam rumah. Sementara Adelia malah cengo sendiri. Kakaknya itu ada-ada saja.
Tapi dari pada itu, dia punya urusan penting sekarang. Setelah memungut kunci motor yang gagal dia tangkap tadi, Adelia lalu melepas sepatunya dan menggantinya dengan sepasang sendal jepit hitam yag tersedia diteras rumahnya. Tas hitamnya dia letakkan dimeja kecil yang tak jauh dari tempat dia berdiri. Dan terakhir, setelah memakai helm dan bersiap memutar motor matic milik abangnya itu tiba-tiba saja hujan deras turun mengguyur pekarangan rumahnya. Entah kenapa dia selalu mendapat azab akhir-akhir ini.
"Yaampun kok apes banget sih?" Keluh Adelia sambil mengembalikan motor Dika ke posisi sebelumnya. Untung saja cewek itu belum pergi terlalu jauh, jika tidak sekarang dirinya yng masih dibalut seragam sekolah pasti akan jadi tontonan konyol jika sampai baju seramnya basah dan jadi tembus pandang. Akh benar-benar memalukan. •••. "Loh, Dika bilang kamu katanya pergi ke minimarket. Kok nggak jadi? Keburu hujan loh nanti". Ujar seorang wanita yang mengenakan pakaian olahraga mencolok sambil melakukan gerakan yang menurut Adelia sangat menggelikan. Wanita yang sedang melakukan zumba dance itu tak lain adalah mamanya. 'Loh, perasaan mamanya lagi pergi dinas keluar kota deh?' Guman Adelia sambil menyimpan helm Dika dirak yang tak jauh dari pintu masuk.
"Mama kok udah pulang? Bukannya besok baru sampai rumah?"
Bukannya menjawab pertanyaan itu, sang mama hanya mendengus ditengah-tengah gerakan peregangan yang sementara dia lakukan. "Kamu ini ditanya malah balik nanya. Mama nebeng sama temen mama yang bawa mobil. Biar cepat sampai rumah. Nah, sekarang jawab kenapa kamu nggak jadi pergi?" Kini giliran mamanya yang memberikannya pertanyaan dengan wajah kepo andalannya. Adelia menghela napas singkat sambil menunjuk kearah luar rumah. "Udah keburu hujan Ma." Setelah mendengar jawaban santai Adelia, awalnya mamanya hanya mengangguk-angguk paham. Namun setelah sadar apa yang terjadi wanita berumur pertengahan tiga puluh itu langsung melotot dan setengah berlari menaiki tangga ke lantai atas. Dan tak lama setelah itu teriakan menggelegar mamanya memenuhi langit-langit rumah. "Rian, Dika bantu Mama angkat cucian."
***Setelah drama mengangkat cucian antara mama dan kedua saudara cowoknya berakhir Adelia memutuskan untuk mengorek-korek isi kulkas, berharap menemukan camilan yang bisa dia gunakan untuk mengganjal rasa laparnya sore ini. "Loh, buah Srikaya?" Tangannya mengeluarkan buah dengan duri-duri hijau yang nampak tak asing. "Mama, dapat buah Srikaya dari mana?" Adelia jelas bingung. Pasalnya siang tadi saat dia mengambil air es dari dalam kulkas, satu plastik penuh buah Srikaya itu belum ada. Lagian diluar sana hujan deras masih mengguyur dan belum juga reda sejak siang tadi. Tidak mungkin juga kan mamanya pergi ke pasar hujan-hujan begini? Apalagi hari ini Papanya pergi bekerja menggunakan mobil. Tanda tanya besar itu terus saja terngiang dibenak Adelia sampai jawaban Mamanya membuatnya mengangguk-angguk mengerti. "Oh itu, mama dikasih sama Pak Lurah ditempat mama dinas kemarin." Ujar mamanya yang kini tengah asyik melipat dan membolak-balikkan pakaina sembari menonton serial azab. Adelia tiba-tiba dia mendapat ide cemerlang.
"Ma, buahnya aku pake sebagian ya ?".
"Iya pake aja Del."***
Keesokan paginya Adelia sudah berkutat dengan mixer, tepung, serta alat-alat dan bahan untuk membuat kue. Bermodal jam weker yang bertengger manis diatas nakasnya Adelia bangun pagi-pagi buta untuk membuat roti isi srikaya. Bahkan aksinya di dapur pagi itu membuat mama yang masih mengenakan daster dan rambut berantakan buru-buru kedapur mengira ada maling yang masuk rumah mereka.
"Tumben kamu bangun pagi-pagi buat bikin kue Del . Hari ini kan sekolah." Dengan wajah mengantuk mamanya melirik jam dinding diruang makan yang masih menunjukkan setengah enam pagi.
"Biar bisa bisa dibawa ke sekolah Ma." Ujar Adelia dengan telaten mengaduk-aduk daging buah srikaya yang sudah terkaramelisasi menjadi seperi selai. Mama hanya mangut-mangut lalu beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka . Adelia kemudian mengeluarkan adonan roti yang sudah mengembang dan menyiapkan isian selai srikaya buatannya untuk nantinya dimasukkan kedalam roti. Sebelum roti yang sudah dia tata di cetakan itu dimasukkan ke dalam oven, Adelia mengolesi permukaannya dengan margarin.
Sembari menunggu Adelia pun memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap sementara Mamanya yang gantian berada di balik kitchen counter untuk menyiapkan sarapan pagi.
***
Setelah menghabiskan waktu tiga pulih menit untuk bersiap-siap Adelia pun turun dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Roti buatannya seharusnya sudah matang sekarang. Diruang makan hanya ada mama yang baru saja mematikan kompor.
"Biar aku aja Ma yang mindahin ke piring. Mama siap-siap aja dulu." Adelia mengambil alih sendok kayu itu dari tangan mamanya sementara mamanya mengangguk paham dan beranjak ke kamarnya. Tak lama setelah itu Dika muncul dari pintu kamarnya, disusul oleh Rayan yang entah kenapa sudah duduk di meja makan begitu Adelia mengeluarkan rotinya dari dalam oven. Aroma roti langsung menguar takkala Adelia meletakkan nampan oven berisi roti isi srikaya keatas meja counter. Dika San Rayan langsung merapat dengan tampang mupeng.
"Kayaknya enak Del. " ucap Dika tanpa melepaskan pandangannya dari objek menggiurkan didepannya. Rayan malah lebih parah. Tangan nakalnya hendak mencomot roti yang fresh from the oven itu tanpa permisi. Untungnya Adelia dengan cepat menggepuk tangan Rayan dengan sebuah spatula besi dan cowok itu langsung meringis.
"Dasar pelit." Rayan menggerutu sambil mengusap-usap tangannya.
"Kamu sama bang Dika mandi dulu napa. Liat tuh iler kamu masih terpampang gitu. Mandi dulu sana." Adelia mengomel melihat tingkah kedua saudara laki-lakinya itu sementara keduanya sama-sama menghela napas dan beranjak meninggalkan dapur dengan wajah tanpa minat. Untung saja Adelia membuat roti itu dalam jumlah yang banyak. Dan selagi Dika dan Rayan sibuk siap-siap, dia pun berjinjit untuk mengambil kotak bekal ukuran sedang dari atas kitchen set dengan maksud untuk menyisihkan sebagian roti itu untuk dia bawa ke sekolah dan melanjutkan misinya. Yaitu mengganti roti yang sudah diberikan Denis padanya tempo hari. Berlebihan memang, tapi kalau dipikir-pikir tidak ada salahnya kan membalas kebaikan orang lain dengan cara yang lebih baik. Dia juga sudah cukup lama nggak memanggang roti . Itung-itung buat latihan.Adelia memang menyukai kegiatan backing sejak masih tinggal dengan neneknya bersama Dika di Bandung dulu. Bahkan bakat membuat kuenya ini diturunkan oleh neneknya sendiri yang kebetulan juga membuka usaha toko kue didepan rumah mereka di Bandung. Tapi semenjak nenek meninggal toko itu pun di tutup dan rumah neneknya dibiarkan kosong karena sebagian besar keluarga mereka sudah tidak tinggal diBandung. Dan mau tidak mau Adelia dan Dika pun harus pindah ke Jakarta bersama orang tua dan Rayan setahun yang lalu. Meskipun begitu hobby memanggang kue Adelia masih dia tekuni hingga sekarang walaupun intensitasnya sudah tidak sesering dulu. Paling banter dia cuma bakal bikin kue kalau mamanya minta diajarin. Atau kalau dia lagi niat seperti sekarang ini.
Dika dan Rayan langsung balapan ke meja makan begitu keduanya melihat roti buatan Adelia sudah tersaji diatas meja. Namun sebelum kedua tangan rakus itu mencomot roti yang masih hangat itu Adelia menahan mereka sejenak.
"Jangan lupa sisain buat mama sama papa. "
"Iya bawel." Itu jawaban tidak sabaran Rayan tentunya.
*
*
*
To be continued