Chapter 3 : The Gamer Boy

292 24 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Akh, sialan. Buff gue kecolongan lagi."
"Woi Mike. Recall buruan. Base kita diserang Katarak."
"Gila, Fannynya sakit banget anjing."

Dan umpatan-umpatan lain terus saja terdengar dari deretan bangku belakang, tepatnya dari ketiga cowok yang sedang sibuk dengan handphonenya masing-masing, namun masih terhubung dalam sebuah game online. Sederhananya mereka lagi main game bareng atau mabar.

Bahasa-bahasa kurang mengenakkan itu berasal dari Vino, Michael, dan Denis. Ketiganya memang selalu mengisi waktu istirahat ataupun jam kosong dengan main game bareng. Biasanya akan ada Julio juga namun sepertinya cowok itu lagi sibuk mojok sama pacarnya hari ini. Dari jaman ingusan pas masih kelas sepuluh dulu hingga duduk dibangku kelas XI sekarang ini, kebiasaan mengumpat mereka tidak pernah bisa hilang.

Walaupun sekarang mereka jadi agak susah buat ngumpul dan main bareng seperti sekarang ini karena Vino, atau lebih tepatnya Denis dan Michael harus lengser dari kelas X IPA 5 ke XI IPA 6 karena sistem perolingan kelas tahunan. Tidak aneh sih, karena dari mereka bertiga Vino lah yang paling bisa diandalkan jika berhubungan dengan pelajaran. Dan imbasnya, mulai hari ini hingga seterusnya Vino lah yang harus repot-repot bergabung ke kelas Denis dan Michael setiap mereka ingin mabar.

Walaupun sebenarnya kelas mereka hanya berselahan, namun tetap saja para cowok yang hobby game itu merasa produktivitas bermain mereka akan berkurang. Jadinya mereka memutuskan untuk membuat mabar ditiap kesempatan. Bahkan jika memungkinkan, ketiga cowok itu setuju untuk mabar sampai lewat jam pulang sekolah.

Seperti sekarang ini, ketiganya lega karena dihari ke-2 mereka duduk dikelas XI ini, jam free seperti kemarin masih berlaku. Walaupun tidak dikeseluruhan jadwal pelajaran seperti pagi ini, baik kelas Vino maupun kelas Denis sama-sama diisi oleh guru mata pelajaran masing-masing. Dan entah keberuntungan apa, jam pelajaran setelah jam istirahat kembali free. Jadinya kesempatan itupun dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh ketiganya. Minus Julio yang memang lagi sayang-sayangnya sama Yuni pacarnya.

"Eh anjir. Tuh kan kalah. Bego lu berdua." Ujar Vino kesal sambil pura-pura membanting handphone putihnya ke atas meja Denis dengan kekutan yang sangat kecil tentunya.
"Yaelah Vin, main di Clasic aja lo udah sensian gitu." Ujar Michael menatap cowok berkacamata itu dengan parno. Jangan-jangan kalau sampai rank Vino turun, Michael dan Denis akan jadi tumbal kekesalan cowok itu lagi?

Sementara Denis yang mendengar umpatan kekesalan Vino itu hanya berujar santai.

"Stttt. Jangan banyak bacot. Yang penting gue MVP."

"Gilak lo mati cuman sekali doang. Lah gue mati sebelas kali cok." Michael berujar nggak terima sedangkan Denis memamerkan seringainya.

"Pro player emang beda lah."

"Sialan. Yaudah gue cabut. HP gue lowbatt." Vino pun bangkit dari kursi yang entah milik siapa yang sedari tadi dia duduki semenjak berada di kelas Denis. Tapi toh, cowok itu tidak ambil pusing dan melangkah santai menuju kelasnya.

"Jangan lupa entar sore kerumahnya Bagas, entar mabar lagi." Teriak Denis agak keras saat Vino sudah hampir melangkah keluar dari kelas. Sementara Vino tidak berbalik dan hanya mengangkat jempolnya tanda setuju.
Denis beralih menatap Michael. "Main lagi yuk. Mumpung masih sejam." Ajak Denis namun langsung dibalas Michael dengan gelengan.
"Nggak ah. Cewek gue dari tadi ngajak video call." Tolak Michael mentah-mentah dan langsung membuka salah satu aplikasi chat yang mempunyai fitur video call.
Jawaban yang membuat Denis hanya mendengus malas.

"Dasar Bucin."

"Halah, Iri bilang Boss. Sampai sekarang aja lo masih jomblo. Iya nggak Sayang?". Michael malah balik meledek Denis dengan ejekan tidak berfaedah. Ditambah lagi cowok jangkung itu malah bersekongkol dengan Christine pacarnya yang kini tersenyum menyapa Denis dari layar handphone Michael. Denis hanya terseyum kecut sebagai jawaban dan kembali fokus ke handphone hitam kesayangannya.

Denis itu meggerutu dalam hati. Harus dia akui, dia memang sangat payah dalam urusan-urusan yang berbau percintaan. Padahal wajahnya lumayan cakep loh. Alis tebal, tatapan matanya tajam, hidung yang mancung, kulit putih, tubuh tinggi dan tegap. Cuma mungkin sifat cueknya yang overdosis itu membuat para kamum hawa enggan duluan berurusan dengannya.

Emang sih kalau dibandingkan sama Julio atau Bagas dia memang cenderung lebih tertutup. Apalagi sama perempuan. INI BUKAN BERARTI DIA PUNYA KELAINAN ATAU APA YA. Hanya saja perempuan-perempuan yang dia kenal selama delapan belas tahun eksistensinya kebanyakan adalah sosok cewek manja yang bakal sangat merepotkan. Contohnya saja Joice dan Stephanie, kedua saudara perempuannya yang tiap hari kerjanya selalu ngeroasting kehidupannya. Selain itu hobby main gamenya bakalan sangat terganggu kalau harus berurusan dengan spesies bernama perempuan. Well itu mungkin agak berlebihan. Tapi Denis yang sejak kecil punya sikap dingin terhadap teman-teman ceweknya itu mungkin kebawa hingga sekarang dan jadinya cowok itu jadi nggak terlalu populer seperti Julio atau Bagas. Tapi toh dia nggak terlalu ambil pusing akan masalah itu.

Dia jadi ingat pas SMP dulu. Ada seorang cewek seangkatannya yang terang-terangan mengaguminya. Ralat. Dari pada mengagumi cewek itu lebih pantas disebut fans fanatik garis keras yang gila. Jangan salahkan Denis menyebutnya demikian. Cewek itu berisik. Selalu mengikutinya kemana-mana. Bahkan selalu duduk diatas jok motor sport kesayangannya tiap pulang sekolah. Pokoknya keberadaannya benar-benar mengganggu apalagi buat cowok pecinta ketenagan seperti Denis. Rasa-rasanya Denis pengen memasukkan cewek bernama Dikta itu kedalam karung lalu menenggelamkannya ke Laut Cina Selatan. Karena sudah mencapai batas Denis yang waktu itu masih jadi remaja puber dengan hormon yang menggebu-gebu pun mengambuk saat cewek itu nggak sengaja menjatuhkan handphonenya hingga membuat layarnya jadi retak. Sambil mengeluarkan cacian hingga mengabsen seisi kebun binatang akhirnya Denis kembali mendapatkan ketenangannya. Dan sejak saat itu Denis terkenal dengan cowok cuek, dingin, kejam, suka marah-marah, tapi ganteng.

Sejak dulu dia selalu mahir dalam memainkan berbagai jenis video game. Mulai dari game-game online di hand phonenya,Nintendo, PSP, PS3,PS4, hingga game selevel DOTA atau Point Blank yang bisa bikin bocil duduk berjam-jam lamanya didalam warnet. Semuanya sudah dia jabanin. Bahkan saking mahirnya Denis pernah dapat tawaran bergabung ke tim esport yang cukup populer namun ditolak cowok itu dengan alasan masih ingin lanjut sekolah.

Cowok itu segera membuyarkan lamunannya saat tawa keras Michael yang entah sedang menertawakan apa bersama Christine mengganggu indera pendengarannya. Sepertinya tidak ada pilihan lain. Dia harus bermain game sendirian kali ini.

Cowok berambut cepak itu merogoh ransel hitamnya dan mengeluarkan sebuah headset putih dan menyumpal telingaya dengan benda itu. Memakai headset sambil bermain game memang sudah kebiasaannya sejak dulu. Selain lebih fokus dalam bermain, sensasinya juga beda Gan.

Setelah mengatur posisi paling nyaman yaitu menelungkupkan kepalanya dibawah tas sambil menyembunyikan handphonenya dibawah meja, akhirnya Denis mulai untuk bermain. Mencoba mengabaikan suasana kelas yang entah sudah seberisik apa, dan juga ekspresi sok manis Mike yang selalu membuat Denis ilfeel setiap kali teman sebangkunya itubertransformasi menjadi bucin alias budak cinta. Apalagi saat Michael mulai melontarkan gombalan-gombalan receh. Tolong. Kubur cowok itu sekarang juga.

Kadang Denis bingung sih bagaimana cara Mike bisa mengatur waktu untuk bermain game sekaligus memanjakan pacarnya. Apalagi Mike dan Christine itu sudah hampir setahun menjalani hubungan dengan istilah "Long Distance Relationship" karena Christine harus pindah bersama orang tuanya ke Semarang. Dan lagi Christine satahun lebih tua dan sekarang duduk dibangku kelas XII. Bukankah seharusnya cewek itu juga mulai sibuk? Tapi yah, begitulah. Menyadarkan orang LDR memang sepertinya mustahil.


Tapi tunggu. Sejak kapan Denis mau repot-repot mengurusi hal tidak berfaedah seperti itu? Setelah sadar, Denis pun kembali memfokuskan perhatiannya ke benda pipih yang sedari tadi dia genggam.
"Sialan. Udah mulai dari tadi ternyata."
.
.
.
.
To be continued...
.
.
.
.
Author's Note :

Revisi dulu. Tugas kuliah kemudian.

When The GAMERS Falling In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang