Gelapnya Hari ke-7

47 3 2
                                    

Kegelapan Pertama : Pertarungan Dosa & Cinta.

Tak kletak kletak kltak...Ng..oooohh!!!!
Memang jalan depan rumahnya berbatu, begitupun seluruh jalan di desa itu. Suara kletakan langkah sapi yang sejak pagi telah menarik pedati itu  membangunkannya, remaja bernama Udin.
Tersadar awal senin-nya sudah tiba, ia bergegas membuang selimut hangat minggu-nya menuju kamar mandi. Suara gesekan spatula pada kuali, piring-piring cucian bertumpuk beradu, serta gemericik kucuran air yang jatuh dari keran menuju ember sudah merupakan harmoni yang selalu terdengar oleh Udin setiap paginya. Tak lama berselang remaja itu berdiri dari jambannya diiringi musikalisasi orkestra rumah tangga tetangga tadi, menyesuaikan tinggi tempayan dengan tinggi tubuhnya antara duduk dan berdiri, ia mandi.
Sekarang si remaja 15 tahun itu sudah mencerminkan sedikit keseninan-nya, dengan mengenakkan seragam putih abu-abu yang tampak begitu rapi karena baru saja disetrika emaknya waktu iya mandi. Iya berdiri tersenyum pada 2 sosok didapur kecil itu. Dilihatnya pria paruh baya yang gagah dengan kampak dan kayu bakarnya, puan anggun yang meniup-niup bara dalam tungku dengan sebilah buluh kecil, keduanya sudah berpeluh sejak pagi. "Bapak dan emakku", kira-kira begitu pesan senyumnya.
Bara yang merah menyala menjadi api tadi telah mematangkan telor ceplok terwadah kuali sang emak, diangkat dan dihidangkannya "Din..makan dulu".
Pagi itu dapur hangat bukan karna susunan kayu bapak yang disulut api si emak, tapi karena ada 3 representasi kehidupan bathiniah yang begitu kental. Kemurnian, keikhlasan dan kerja keras.
Pak Dirman meninggalkan dapur, meletakkan kampak bersama potongan-potongan kayu bakar yang telah dibelahnya. Ia menoleh ke jam dinding sambil merogoh saku celananya "Din...sudah jam 7 kurang 15" teriaknya (sambil meremas pecahan 5 ribuan ditangan kanannya). "Iya pak...!" (Udin tengah memasukkan buku pelajarannya kedalam tas sekolahnya sambil berlari-lari kecil menuju ruang tamu).
"Udin pamit pak, Assalamu'alaikum..", bak salam tempel pada anak-anak saat idul fitri pecahan 5 ribuan itupun berpindah tangan dari tangan pak Dirman pada anaknya. Udin berangkat menuju sekolahnya.
Begitulah rutinitas dan hari-hari yang dilalui keluarga Udin.

. . .

Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, Udin yang dulunya berperawakan udik dengan seragam putih abu-abunya kini telah menginjak usia 20 tahun dan telah berkuliah diperguruan tinggi semester 4. Keudikannya telah hilang, pria jangkung itu tampak gagah dengan almamater hijau identitas kampusnya.
2 tahun telah dilaluinya dikota tempatnya kuliah, selama itu pula Udin belum pernah pulang ke tanah kelahirannya, bahkan untuk bertemu kedua orang tuanya.
Berkuliah bukan satu alasannya untuk tidak pulang, selain itu kedua orang tuanya juga tak menyarankannya untuk pulang. Karna jarak dari desa ke kota sangatlah jauh, tentunya juga sangat berat diongkos.
Keluarga sederhana Dirman hanya pasangan pedagang sayuran di pasar mingguan, dan selain hari pasar mereka meneruskan pekerjaan warisan leluhurnya, yakni bertani. Kendati tak pantas kita menyebutnya miskin, tapi dari 2 pekerjaan itu saja mereka tidak dapat mencukupi biaya sehari-hari apalagi jika harus ditambah dengan ongkos pulang pergi anaknya ke kota untuk kuliah. Beruntungnya putra mereka Udin bisa kuliah berkat kecerdasan dan kerja kerasnya sendiri, beberapa tahun setelah lulus SMA ia memilih membantu orang tuanya dan orang-orang dipasar. Hasil keringat itu ditabungnya beberapa tahun, demi untuk berkuliah.
Beruntungnya lagi, di kota Udin bisa tinggal dikontrakan temannya yang kebetulan berjarak dekat dengan kampus, untuk tinggal disana Ranto tak pernah meminta temannya Udin untuk patungan membayar kontrakan. Ranto memang merupakan putra bungsu dari seorang pengusaha ternama dikota itu, jadi untuk biaya hidupnya sehari-hari dapat dikatakan terjamin oleh keluarganya. Bukan tanpa alasan Ranto mengijinkan Udin tinggal gratis di kontrakannya, alasannya ia bisa memanfaatkan kecerdasan Udin dalam membantu perkuliahannya seperti bertanya tentang tugas atau bahkan menconteknya.
Dua sahabat ini kuliah di Jurusan ekonomi, yang mungkin bagi keduanya sangat dekat dengan kehidupan keluarganya. Namun masing-masing mereka punya perspektif yang berbeda, bagi Udin ilmu ekonominya nanti akan dimanfaatkannya untuk menunjang perekononomian keluarga dan warga desanya. Tapi bagi Ranto jangankan ilmu ekonomi yang dikuliahinya, kuliahnya saja seolah ia buat jadi sekedar sarana hura-hura.
Dikampus yang sebesar ini bukan hanya ada kisah tekunnya si Udin dan Gokilnya Ranto. Ada juga seorang wanita bercadar dikelas mereka bernama Sofia, Sosok yang lembut tapi cenderung introvert ini adalah peraih IP tertinggi 4 semester. "Bagai bumi dan langit, macam itulah Udin dan Sofia", begitu slentingan candaan yang selalu dicandakan teman-teman mereka yang ketika melihat keduanya sering beriringan. Namun keduanya menampik candaan receh seperti itu, Karena tiada maksud lain dari masing-masing mereka saling dekat selain berdiskusi dan saling menambah pengetahuan. Terbukti dari peringkat IP yang mereka peroleh, Sofia sang juara dan Udin si runner up.
Sampai pada suati hari, mereka semakin dekat dengan yang disebut semester akhir.
Ranto dan sesama teman lainnya yang dulunya tukang hura-hura, sekarang mendadak tekun. Sofia the soft makin menambah jam-jam diharinya di perpustakaan.
3 tahun sekian bulan sudah Udin tak bertemu orang tuanya, 3 tahun sekian bulan itu pula iya merindukan kletakan suara pedati dikampungnya.
Tanpa ia ketahui, jalan yang dulunya bebatuan diseluruh seluk kampung sekarang sudah mulus berbeton. Sapi-sapi penarik pedati yang dulu jumlahnya hampir sama dengan jumlah rumah dikampung itu, sekarang sudah banyak dijual pemiliknya yang kini terganti sepeda motor, handphone, laptop dan gawai lainnya untuk anak-anak mereka.
Mereka yang dulunya semua petani, sekarang banyak yang memilih beralih profesi menjadi tukang ojek dan kuli angkut di pasar.
Namun tidak bagi Dirman dan istrinya, hampir tak ada perubahan di kehidupan mereka selain kulit yang melonggar dan rambut yang melayu. Mereka masih bertani dan memanen hasilnya untuk dijual ke pasar, hanya saja biaya yang mereka keluarkan untuk hidup tak lagi sama pada masa Udin remaja.
Dulu mereka masih membawa pupuk dari tahi ternak yang gampang diambil dikandangnya atau pupuk dari timbunan dedaunan alami yang mereka buat sendiri.
Dulu pupuk, bibit dan hasil panen mereka masukkan karung dan diangkut berjalan kaki atau dengan menyewa pedati yang hanya seharga 5 ratus perak. Sekarang mereka mau tidak mau harus membeli pupuk kimiawi yang dibuat pabrik dikota yang entah seperti apa rupanya. Sekarang mereka mau tidak mau harus menyewa ojek untuk angkutan, dan itu biayanya 5 kali lipat dari sewa pedati.
Batuk yang biasa diderita Dirman dulunya hanya berpenawar sirih dan gula, sekarang berganti kaplet pil-pil kecil atau cairan dalam bungkusan yang harus dibeli di warung.
Udin tak tahu kampung kecil itu jauh berubah.
Kontradiksi dengan kampungnya, kehidupan kota Udin terasa seperti biasa-biasa saja. Mungkin karna dia tak terlalu sering menghabiskan waktunya diluar kontrakan dan kampus selama 3 tahun belakangan.
Tapi sekarang waktu 24 jam dalam sehari hampir terasa kurang baginya. bagaimana tidak, dari pagi sampai siang hari ia harus berkuliah atau nyekripsi, dari jam 3 sore sampai hampir tengah malam ia harus bekerja sampingan di caffe demi mencukupi kebutuhan semester akhir yang semakin bertambah. Hanya sholatnya yang ia jadikan pengaduan dan jeda istirahat duniawi.
Suatu hari karena sibuk dan kecape'an Udin demam. Ranto enggan belajar dan bertanya, kelas pun terasa kehilangan interupsi tandingan ocehan sang dosen.
Anehnya..3 hari Udin tak ke kampus, 3 hari itu pula Sofia tampak bingung. Kecamuk hatinya tercambuk rasa yang belum pernah ia rasakan selama 3 tahun berteman dengan pria jangkung itu. Biasanya rasa ingin bertemu Udin hanya didasari keinginan saling berdiskusi tentang kuliah, tapi kali ini Sofia sangat amat ingin bertemu teman diskusinya. Hanya saja dasarnya telah berubah, bukannya ingin berdiskusi. Kepalanya bertanya "inikah rindu? Yang sering membingungkan para pujangga".
"Astaghfirullahal adziim", bibirnya bertutur.
"Kenapa Sof?" bisik tanya Dewi yang duduk dibangku sebelah.
"Gapapa wi, ini salah tulis"
"Bo'ong lu...pasti kepikiran Udin, soalnya gua liat lu ngelamun ngeliatin kursinya Udin dari tadi"
"Huss..sembarangan!".
(Keduanya cekikikan)
Kelas hari itu berakhir dengan rindu Sofia pada Udin yang baru saja termulai.

Jum'at, si Jangkung belum juga menampakkan dirinya di kelas bahkan di kampus. Hari ke-4 sejak selasa, serasa bak abad ke-4 bagi Sofia, ia makin merindukan pria kurus itu sampai menetes air mata dzuhur di penghujung do'anya, termaktub nama Udin Abdillah.
Hanya tuhan dan dia yang tahu isi do'anya, hanya tuhan dan dia yang tahu apa yang dirasakannya, hanya tuhan dan dia yang tahu apa yang akan dilakukannya.
Sofia bergegas menuju parkiran, motor di starternya. Bak hujan badai rasa hatinya, bergetar bibirnya, terengah nafasnya, tangis mengiringi perjalannya pulang. Dilemparkannya tas berisi skripsi dan buku-buku, lalu tubuhnya rebah tertelungkup di kasur empuk kamarnya.
Kumandang adzan menghentikan kecamuk itu, ditariknya nafas panjang terbuang lembut lewat mulut, Iya bangun untuk berwudhu'. tiada lagi air mata di sholatnya, asharnya berujung, tengadah tangan dan pejam mata penuh renung, mulutnya mengatup, hatinya meminta kepastian " Yaa Muqollibal quluub...".
Lalu iya duduk di depan jendela kamarnya, mukena masih melekat di tubuh gadis itu. Sofia meraih handphone-nya dikasur, ia membuka facebook. Bukan kebetulan, upload-an foto kenangan 3 tahun lalu ketika menjadi maru yang dibagikan Udin terpapar dihadapannya. Tapi kali ini hatinya sedikit damai, mungkin karna membaca caption Udinnya "just three years is a short time, I want to love u for along time". Tanpa bisa menolak hatinya menyimpulkan, "caption itu untukku!".
Tarian awan sore jum'at itu tampak begitu cantik, temurun senja menyebarkan fatamorgana di atap-atap gedung perkotaan.
Malam ini sofia tertidur berbantal bingung, terkapar berselimut rindu.
. . .

(Pagi itu di kontrakan Ranto)
"Bro, hari ini gua mau ngikut anak-anak liburan. Lho gapapa kan gua tinggal?" Ranto bertanya.
Udin menjawab dari balik selimut, "Oke,aku juga udah agak mendingan kok To. bawa kunci serap aja takutnya kamu pulang kemaleman aku udah tidur".
Padahal Udin sudah tahu bahwa temannya itu gak bakalan pulang malam ini, karna weekend bagi Ranto memang hari yang ditunggu-tunggu dan harus dimanfaatkan untuk berhura-hura.
Jam 9 pagi tinggal si Jangkung sendirian di kontrakan itu. kamar sudah dibereskannya, tubuh yang kemarin demam sudah dibersihkannya.
Dibukanya laptop, ditemani secangkir teh hangat dan semangkok mie instan, ia memberi salam pada skripsinya.
Tak terasa 3 jam sudah Udin bersama skripsinya, Ia melenturkan punggungnya di kursi pertanda tubuhnya butuh istirahat, Distelnya lagu penyanyi favoritnya, Once Mekel. "Symphony yang indah".
Sedang asyik terlarut dalam lantun lamun lagu, sayup terdengar seperti ada yang memanggil dan mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum..."
"Ranto...To..."
"Permisi,.Assalamu'alaikum..."
"Ranto? Bang Din?.."
"Seperti suara Sofia" tanya Udin bingung sambil memastikan.
"Iyaa...sebentar".(Udin berlari untuk membukakan pintu)
(Pintu berdecit)
2 orang ini saling tatap didepan pintu untuk beberapa detik.
Udin melihat sosok wanita bercadar dan bekerudung merah muda dihadapannya, bulu matanya lentik seakan terdengar desiran ombak bibir pantai jika melihatnya berlama-lama, binarnya matanya tak menyilaukan tapi membuat sesiapa yang memandangnya dari jarak sedekat ini pasti akan pangling.
Sebaliknya, Sofia melihat ada wujud kekokohan dan keteguhan yang sedang berdiri tepat didepannya.
(Keduanya kembali sadar dan tertunduk)
Udin membuka percakapan, "Loh,.tumben Sofi datang kemari. Ada perlu apa Sof? Kalau sekedar diskusi skripsi kan bisa whatsapp atau tunggu senin aja kita ketemu dikampus".
"Mmm...maaf bang Din" (Sofia tak berani mengangkat kepalanya)
"Kamu kenapa? Nggak seperti biasanya"
"Kayak ada yang aneh, ada masalah ya?"
"Sof? Hey..?"
"Sofi,Kamu kenapa sih? Sini masuk, gapapa. Duduk dan cerita ke bang Din".
Udin mengarahkan Sofia duduk ke sofa, lalu dituangnya air putih kedalam gelas.
"Ini, minum dulu", Ujar Udin.
Diberikannya gelas itu ke genggaman Sofia, lalu tangan lembut gadis itu ia genggam. 4 tangan menggenggam 1 gelas.
Mendadak Sofia kaget, gelas itu jatuh dan pecah berserakan dilantai. Ingin bergegas membereskannya, tangan gadis itu terluka tersayat pecahan gelas.
Sontak Udin menarik tangan Sofia, telunjuk yang berdarah itu dimasukkan kemulutnya, untuk mengurangi kucuran darah luka Sofia.
Gadis itu tak lagi merasa dingin luka dijarinya, telunjuk yang terluka dan hati yang merindu sama-sama terasa hangat saat pria dihadapannya memperagakan hal seperti itu.
Udin tahu teman diskusinya itu takut melihat darah, digenggamnya saja tangan kanan Sofia dengan tangan kirinya. Lalu tangan kanannya mengelus lembut dahi Sofia, Udin berbicara dengan pelan..
"Jangan takut ya, maaf juga tadi abang udah bikin kamu kaget"
"Gapapa bang Din, maafin Sofia juga..tadi Sofia kaget soalnya Sofia belum pernah sebelumnya bersentuhan sama laki-laki".
"Sekarang abang ambil perban sama obat-obatan dulu ya"
.
.
.
"Ini perbannya" (tawaran Udin)
"Mana bisa pasang sendiri, liat darah aja aku takut" (Gadis itu merengek)
"Kalo abang yang pasang entar kita sentuhan lagi gimana? Hehe"
Pipi gadis itu merona mendengar candaan teman diskusinya, terlihat ada binar air mata yang tak jadi menetes di bibir rongga matanya.
Seolah phobia pada warna merah, sampai-sampai ia tak sanggup melihat Udin meneteskan betadine di lukanya. Sofia tak sadar posisi duduknya telah berpindah dibelakangi oleh Udin yang tengah merawat luka di telunjuk lembut dan mungil.
Harum parfum pria yang memperban lukanya itu seolah membuat Sofia berhalusinasi karena ia berada tepat dibelakang Udin, sampai ia tak sadar tangannya telah dibalut perban dan kedua tangan itu spontan memeluk tubuh sosok didepannya. Matanya terpejam, angannya mengawang-ngawang, pelukan itu makin mengerat.
Tiba-tiba saja petir menggelegar, suara itupun membangunkan si gadis, dan pelukannya terlepas sesaat.
Hujan tengah hari di sabtu itu turun sangat deras, guruh sahut menyahut  membuat Sofia kembali teringat akan rindunya pada Udin.
Ia menangis, tersedu..dan beranjak menghadap Udin seraya memeluknya.
Mungkin naluri Udin sebagai pria pun sudah mengerti tanpa harus bertanya kenapa kejadian ini terjadi.? Udin mendekap Sofia yang menangis tersedak rindunya, Sofia memeluk Udin yang tenang dalam pengertiannya. Bersama nyanyian hujan sabtu siang itu, gelas yang pecah telah menumpahkan rindu terdalam bagi Sofia dan Udin.
Udin mendongakkan kepala perindunya itu, diusapnya airmata gadis cengeng didepannya.
Setengah sedu Sofia berucap,
"jangan pergi! Sofi sayang...(tanpa melepas peluknya)
"Hey,.apa bang Din punya adik secengeng  ini ? Lagipula abang mana yang tega meninggalkan adik seperti Sofi". Jawab Udin.
Kerudung dan cadar itu basah oleh air mata rindu, begitu pula dengan kaos yang dikenakkan Udin.
"Udah, jangan sedih-sedih lagi. tunggu disini abg ganti pakaian dulu".
Pria itu bergegas menuju kamar, pintu dibiarkannya terbuka. Curi pandang Sofia menyelinap tertuju ke kamar itu, tampaklah olehnya seorang pria jangkung yang punggungnya putih bersih berdiri didepan lemari.
(Terdengar sayup laptop yang masih memainkan lagu)
Tubuh Sofia terasa melunglai, entah apa yang memnggugah hatinya, tanpa sadar ia berjalan menuju kamar Udin dan Ranto itu. Udin terkaget ketika membalik badan "Astaga!!!"
Mendengar itu Sofia tersadar.
"Boleh Sofi liat skripsi bang Din?". Pertanyaan sekaligus pengalihan rasa malunya karena tanpa sadar memasuki kamar Udin.
"Itu, di laptop" (Udin menunjuk ke meja kerjanya).
Sudah jam 3 sore, hujan tak kunjung reda, Sabtu itu makin gelap.
Karena hujan lebat yang disertai angin, itu membuat air hujan masuk ke kontrakan dari pintu depan. Udin keluar menutupnya, Sofia dibiarkannya duduk dikamar didepan laptopnya.
"Bang Din..ini kok gini ya?" teriak gadis cengeng dikamarnya.
"Kenapa Sof?"
"Ini tadi gak sengaja kepencet, jadinya gini"
"Ohh, gapapa..
"Kamu tinggal klik ini, trus pilih ini, lalu kontrol es lagi aja" (tangan kanan Sofia yang menindih mouse, kini tertindih dan diarahkan oleh tangan Udin). Itu diperagakan Udin yang berdiri setengah menunduk di belakang kursi Sofia. Dagunya menyentuh ubun-ubun wangi si Sofi.
"Gampang ya" (Sofia berbalik)
Tapi ada hal yang sama sekali tak pernah mereka prediksi sebelumnya, kini terjadi begitu saja. Bibir si Pria jangkung menyentuh dahi Sofia.
Terasa ruang melapang dan waktu melambat dentang. Mata mereka terpejam.
Harum rambut dibalik kerudung terseruak menghipnotis Udin, ranum lembut bibir yang tertempel dikening menyetrum hingga ke jantung Sofia.
Mebuat gadis itu beranjak berdiri dari kursinya, rangkul Udin pun jatuh di bahunya, dan terlepaslah cadar diri sang gadis lembut.
Sekarang entah apa yang membuatnya merasa birahi menginginkan lembut bibir itu. Jantung keduanya berdegup menghentak, nafas mereka terdengar seperti dengus kerbau. Pria dan gadis itu melumat dan terlumat.
Tarian yang dipantik libido itu mendekatkan mereka ke kasur yang dari pagi sudah rapi. Udin terdorong jatuh.
Mereka seperti buta akan dosa, mereka lupa kesadarannya. Gadis terintrovert dikelas kini lenyap, yang ada dihadapan Udin adalah wanita liar yang menjatuhkan raganya diatas tubuh pria terlentang, mereka bercinta seperti gurita, di Sabtu gelap yang berubah gulita.
6 hari yang sebelumnya terbaca dan terkaji, tapi tidak hari ini. Hari ke-7 ini sama sekali tak dapat mereka prediksi.
Malam itu Sofia tak pulang, ia terinap dikontrakan Ranto, ia terjerat hasrat merindu.
Bersambung...

Black SabbathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang