Kembali

4 1 0
                                    

Senin pagi...
Kota sudah memulai kehidupannya sejak pagi-pagi sekali. Kantor-kantor siap menyambut kedatangan orang-orang yang setiap weekdays dikerjainya, sekolah dan deretan perguruan tinggi universitas sudah sedia dengan ilmu-ilmu yang akan diberikan pada siswa dan mahasiswa nya.
Tapi tak seperti biasanya, Udin masih tertidur pulas pagi itu. Tak dihiraukannya bising suara alarm. Ranto pun dalam keadaan sama.
Mentari pagi mulai tampak meninggi melewati tinggi atap-atap gedung perkotaan, semakin memercikkan terik yang membangunkan bayangan fatamorgana lewat atap itu.
Koloni merpati yang tadi pagi tampak berjejer di untaian kabel-kabel, serentak beterbangan mencari gedung kosong di ujung kota tempat mereka kawin dan berteduh.
Sahut-sahutan suara knalpot kendaraan dan mesin-mesin mulai memenuhi penjuru kota.
Itu jam 9.30 pagi, dua pemuda masih pulas saja di kontrakannya.
Tubuh pemuda kampung itu memang masih tampak lelah, karna baru saja ia sampai di kota dini hari tadi.
Tiba-tiba seorang pemuda berlari terengah di padang gersang lapang. Sendiri..ia telah berlari jauh sekali, tapi tak tampak apa tujuaan dan apa yang mengejarnya.
Pemuda itu berteriak sambil berlari,
"Aku dimana? Kenapa aku disini? Aku takut! Aku takut!!!
Berlari dengan segala sisa tenaganya, sayup terdengar ada riuh dari jauh yang makin lama terdengar semakin mendekat tapi tak jelas apa yang mereka riuhkan.
Pemuda yang berlari mendaki satu punggungan bukit, semakin besar hasratnya untuk mendekati sumber suara keriuhan dibalik bukit itu. Sedikit lagi puncak bukit itu dicapainya, tapi kakinya tak kuat lagi melangkah, ia merangkak dan suara-suara itu semakin jelas terdengar di depannya.
Ia tiba di puncak bukit itu, nafasnya masih terengah, ia paksakan untuk bangun dan duduk.
Kuyup keringat membasahi tubuhnya, pandangannya kosong, mulutnya tak dapat mengatup.
"Tempat apa ini?"
"Suara siapa ini?"
"Darimana asal keriuhan ini?"
Si pelari bicara sendiri, dilihatnya dari puncak bukit apa yang ada dihadapannya, Sebuah pasar. Tak pernah ia lihat pasar sebesar ini, hampir tak ada barang yang tak bisa dijumpai di pasar ini, ditengah padang yang terik, pasar yang dilihatnya itu tampak teduh.
Anehnya, pasar itu kosong akan aktifitas. Tak ada seorangpun penjual dan pembeli.
Makin anehnya lagi, suara-suara manusia masih saja terdengar berisik tanpa nampak sesiapa yang membuat suara itu. Lelaki itu tertunduk bingung.
Dalam kebingungannya terdengar suara langkah kuda, makin lama makin banyak, makin lama makin dekat.
Pemuda itu mengangkat kepalanya, dari kejauhan tampak gumpalan debu beriring suara langkah kuda-kuda sedang menuju pasar dari awah berlawanan.
Semakin mendekat kuda-kuda itu, pria di puncak bukit menyembunyikan tubuhnya menelungkup di sela semak-semak. Di intipnya para penunggang kuda yang berbondong-bondong turun memasuki pasar, terlihat mereka saling bercanda, ada yang asik memilah memilih barang dagangan, ada yang hanya berkeliling saja. Dari kesemua mereka itu tak ada satupun dari mereka yang dikenal pria pelari tadi.
Seorang penunggang kuda menghadap ke puncak bukit dari ujung pasar, kedua tangannya dibuat seolah menjadi pengeras suara, penunggang itu berteriak, anehnya malah pria itu meneriakkan nama Udin. Setelah beberapa kali nama Udin diteriakkannya, lalu terdengar suara bernada ajakan dari seorang penunggang asing itu "Udin...marilah turun kesini" (seraya tangan kanannya memperagakan gerakan mengais-ngais yang artinya sebuah panggilan). Panggilan itu mengarah pada si penyelinap dibalik semak.
Pemuda yang menelungkup bernama Udin akhirnya bangun dan memberanikan dirinya turun menghampiri pasar dan para penunggang asing.
Ditengah pasar, Udin dikerumuni oleh semua orang asing itu, semuanya terlihat ramah, semuanya melempar senyum kepada udin. Beberapa menit, masih hanya senyum saja yang yang diarahkan penunggang kuda itu kepada pria yang mereka panggil Udin.
Udin memberanikan dirinya bertanya, "kalian siapa dan dari mana ?"
Tak ada jawaban, suara pasar kosong yang tadinya riuh mendadak hilang, senyum-senyum penunggang kuda asing itu lenyap, wajah ramah mereka makin terlihat berubah. Semuanya tertawa terbahak, lingkaran orang asing itu makin mendekat mengepung Udin, wajah-wajah mereka yang awalnya berhias senyum sekarang menjelma jadi sosok yang menyeramkan dan tampak beringas.
Makin lama para penunggang kuda asing itu makin kehilangan manusianya, mereka melayang-layang mengitari Udin sambil terbahak.
Kagetnya Udin, ia berteriak berlari menerobos sosok-sosok aneh itu. Makin lama makin kencang pemuda itu berlari, makin keras pula suara tawa-tawa memekakkan telinganya. Udin meninggalkan pasar aneh dan makhluknya yang jauh lebih aneh.
Telah jauh sekali Udin berlari, tubuhnya penat dan harus rehat. Pemuda itu tersandar di sebatang pohon mati ditengah padang. Terik panas menguras tenaga pemuda itu, menyalak matanya, keringat mengucur dari dahinya, bibirnya kering, hela nafasnya memelan dan agak tersesak, Udin jatuh pingsan. Sendiri, di padang gersang di awah pohon mati.
Lalu tiba-tiba Udin sudah sampai di kampung begitu saja, ia makin merasa bingung. Dilihatnya tiada satu orangpun orang kampung yang menghiraukannya, "tapi mengapa semua mereka berlari menuju rumahku?" ucap Udin dalam hatinya. Pria itu mempercepat langkahnya menuju rumah.
Entah kenapa kampung itu terasa sunyi sekali kali ini, tiada satu percakapan bahkan satu bunyi pun yang keluar dari mulut manusianya, mereka hanya berlari-lari kecil menuju rumah Udin.
Rumah itu sudah penuh, semua warga kampung ada disana, para wanitanya berkerudung, para prianya berkopiah.
Hati Udin makin bingung, langkah kaki pertamanya masuk kerumah semua mata tertuju padanya, lalu mata-mata kosong itu serentak mengarah pada sesuatu tertutup kain ditengah ruang tengah rumah Udin.
Masih dalam kesunyian dan kebingungan, perlahan Udin melangkah menuju sesuatu yang tertutup itu, iya duduk tepat disebelah benda tertutup.
Yang duduk dihadapannya adalah 2 sosok pria panutan penduduk kampung, Ya..Dirman ayahnya dan Sugi sang kades. Mereka juga hanya menunduk bisu menatap benda tertutup kain yang ada dihadapan.
"Buka", satu kata keluar dari mulut ayahnya Udin.
Udin mengangkat kepalanya yang semula menunduk bingung, wajahnya menghadap pada ayahnya seperti menyimpan tanya, apa dan mengapa?
Perlahan kedua tangannya mengarah pada dua sudut ujung kain, ditariknya pelan-pelan kain itu, tampak helaian rambut putih menyembul dari balik kain penutup, tarikan Udin pada kain penutup itupun di sentaknya.
Innalillahi..
Sesosok wanita paruh baya terbujur dihadapannya, bersih mukanya, tapi sudah keriput kulitnya dan beruban rambutnya.
Kedua lubang hidungnya bersumbat kapas, kepala terikat kain putih, tubuh itu terpejam dingin.
"Maaaaaaak!!!!", pekik Udin memenuhi kampung.
Mayat itu adalah ibunya, tubuh Udin rasa tak bertulang melihatnya. Tak henti-hentinya ia berteriak.
...

"Hey..Din Din.."
"Udin..heh!"
"Bangun Din, istighfar"
Ranto menggoyang-goyangkan tubuh Udin yang tidur bersimbah keringat, sepertinya Udin mimpi buruk.
Udin tersentak bangun, bajunya telah basah oleh peluh dan air mata. Dipeluknya Ranto yang ada dihadapannya, tumpah tangis pemuda bernama Udin Abdillah itu karna mimpinya.
"Astaghfirullahal adziim, apa arti mimpi buruk ini" ucapnya.
Ranto menyela, "sudah..sudah..mending mandi, trus kita jalan. Mau kekampus percuma, udah kesiangan" (sambil menunjuk ke jam dinding waktu itu pukul 11 lewat)
Dilepasnya baju sambil berjalan bingung menuju kamar mandi, handuk bergantung di leher Udin yang berkeringat. Tubuh yang lelah karena mimpi buruk tadi kini terelaksasi dikamar mandi, guyuran pertama Udin nikmati sambil menghela nafas panjang, berharap mimpi itu tak datang lagi dan berharap mimpi buruk itu bukan jadi pertanda buruk pula.
Seusai mandi di ambilnya handphone dari dalam tasnya, scroll ibu jarinya mencari kontak Sofia. Sofia yang sangat dirindukan.
"Iya, hallo..Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam, Sofi dimana? Abang udah dikota nih, kita ketemu ya"
"Seriusan? (Sofia terkaget) Tapi Sofi masih di perpus bang Din, nanti Sofi kabari lagi gapapa kan?"
"Ya sudah, bang Din tunggu di taman tempat biasa ya Sof"
"Ok kesayangan, see you..Wassalamu'alaikum". Telpon ditutup bersama senyum penuh rindu.
Udin dan Ranto, 2 sahabat yang masih dikontrakan itu tengah mempercakap diri didepan kaca.
"Gimana Din? Mau ikut gue jalan atau mau ketemu Sofia?"
"Maaf To, sepertinya aku harus ketemu Sofi dulu. Sudah hampir 2 minggu aku tak ketemu dia"
"Ya udah, kamu bawa aja motorku. Ntar aku dijemput Axel." Tawar Ranto.
Hanya bersarapan secangkir teh berdua, 2 sahabat itu keluar kontrakan dengan tujuan masing-masing.
Ranto berlalu begitu saja bersama 3 orang kawan lainnya. Sementara Udin masih memanaskan mesin motor pinjaman sahabatnya.
Tapi masih ada yang aneh di raut mukanya, sepertinya ia masih menyimpan kebingungan tentang mimpinya tadi pagi. Seakan tak ingin dibingungkan lagi, Udin mengusap mukanya. Ia bergegas untuk menunggang motor butut pinjaman demi bertemu sang kekasih hati.
10 menitan berkendara sampailah Udin di taman tempat dimana Udin dan Sofia biasa bersua.
Pemuda itu duduk di sebuah kursi taman berpayung 2 batang pohon beringin, menghadap ke kolam di depannya.
Di taman ini hiruk pikuk perkotaan seakan terdengar jauh, aroma pepohonan lebih segar mengalahkan aroma asap-asap buangan mesin beroli.
Merpati begitu jinak berkeliaran berebutan makan dari tangan pengunjung, entah memang karena mereka jinak atau karena tak ada pilihan lain lagi untuk mencari makan.
Di atas salah satu pohon beringin terdengar cuitan anak-anak burung gereja menunggu kedatangan induk mereka yang sudah pergi dari pagi, apakah memang cuitan rasa lapar yang di pekikkannya atau cuitan tangisan menangisi satu diantara mereka sudah mati dikerubuti semut.
Udin masih menunggu sambil melempar-lempar kerikil menuju kolam, hatinya masih dihantui mimpi buruk berhantu pagi tadi.
Sudah jam setengah 1 kekasih masih tak kunjung datang, kembali dikeluarkannya handphone dari saku kanannya.
Panggilan untuk Sofia tak menemui jawaban. Udin mengarahkan pandangannya pada sebuah masjid ujung taman, pandangan itu menuntun langkah kakinya kesana untuk shalat dzuhur.
Di sujud awal rakaat terakhir handphone-nya berdering, dan berdering beberapa kali sampai Udin menyelsaikan shalatnya. Shalat yang diakhiri Aamin atas munajatnya.
Kembali handphone yang berdering tadi di ceknya, ada 3 panggilan tak dijawabnya dan ada 1 pesan yang segera dibukanya.
"Maaf bang, sepertinya kita gak bisa ketemu sekarang disana. Sofi baru pulang, sepertinya cuacanya juga mendung. Sofi tunggu abang dikampus besok pagi ya?"
"Wassalam, kekasihmu."
Begitu isi pesan singkat itu. Dan Udin tak sedikitpun merasa harus kecewa karena sudah menunggu.
Dari masjid usai shalat, pemuda itu menghidupkan motornya. Kali ini apakah pulang ke kontrakan atau kemana? Kepala Udin belum menentukan tujuannya.
Sepertinya bukan pulang ke kontrakan, karena arah yang ditujunya berlawanan. Dari tengah kota ia tampak menuju ujung perbatasan kota. Bukan berbatasan dengan kota lainnya ataupun batas antara kota dan desa, tapi ujung kota yang di buntui oleh lautan.
Entah kenapa pikiran dan badannya terasa mengawang-awang, mimpi buruk tadi pagi masih saja terbayang olehnya.
Pandangnya lepas pada lautan tak berujung, terik matahari seperti tak ada apa-apanya, Udin seperti ikan kering, terjemur di bibir pantai.
Dalam perenungannya datang seorang kakek-kakek menghampiri.
Kakek itu menegur Udin, "Mas, kok panas-panasan sendiri? Duduk di pondok saya saja".
"Eh..iya kek, terima kasih". Udin berdiri dan mereka berdua berjalan menuju sebuah pondok yang penuh kelapa muda.
Di bangku-bangku pondok itu banyak pengunjung, diantaranya muda mudi. Mereka yang asik bercanda tertawa, ada juga yang asik mengambil gambar dari ponsel dan kameranya.
Tapi Udin masih saja menung bertatap kosong.
"Mas ini kenapa? Putus cinta ya?". Lagi, sang kakek berusaha akrab pada Udin.
"Tidak kek"
"Kalau lagi ada masalah ceritakan. Pada siapa saja, setidaknya masalah mas bisa berkurang sedikit kalau mas mau cerita"
Mereka berdua bercerita dan bercengkrama sambil menikmati segarnya kelapa muda yang sejak awal ditawarkan sang kakek.
Udin menceritakan keresahannya, resah akan mimpinya, mimpi yang menyeramkan baginya.
Mengejutkan, hatinya malah merasa tentram dengan tanggapan si Kakek.
Dari sekian panjang cerita Udin menguraikan mimpinya. sang kakek hanya menanggapi ; "itu karena terpengaruh pikiranmu sebelum tidur mas. Kita mimpi ya karena kita tidur, kalau mas tidak mau mimpi buruk itu jadi nyata..ya jangan buat kemungkinan-kemungkinan yang buruk itu terjadi di dunia nyatanya mas".
...

Sekarang hati Udin sedikit tenang. Entah siapa kakek tadi yang tak sempat ia ketahui namanya, tapi itu tak penting. Bagi Udin yang terpenting adalah ia sudah menemukan jawaban akan ketakutannya pada mimpi buruk.
Sekarang Udin beranjak pulang ke kontrakan, laju motornya sedikit dipacu dari sebelumnya. Bukan karena kegirangannya atas teratasinya sedikit masalah mimpi, tapi memang cuaca sore itu tampak mendung selain itu juga sebentar lagi waktu ashar tiba.
Jam 4 sore Udin terlihat sedang berbaring di tempat tidurnya, terdengar ia berbicara dan tertawa sendiri, seru sekali. Rupanya Udin sedang dalam obrolan di telpon bersama sang kekasih, Sofia.
Tak lupa mimpi buruknya tadi pagi pun ia ceritakan pada Sofia. Tapi tak banyak tanggapan darinya, hanya mengingatkan Udinnya untuk beristighfar dan berdo'a supaya orang tua Udin di kampung tidak apa-apa.
Dua sejoli ini asik bercengkrama dalam panggilan telpon, tanpa terasa bedug maghrib bertabuh. Keduanya akan saling bertemu besok, di kampus.
Begitu akhir cerita canda cinta mereka sore itu.
Malam ke-2 kembalinya Udin ke kota ia terlihat tengah menyelesaikan skripsinya, buku-buku cepat sekali berdebu padahal baru seminggu saja ditinggalkannya.
Ranto temannya belum dan mungkin tak akan pulang malam ini, sudah jam 11 malam.
Tak seperti biasa, Udin yang hari-harinya ditemani segelas teh hangat malam itu malah terlihat mesra dengan yang baru, secangkir kopi.
Udin memang ingin mempercepat wisuda kelulusannya, tekadnya sejak hari pertama kuliah. Setiap revisi isi skripsi dari dosen pembimbingnya akan diselesaikannya malam itu juga, niatnya sejak sore.
Dalam semangat muda dan rasa haus ilmunya, Udin bekerja di meja itu sampai jam 3 dini hari. Keseluruhan skripsi itu sudah siap uji.
Dimasukkannya buku-buku, laptop dan skripsinya kedalam tas, Udin siap untuk nanti pagi.
Tubuh muda itu terpaksa beristirahat, walaupun sebentar tapi mungkin itu cukup baginya agar paginya ke kampus tak membawa kantuk.
Jam 6 pagi, sholat shubuhnya terlihat dipercepat.
Sebentar lagi fajar berganti mentari, sebentar lagi embun pagi disapu angin timur.
Udin kembali ke kamar, Ranto sudah tertelungkup saja dengan dengkurannya.
Rupanya ia baru saja pulang ketika Udin dikamar mandi, Udin yang melihat polah rekannya itu hanya menggeleng tersenyum.
Udin menuju dapur, lagi lagi kopi.
Sepertinya teh yang menemaninya bertahun-tahun memang sudah ia tinggalkan.
Secangkir kopi bersamanya pagi itu di depan televisi, masih kepagian untuk hal lain, karena memang ia akan ke kampus nanti jam 9.
Beberapa chanel yang di acaknya, pencetan tombol remote itu berhenti pada sebuah siaran berita pagi.
"Kades Sugi ini memang di kenal sebagai sosok yang peduli pada warganya dan juga sangat peduli pada lingkungan kampungnya. Namun bagi kades yang akrab disapa mas Sugi ini yang terpenting adalah kemajuan, dan kemajuan itu akan tercapai jika kita warga desa mau bekerja sama dengan pemerintah kota, kata Sugi dalam wawancaranya"
Itulah narasi berita pagi itu yang membuat Udin heran dan bingung. Ia heran apa istimewanya kampung dan kadesnya sampai ditayangkan di televisi ? Ia bingung kenapa bisa Sugi terlihat dan terdengar elok bagi warga kampungnya di TV itu ?
Udin tahu semua kontradiksi tentang kenyataan hal itu, karena itu kampungnya itu hidupnya. tapi kenapa bisa-bisanya televisi mengeluarkan berita yang mengasal atas dasar sok tau seperti itu?
Lagi-lagi hatinya penuh tanya, "ini semua baik atau buruk ? Ya tuhan, kenapa makin hari aku makin kau bingungkan ?". Begitu bisik di kepalanya.
Udin bersikap masa bodoh, TV itu dimatikannya. Menunggu waktu untuk pergi ke kampus, dimanfaatkannya untuk membersihkan kontrakan dan motor si Ranto.
Udin berkalung handuk asik bersiul, seolah tak ingin pusing memikirkan hal-hal yang membingungkannya akhir-akhir ini.
Telepon genggamnya berdering.
"Iya.. ,Oke"
Itu saja jawabnya. Rupanya yang menelpon barusan Sofia, yang katanya baru sampai di kampus.
Motor tukang molor sudah mengkilap, Udin pun bergegas untuk mandi dan segera berangkat ke kampus.
Tepat jam 9 pagi, tanpa sengaja mereka bertemu di depan pintu yang sama, Udin dan Sofia sama-sama ada urusan di bagian akademik. Senyum Udin jelas terlihat, dibalas senyum Sofia dari balik cadarnya.
"Bang Din kapan sampe kota ?"
"Bapak sama Emak baik-baik kan di kampung ?", Tanya Sofia.
"Ya..alhamdulillah Sof", Udin malah kikuk padahal baru seminggu saja mereka tak bertemu.
Karena masih pagi dan kampus lumayan sepi, tanda tangan seorang dosen yang mereka tunggu itupun cepat mereka dapatkan.
Sepasang kekasih itu lalu menuju kelas padahal tak ada mata kuliah lagi bagi keduanya. Oh..rupanya hanya sampai depan kelas saja, duduk berdua di kursi biasanya.
Banyak sudah cerita terbagi pagi itu, keduanya tampak sangat menikmati pertemuan ini.
Sambil membaca skripsi satu sama lain, terkadang mereka juga tertawa dan saling mencandai.
Skripsi itu tuntas mereka baca, 2 skripsi pasangan inipun siap untuk diserahkan dan diuji. Udin dan sofia mendaftarkan skripsi itu dan jangan heran, tentu saja itu diterima dosen dengan mudah.
"Sabtu, 07 Juli 2007.
Jam 09.00 wib
Di ruang sidang Fakultas Ekonomi".
Mereka membaca serempak, itulah jadwal ujian skripsi mereka.
Keduanya merasa kegirangan, Sofia melompat - lompat, Udin membuat gerakan memutar, tapi semua berhenti saat mereka sedikit lagi saling peluk dan  dipandangi orang-orang.
Keduanya memutuskan pulang, Sofia menyerahkan kunci motor dan helmnya pada Udin.
Di perjalanan makin asik saja cerita mereka, Sejoli yang sama-sama rindu inipun sama-sama tak ingin pulang dulu.
Mereka berkeliling kota menghabiskan harinya sampai senja.
Akhir perjalan senja 2 perindu itu sampai di sebuah pantai, pantai yang kemarin Udin kunjungi, pantai yang mempertemukannya dengan seorang kakek asing, kakek yang sore ini pondok warungnya tutup.
Udin dan Sofia menikmati senja, bersama riak lembut air laut yang berusaha menjangkau bibir pantai, burung-burung camar berebutan menyambar ikan dan kepiting.
Banyak sekali pasangan yang menikmati sunset di pantai itu.
Matahari seolah makin padam menyelinap ke laut, cahaya kemerahan dan lembayungnya perlahan menjadi gelap.
Lampu-lampu mulai dinyalakan, bermacam rupa dan warna.
Maghrib terlewatkan, seharian bersama pasangan ini sekarang saling merangkul.
Ada pengamen di ujung sana, yang menyanyikan lagu cinta, sayup-sayup sampai pada telinga Udin dan Sofia.
Cadar Sofia memang mampu menutup nafsu, tapi bukan berarti cadar menghalang nafsunya merindu.
Sofia juga manusia, Sofia juga dunia.
Diremang malam di pantai ujung kota, Sofia melepas cadarnya secara sadar, rindunya mendunia dan bibirnya mencium kekasihnya Udin.
Udin yang juga jauh lebih rindu, menambah hangat ciuman Sofia dengan memeluknya, menambah lembut ciuman Sofia dengan mengelusnya.
Hari itu rasa bahagialah juaranya.
Mimpi buruk Udin sejenak lenyap, berita bohong kampungnya mendadak senyap.
Dua penyinta ini merasa bahagia.
Bahagia akan semakin dekat wisuda, bahagia dapat saling bersua, bahagia dapat saling melepaskan kebahagiaan itu tanpa harus mereka tutup-tutupi.
Namun, mungkin karena saking bahagianya Udin ciumannya membuat Sofia jatuh disambut pasir pantai. Atau mungkin karena saking bahagianya Sofia sehingga tubuhnya meringan bersama angin dan menelentang di tanah.
Jika saja orang lain melihatnya, pasti Udin dan Sofia mereka katakan berdosa besar.
Tapi bagi Udin dan Sofia, mereka yang melihatnya lah yang berdosa. Karena mengusik kebahagiaan orang lain.
Malam itu di ujung pantai ujung kota, mereka bercinta layaknya manusia.

Bersambung...

Black SabbathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang