3 minggu berlalu semenjak hari dimana sepasang insan muda berangkul dan bergumul di pinggir pantai. Sejak hari itu bukan hanya sekali dua kali Udin dan Sofia melampiaskan kasih mereka, kontrakan Ranto saksinya.
Tiap hari mereka bertemu. Kehidupan asmara dunia yang begitu indah, namun kehidupan mereka di perguruan tinggi akan segera berakhir akhir bulan depan.
Ya, mereka akan wisuda. 2 minggu sebelumnya sudah sama-sama menjalani sidang pertanggung jawaban skripsinya.
Ingin rasanya Udin pulang ke kampung memberi tahu dan menjemput kedua orang tuanya. Tapi ia sudah lama tak bekerja, rupiahnya dari caffe baru cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan persiapan kelulusan. Karena tak ada perkuliahan lagi, Udin memanfaatkan waktunya untuk menambah pekerjaan.
Alhamdulillah, siangnya Udin mendapat pekerjaan menjaga warung foto copy di depan kampus dan malamnya tentu saja masih menjadi seorang waiter di caffe.
Waktu kerja dan rupiahnya bertambah, namun waktunya bersama Sofia tentu saja berkurang.
Beberapa minggu kedepan lembut suara kekasihnya akan digantikan suara mesin foto copy, satu wajah ayu yang selalu dipandangnya dalam senyum berganti wajah-wajah pelanggan caffe yang harus dilayaninya.
Syukurnya sang kekasih tak sedikitpun tak mendukung pilihan pria yang dicintainya. Sofia sangat pengertian, walaupun kadang ia tersedak rindu di meja makan, ia dibasahi air mata hasrat temu di kamar mandi, ia diperkosa birahi kasih sayang dalam mimpi di empuk kasurnya. Dalam hati dan fikirannya ia ingin selalu bersama pria jangkungnya.
Malam itu langit-langit kamar Sofia seolah berhias bintang-bintang bersusun membentuk rasi baru, yaitu wajah Udin.
Gadis yang menelentang itu senyum sendiri, entah apa isi kepalanya, entah apa bisik hatinya.
Ditariknya guling di sebelah kanan, dipeluk dan dikecupnya.
Rasi bintang Udin yang setia menemani dengan senyumnya membuat kelopak mata Sofia makin memberat.
Jam 11 malam Sofi terlelap, gadis umum yang lugu dan tertutup sekaligus gadis terromantis dan penuh cinta tulus terkhusus untuk Udinnya.
Entah apa yang membuat gadis tanpa selimut itu tidur tersenyum, guling tak dilepasnya, ia berguling kiri kanan.
Rupanya malam itu rindu kembali merasuknya, hanya saja kali ini rindu datang lewat mimpi.
Alunan musik dan orang ramai berpakaian rapi, berjejer mengantri menyalami satu pasangan dipanggung berhias bak istana.
Siapa 2 orang itu ? Ternyata Udin dan Sofia.
Siapa mereka yang mengantri berjejer rapi dengan pakaian yang rapi pula ? Mereka adalah para keluarga, kerabat dan sahabat-sahabat keduanya.
Panggung apa yang menopang dan memayungi Udin dan kekasihnya Sofia ?
Ya..Sofia bermimpi tentang pernikahannya dengan Udin. Pantaslah senyum tulus terpancar walaupun ia sedang tidur pulas.
Tak pernah mimpi seperti ini datang sebelumnya. Sofia menikmatinya hingga jam 5 pagi dan mimpi itu ia bawa dalam do'a serta harapan tengadah dua tangan shubuhnya, "ya Allah, aku ingin dinikahi hanya olehnya". Begitu munajat cinta Sofia.
Setelah shalat shubuh ditelponnya Udin beberapa kali namun tak ada jawaban. Hatinya sedikit gelisah, gelisah akan kegembiraan memperoleh mimpi yang begitu indah. Ia sangat ingin berbagi pada Bang Din-nya.
Karena tak ada jawaban panggilan di telpon genggamnya, maka sisa mimpi indah semalam dituangkannya saja di buku diary. Sofia butuh dua lembar timbal balik kertas diary-nya untuk sekedar mengabadikan mimpinya.
Jam 7 pagi, orang tuanya sedang diluar kota. Sofia memilih untuk mengawali paginya dengan beres-beres rumah.
Tak ada satu selukpun yang tak di bereskannya.
Jika ada orang lain dirumah itu pada saat itu entah apa yang mereka pikirkan. Sofia yang kesehariannya berpenampilan tertutup tak nampak pagi itu.
Biasanya berjilbab dan mengenakkan cadar, pagi itu Ia malah masih memakai piama merah muda sambil menyapu, rambutnya tak digerai namun diikatnya agak keatas bak sanggul. Putih dan sedikit berkeringat pundaknya.
Celana yang tanggung memperlihatkan sedikit kakinya yang biasa tertutup kaos kaki, putih bersih mulai dari mata kakinya.
Kancing bajunya tak semua terkatup, piama berkerah dan pekerjaan rumah tangga yang membuat tubuhnya sedikit merasa gerah. 1 buah kancing paling atas sengaja dilepasnya.
Sesekali peluh diusapnya di pundak, kening, dan lehernya. Leher itu putih bak batang eboni yang dikuliti.
Tetesan keringat mengalir dari leher kebawah, dilapnya ketika hampir menyentuh pangkal buah dadanya.
Pagi itu memperlihatkan Sofia yang berbeda.
Setelah seisi rumah dibersihkannya, sekarang Sofia membersihkan tubuhnya dikamar mandi.
...
Gemerincing sendok logam dan gelas kaca terdengar dari dapur, sementara itu televisi dan kartunnya asik sendiri di ruang tengah.
Sofia "tertutup" kembali dengan segelas teh hangat, duduk di sofa menonton TV.
Hanya gamisnya yang membuat tertutup, kepalanya belum berjilbab karena rambutnya yang panjang hampir sepinggang masih basah.
Sofia memang tak pernah sarapan makanan berat, ia memang biasa mengawali pagi dengan segelas teh.
Sedang asik dengan kartunnya, Sofia mendengar sayup dering HP dikamarnya.
Meletakkan gelas dan berlari menuju kamar.
Ternyata yang menelpon adalah ayahnya.
"Sof, papa sama mama pulang 3 hari lagi tidak apa-apa ya? Soalnya kerjaan disini tidak bisa papa tinggalkan dulu".
"Iya pa, hati-hati disana"
"Mama dim.."
(Tut tut tuut..) panggilan berakhir dengan sendirinya.
Karena pekerjaan ayahnya yang memang sering berada diluar kota, Sofia juga terbiasa tinggal sendiri dirumah. Ibunya pun selalu mendampingi kemana saja ayahnya bekerja.
Dalam sebulan biasanya hanya beberapa hari saja ayah dan ibunya dirumah.
Gadis yang masih dikamar itu memasang penutup kepalanya, terpikir ia ingin sekedar jalan-jalan keluar rumah ke toko buku di dekat kampus untuk membeli bacaan baru. Sofia kembali ayu dengan pakaian hariannya.
Ia ke garasi untuk memanaskan mesin sepeda motornya, lalu kembali untuk mematikan TV dan mengunci rumah.
Pagarpun telah terkunci, kini Sofia dalam perjalanannya ke toko buku.
Kamis pagi, toko buku itu lumayan sepi atau mungkin karena waktu itu masih jam sibuk. Sofia asik memilih buku-buku yang bersusun di rak.
Ia bertemu sebuah buku berjudul "cinta + agama = pencitraan".
Ketika akan mengambil buku dari rak itu, ada tangan lain yang juga tertuju pada buku yang sama. Tangan Sofia dan tangan asing itu bersentuhan dan memicu istighfar Sofia.
"Maaf, kamu juga mau baca buku itu ya?". Seorang pria muda mengenakkan kemeja dongker bertanya.
"Iya bang" jawab Sofia lembut.
"Yaah..gimana ya, saya udah lama nyariin buku itu" kata orang asing tadi.
"Saya tanya kasir dulu ya, siapa tau bukunya masih ada"
"Oh, iya.." Sofia mempersilahkan si pria asing.
Bukan sebuah kebetulan ternyata buku itu tinggal satu-satunya, bukan hanya di toko itu tapi diseluruh toko buku yang ada di kota.
Begitu informasi yang diberikan kasir.
Buku itupun diberikan si pria pada Sofia.
"Ini bukunya, buat kamu aja"
Sofia kaget, "loh, kalau memang abang sudah lama cari buku ini tidak apa-apa buat abang saja. Biar saya cari buku lain"
"Udah, gak apa-apa. Ini, sekalian saya bayarin". Pria itu makin aneh.
Tanpa bisa menolak lagi, Sofia hanya bisa menerima ketika buku itu dimasukkan si pria kedalam tasnya. Ia hanya mengucap terima kasih.
Sofia yang bingung lansung keluar dari toko buku, bukan kebetulan lagi pria itu mengikutinya ke parkiran motor.
"Saya Robi", si pria asing mengenalkan dirinya.
Pipi Sofi memerah dibalik cadarnya, "oh..saya Sofia"
Ketika kekasih Udin akan pergi dengan sepeda motornya, pria asing itu menghentikannya.
"Eh eh..tunggu dulu"
"Ada apa lagi ya?" Sofia bertanya.
"Saya kan udah lama pengen baca buku itu, karena cuma tinggal satu nanti habis kamu baca pinjemin aku ya bukunya". Pria aneh itu makin aneh pada Sofia.
"Ya sudah, bukunya buat abang saja. Kan abang yang bayarin". Ujar Sofia dengan nada terdengar sedikit geram, dan buku itu dikeluarkannya dari tas.
(Srrrret) halaman tengah buku itu malah disobek pria asing bernama Robi itu. Pemuda aneh yang makin aneh. Di sampul paling belakang Robi membubuhkan tanda tangan dan nomor ponselnya. Sofia makin merasa aneh.
"Itu nomor saya, dan sobekan halaman ini biar saya yang simpan. Kalau nanti kamu sudah membacanya sampai halaman ini hubungi saja nomor itu". Ujar Robi.
"Loh, kok begitu. Bukunya buat kamu saja". Sofia memang marah.
Malah buku itu kembali dimasukkan Robi ke tas Sofia.
Sambil terdiam marah dan merasa aneh, juga malas untuk berlama-lama bersama pemuda aneh Sofia pun pergi dengan buku yang juga aneh.
Pikiran tentang apa yang terjadi di toko buku dibuangnya, ia lebih menyenangkan dirinya dengan mengingat sisa mimpi pernikahannya tadi malam.
Otaknya sedikit kacau, Sofia berkendara menuju taman berharap menemukan ketenangan.
Di taman, Sofia bermain bersama kawanan keluarga merpati di samping pancuran.
Sambil bernyanyi pelan dan memberi makan merpati ia kadang bercerita pada burung-burung itu seolah mereka mengerti apa yang dibicarakan Sofia.
"Bang Din kemana sih ? Apa kalian melihatnya?"
"Kalau ketemu, bilang Sofia rindu ya". Sofia berbicara pada merpati dan sedikit cekikikan, namun burung-burung itu terus saja mematuki makanan mereka di jalanan.
Sofia berdiri untuk duduk menuju kursi, merpati itu berhamburan lalu kembali ke makanannya.
Sofia yang duduk sendiri dipayungi sepasang pohon mahoni, Sofia yang bingung sendiri dinaungi pikiran distraksi.
Hatinya kacau karena kehadiran si aneh Robi, otaknya meracau merindukan Udin.
Gadis itu pulang sambil berharap Udin kembali di mimpi yang sama seperti tadi malam.
...
Singkat cerita, di hari Sabtu atau hari ketiga sejak ayah ibunya pergi keluar kota. Hari si gadis terlihat normal dan seperti biasanya.
"Bang, hari ini kita harus ketemu ya"
"Abang kan kerja Sof"
"Ijin sehari masa tidak bisa?"
Terdengar seperti ada hal penting yang memaksa Udin harus menemui kekasihnya.
"Oke, tapi sore ya", jawab Udin menyetujui ajakan kekasihnya.
Percakapan singkat lewat ponsel berakhir antara Udin dan Sofia pagi itu.
Masih dengan teh dan kartunnya Sofia pun masih terlihat seperti 2 hari sebelumnya, tapi ada yang sedikit berbeda.
TV dan kartunnya asik sendiri, teh dan cangkirnya terdiam di meja, sedangkan Sofia tengah terlihat membaca sesuatu.
Ya, buku aneh pemberian pemuda aneh berjudul "Cinta + Agama = Pencitraan" ada di genggamannya.
2 halaman lagi ia akan sampai pada halaman yang sobek.
Sofia memang gadis yang jika membaca akan semakin larut dan terpancing untuk menyelesaikan suatu bacaan, makanya baru 2 hari membaca buku itu saja sudah setengah bagian buku diselesaikannya.
Kini sampailah ia di halaman yang hilang, halaman yang aneh.
Halaman sebelum halaman sobek dibolak baliknya sambil berfikir untuk memutuskan menelpon nomor yang ada di halaman belakang atau tidak.
Buku itu ditutupnya. Ia memilih untuk tidak menelpon Robi si pria asing dan aneh.
Sofia menuju kamarnya sambil membawa keranjang plastik. Buku itu ditinggalkannya di sofa.
Rupanya keranjang tadi penuh pakaian kotornya, sepertinya kamar mandi adalah tempat yang pas untuk melampiaskan kebingungannya pagi itu.
Lengan bajunya ia sinsingkan, bagian kaki celana piamanya pun digulungnya naik hingga kebawah lutut.
Sikutnya merona, tangannya putih dengan sedikit bulu.
Betisnya yang kenyal bersih dan terlihat guratan warna warni uratnya. Pemandangan ini belum pernah dilihat satu orangpun, bahkan ayah dan ibunya.
Kedua tangan Sofia begitu cekatan menggilas baju-baju basah. Entah emosi atau memang sudah biasa, ia terlihat begitu menikmati mencuci pakaian pagi itu.
Sofia adalah seorang gadis, ia manusiawi. Tiba-tiba ia berkhayal tentang kekasihnya Udin, namun juga sesekali terbayang wajah Robi yang sangat ia benci.
Sehingga tanpa terasa semua kain kotor dari keranjang sudah habis dicucinya.
Dijemurnya pakaian-pakaian itu dibelakang rumah.
Tersisa beberapa baju basah di ember terdengar suara ketukan pintu beberapa kali. Sofi terdiam berdiri memastikan.
Ternyata benar, ada seseorang yang mengetuk di depan pintu rumahnya.
Cucian basah ia tinggalkan, ia bergegas untuk membuka pintu yang dalam anggapannya adalah ayah dan ibunya yang baru pulang.
Orang didepan pintu kembali mengetuk.
"Iya..sebentar". Jawab Sofia.
Ketika pintu dibukanya.
"Astaghfirullahal adziim!!!"
Pintu dibantingnya dan kembali ia kunci.
Sofia bernafas terengah, ia kaget yang ada dihadapannya ketika membuka pintu adalah Robi.
Pintu tak mau dibukanya lagi, panggilan Robi si aneh pun tak dijawabnya.
Hatinya mengutuk karena ada orang lain selain Ayah, Ibunya dan Udin yang telah melihatnya tanpa gamis, jilbab dan cadar.
Lama tak digubris panggilannya, Robi aneh pergi dengan sendirinya.
Bukan waktu yang sebentar, 3 jam pemuda asing bernama Robi itu menunggu pintu dibukakan kembali tapi Sofia menangis dan ketakutan dikamarnya tanpa menghiraukan.
Sudah jam 1 siang, muka dan mata Sofia terlihat seperti lebam karna menangis tiada henti.
(Cuckoo) suara ponselnya.
Terpapar nama "Bang Din", ya..kekasihnya menelpon.
Di angkatnya panggilan itu tanpa bicara, malah ia menangis kembali sejadi-jadinya.
Udin kaget mendengar tangisan kekasihnya, dan pergi tanpa berpikir panjang.
Ia berlari dari kontrakan Ranto menuju rumah Sofia, kaki pria jangkung itu tak merasa penat sedikitpun padahal jarak dari kontrakan kerumah Sofia sangat jauh jika dilalui tanpa kendaraan.
Keringat dan terik tak dihiraukannya, Udin terus berlari.
Panggilan telpon dengan suara tangisan Sofia masih dibiarkannya di saku celananya tanpa ditutup.
Setelah menempuh jarak lumayan jauh sampailah Udin dirumah gadisnya.
Panggilan pertama menyadarkan Sofia, ia bergegas membukakan pintu.
Pintu dibuka, Udin ditariknya dan pintu itu dikuncinya lagi.
Kali ini Sofia menangis tersedu dan ini adalah seduan terparah yang pernah disaksikan Udin dari kekasihnya.
Tangisan pertama di kontrakan Ranto tiada apa-apanya dibandingkan kali ini.
Tak sepatah katapun keluar dari mulut Sofia, hanya teriakan seperti ketakutan yang didengar Udin.
Ketika Udin ingin menenangkan gadis pujaan hatinya, si gadis malah jatuh pingsan. Udin pun sampai tersimpuh menopangnya.
Dalam kebingungan dan lelah karena baru saja berlarian Udin mengangkat tubuh Sofia menuju Sofa di ruang tengah.
Gadis pingsan itu terlihat lusuh, Udin menepuk nepuk pelan kedua pipi Sofia yang menelentang.
"Sof..Sofi"
"Sofi..bangun, istighfar"
Berapa kali itu dilakukan dan diucapkan Udin, kekasihnya tak juga kunjung sadar.
Kebetulan di meja masih ada sisa teh tadi pagi sebelum Sofi mencuci, Udin mencoba membangunkan Sofia dan disandarkannya tubuh gadis itu di bahunya untuk memberi minum.
Beberapa sendok teh yang disodorkan Udin dibibirnya membangunkan Sofia.
Udin memeluknya, punggung dan rambut gadis yang baru siuman itu di elusnya.
Sesekali diciuminya ubun-ubun Sofia.
Sekarang Sofia sadar, ia menatap sosok didepannya dan masih saja ada sisa air mata.
Namun Udin lebih dulu mengusapnya sebelum air mata itu membasahi pipi kekasihnya. Udin berusaha mengajak Sofia untuk bicara.
"Kamu kenapa nangis? Ada apa?"
"Kangen ya?, masa kangen cengeng gini"
Sofia masih diam dan masih saja terlihat ingin menangis.
"Jangan nangis donk, jelek"
"Nanti abang nangis juga, mau? Biar kita sama-sama jelek"
Akhirnya Sofia tersenyum dan sedikit melonjak mendengar ucapan Udin itu.
Udin kembali bertanya.
"Kamu kenapa sayang?"
Sofia menjawab sambil memeluk Udin.
"Nggak, Sofi nggak apa-apa"
Karena kasihan dan tak ingin memaksa kekasihnya memberi jawaban pasti, Udin hanya berkata ; "oke, jangan lagi ya".
Padahal dalam hatinya masih bertanya penyebab keanehan Sofia.
Demi mencairkan suasana Udin mengalihkan pembicaraan.
"Bapak sama ibuk keluar ya?"
"Iya". Jawab Sofia dengan suara sengau.
"Terus pulangnya kapan?"
"Hari ini bang, mungkin nanti sore atau paling lama besok shubuh"
"Oh..udah ditelpon?"
Sofia mengangguk.
Melihat masih ada gundah terpancar dari wajah gadisnya, Udin masih berusaha untuk menenangkannya.
"Abang belum dzuhur loh Sof, pasti kamu juga belun kan?" Udin bertanya sambil tersenyum. Tapi senyum terpaksa itu tampak tulus bagi Sofia.
"Belum"
"Yasudah, abang wudhu' dulu trus kamu mandi ya". Udin beranjak menuju kamar mandi untuk berwudhu'.
Ia shalat terlebih dahulu ketika Sofianya mandi.
Seusai keduanya bersembahyang Udin meminta Sofia mengganti pakaiannya dan berniat mengajaknya keluar.
Saat Sofia berpakaian di kamar Udin menunggu di sofa, tanpa sengaja ia menduduki buku aneh pemberian pria aneh yang membuat kekasihnya hari ini menjadi aneh.
Udin melihat-lihat buku itu tapi malah dibukanya dari halaman belakang.
Kepalanya agak terangkat pertanda kaget, alis matanya terlihat mengkerut pertanda bingung.
Ia melihat tanda tangan, nomor ponsel dan nama seseorang bernama Robi yang di akhir nama itu ada gambar hati kecil.
Sofia keluar dari kamar, buku itu pun dijatuhkan kembali oleh Udin di tempatnya semula.
"Sudah siap?". Tanya Udin.
Sofia hanya tersenyum, terlihat dari kelopak mata bawahnya.
Mereka sebenarnya tak punya tujuan akan pergi kemana, hanya berkeliling kota sambil bercerita. Hampir 1 jam berkendara Udin berhenti di sebuah caffetaria.
Motor dimatikannya, "makan ya?". Ujarnya pada Sofia.
Sofia tak menjawab, ia hanya mengikuti Udin yang berjalan ke arah memasuki caffe itu.
Mereka duduk berhadapan di sebuah meja, dan Udin memesan makanan untuk dia dan kekasihnya.
Kali ini Sofia mengawali cerita.
"Tidak apa-apa kan abang ijin kerja?"
"Oh, tidak apa. Sabtu kan juga agak sepi foto copyannya". Jawab Udin.
"Terus kerja di kafe gimana? Apa abang ijin juga?"
"Tidak, di caffe abang minta masuknya agak telat aja Sof..abis isya gitu"
"Oh..iya deh, maaf ya bang Sofi bikin repot abang". Kata Sofi sedikit menunduk.
"Apaan sih, abang tidak suka Sofi bicara gitu". Udin membantah kekasihnya.
Obrolan mereka cair dan mengalir dan sempat terhenti ketika pelayan kafe membawakan pesanan makanan.
Seusai makan mereka kembali untuk pulang.
Sofia bercakap ketika Udin menyalakan motor.
"Ke rumah Sofi dulu ya bang, ada yang mau Sofi kasih buat abang"
"Apa?", Jawab Udin singkat.
"Ada deh"
Mereka pun dalam perjalanan pulang kerumah Sofia.
"Kalau memang gitu nanti abang pulang sendiri saja naik ojek dari rumah kamu, kamu tidak perlu antar Sof", Kata Udin. karena memang tadinya ia berlari dan tanpa kendaraan ke rumah kekasihnya.
Sofia lansung menjawab, "Lihat nanti aja, yang penting mampir kerumah dulu. Siapa tau papa sama mama sudah pulang".
Beberapa menit berkendara mereka sampai dirumah Sofia. Pintu masih terkunci, ternyata kedua orang tua Sofia belum pulang.
Sofia melemparkan kunci pada Udin, perintah untuk membuka garasi dan memasukkan motornya.
Sofia kerumah lebih dulu sementara Udin di garasi.
"Sof..ini kuncinya", teriak Udin dari pintu.
Sofia keluar dari kamarnya.
"Abang duduk dulu, tunggu disini sampai papa mama pulang"
"Loh, kok gitu?" Jawab Udin bingung.
"Pokoknya tunggu" jawab Sofia dengan mimik muka seperti menyimpan ketakutan.
Udin pun menyadari ketakutan itu sehingga ia terpaksa menunggu seperti kata Sofia kekasihnya. Tapi ia menunggu diluar dan Sofia kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan shalat.
Hampir jam 5 sore, ayah dan ibu Sofia tak kunjung datang.
Hujan turun, Udin berpindah berteduh di teras rumah.
"Bang, shalat dulu. Masuk, diluar juga hujan". Panggil Sofia yang masih bermukena.
Udin masuk untuk shalat. Sambil berjalan menuju kamar mandi mata pemuda itu memandang ke sofa dan masih penasaran tentang nama di halaman belakang buku tadi.
Penasaran itu disimpannya, dan ia shalat ashar. Sementara itu Sofia melepas mukena dan pergi ke dapur untuk membuatkan minuman bagi kekasihnya.
Seusai shalat Udin kembali keluar dan duduk di teras, Sofia menghampirinya dengan teh hangat.
Mereka berdua menunggu hujan reda dan kepulangan orang tua Sofia.
Ponsel Sofia berdering di meja depan TV berisi pesan singkat ayahnya yang mengatakan mereka baru akan pulan besok pagi, karena malam ini sudah tidak ada bis lagi. Isi pesan itu disampaikannya pada Udin.
"Ya sudah Sof, abang pulang ya. Nanti kemalaman". Kata Udin.
"Tunggu dulu, kan masih hujan". Jawab Sofia dengan sedikit merengek.
Memang Udin tak tahan jika mendengar kekasihnya merengek seperti itu, ia hanya menghela nafas panjang dan kembali duduk.
Hari semakin gelap, hanya suara hujan menetesi atap menemani 2 sejoli sore itu.
"Astaga", ucap Sofia di pintu.
"Kenapa Sof?"
"Cucian Sofi dibelakang lupa diangkat bang".
Sofia berlari menuju belakang rumahnya untuk mengangkat jemuran.
Kain-kain itupun basah semua, dan Sofia kembali kerumah pun dengan pakaian yang basah. Cucian basah diletakkannya kembali dikamar mandi, sementara ia juga harus berganti pakaian lagi.
Tanpa terasa petang berganti malam, lampu-lampu dirumah itu dinyalakan Sofia. Dan Udin masih saja duduk di teras.
"Bang..duduk di dalam saja", Teriak Sofia dari kamar.
Udin pun masuk, tapi tak ingin duduk di Sofa dengan buku aneh yang dijumpainya tadi siang.
Ia pergi ke dapur membawa 2 gelas teh yang dibuatkan Sofia tadi sore. Dan ia duduk disana.
"Loh, kok di dapur?" Tanya Sofia heran.
Tak punya akal lain, Udin refleks menjawab.
"Iya, di luar dingin"
"Oh, ya sudah di sini saja sekalian temenin Sofia masak". Imbuh Sofia berpiama dan berjilbab tapi tanpa cadar.
Udin hanya tersenyum melihat rekah bibir merah muda kekasihnya tanpa gincu.
Hujan menjelang malam itu sempat hangat oleh mi instan buatan Sofia.
Sudah jam 9 malam, Udin berpamitan pulang pada kekasihnya.
Berkecamuk bait kata dan alinea dalam benaknya. Rasanya ia ingin menghabiskan malam berdua bersama Sofia, namun di belahan benak lain ada kumpulan gundah gulana yang memaksanya pulang.
Yaitu buku aneh yang terbubuh tanda tangan, nomor ponsel dan nama seorang pria.
Robi, nama itu membingungkan hatinya.
Robi, pria itu mengacaukan Sofia.
Robi, nama seorang pria yang masuk tanpa di undang di kehidupan sepasang muda mudi Udin dan Sofia.
Robi yang entah datang dari mana, seolah membawa cambuk dihati Sofia dan telah membuat kemelut camuk dihati kekasihnya.
(Bersambung)