Seminggu sejak hari itu, kedua teman yang menjadi pasangan mendadak ini bertingkah atau bahkan berpura seperti tiada telah terjadi apa-apa. Mereka makin sering terlihat bersama, makin tertawa dan menertawakan, makin biasa dan membiasakan.
Bagi 2 merpati muda Udin dan Sofia, Teman-teman mereka pun tiada tahu apa yang terjadi di sabtu mereka minggu lalu. Sabtu yang kelam tapi melahirkan candu, sabtu yang telah mempertarungkan dosa dan cinta, sabtu yang dingin karna hujannya dan hangat karna kisahnya. Kehidupan kesemuanya masih berlanjut, beriring asmara Udin dan Sofia yang makin mendenyut.
Singkat cerita...
Tenggang wisuda masih lama, namun tenggang rasa keduanya berkesimpulan sama. Terkesan saling menghindar tapi tak saling menjauh. Udin memilih untuk menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya, Sofia ia tinggalkan dikota dengan mengingat nostalgia hari-hari bersama.
Setibanya di kampung..
Terperanjat pemuda itu, ada pemandangan asing didepannya ketika turun dari angkot.
Tiada lagi gapura bambu pemintu desa, pohon daru di kiri kanan gerbang itupun lenyap!. Disitu dulu tempat burung-burung kenari pagi bernyanyi, disitu dulu tupai-tupai berlompatan mengejar betinanya, disitu dulu adalah wahana permainan gratis bagi bocah-bocah tengik.
"Duniaku terlalu cepat berubah" (ngiang suara kepalanya)
Seorang tukang ojek menawarkan jasanya, "walaah..anak kota baru pulang, paman antar ya?"
Udin menyetujuinya.
Sepanjang jalan menuju rumahnya yang kebetulan berada di ujung desa, hati pemuda itu semakin terheran. Dilihatnya rumah-rumah baru, hanya beberapa saja tersisa rumah kayu yang kini sudah dimanfaatkan menjadi gudang. Aroma kotoran sapi kampung itu sekarang berubah mendekati aroma polusi knalpot ala kota. Hati Udin makin tak sabar ingin sampai kerumah.
"cepat sedikit pak", ditepuknya bahu tukang ojek yang memboncengnya.
Sudah nampak oleh Udin rumah kayu penghujung desa yang masih berdiri kokoh, masih setia kandang ternak disampingnya, masih menyisakan tanah dan batu di halaman depannya, pagarnya saja yang berubah. Dulu berpagar tumbuhan Acalypha Siamensis, sekarang berpagar bambu. Pagar itu mundur dari posisi awalnya akibat pembuatan jalan setapak beton.
Udin sampai dirumahnya.
"Assalamu'alaikum" (sambil melepas sepatunya)
Terdengar Wa'alaikumsalam seorang ibu dari bilik orang tuanya.
Tubuh muda itu terduduk lemah dengan apa yang dilihatnya, Pak Dirman yang dulu kekar dengan badan yang hampir selalu terminyaki keringat kerja keras, sekarang terbaring dalam pesakitan.
Kelopak matanya makin menyekung dengan kornea yang sudah berwarna layu keabu-abuan.
Sang ibu membalik badannya, "Anakku.."
Pelukan ibu dan anak itu telah menghancurkan kokoh bendungan air mata, tercurah, terisak. Rintih tangis ibunya membuat hati Udin makin melirih.
Malam pertama kembalinya Udin itu berselimut isak tangis, berkelambu rindu dan haru yang menyatu.
Selepas maghrib, gemetar tangan Udin hanya untuk mengangkat sesendok bubur. "Maafkan Udin pak..", sembari menyuapi sang bapak.
Dirman tersenyum, "uhuk..uhuk.!!!, jadi kapan anak bapak wisuda?". Pertanyaan itu tiada horror sedikitpun bagi Udin.
Air mata Dirman menyelinap dipelupuk tuannya.
"Insya Allah 2 bulan lagi pak"
"Kita akan ke kota sama-sama, ya kan pak?". Istri Dirman turut mengimbuh.
"O..tentu saja, anakku ini satu-satunya yang akan jadi insinyur dikampung ini" kata Dirman (dengan suara menahan batuk).
Percakapan demi percakapan seolah mampu menjadi penawar bagi keseduan 3 orang itu.
Malam itu, mereka tertidur pulas dalam satu pangku.
...
(Ayam berkokok)
Itu suara alarm ponsel Udin.
05.30 Sabtu pagi, seorang pria bermunajat pada khaliqnya. Ia meminta jawaban atas bingungnya, ia meminta kesembuhan bagi ayahnya, ia meminta ampunan atas dosanya.
Embun pagi terlalu cepat pergi, hanya jejak basahnya yang ia tinggalkan di bibir atap, Burung gereja yang dulu berisik di atap rumahnya setiap pagi, tiada terdengar dan nampak lagi. Sapi-sapi warga yang dulunya bersahutan dari kandang-kandang mereka, hanya terdengar sesekali saja, itupun terdengar jauh.
Tiada lagi harmoni yang biasa mengirinya ketika mandi, itu berganti suara-suara televisi. Berisik dan tak enak di telinga, berisi berita-berita dan omongan-omongan orang kota, orang kota yang kesehariannya bertingkah pongah dengan apa yang mereka anggap benar.
Tampak wajah kesal pemuda itu, "apa yang terjadi dirumahku?".
Ungkapan itu terdengar garang.
Makin bingung pemuda itu, bukan karena kebisingan aneh dikampungnya. Tapi karena ia tahu bahwa ini adalah sabtu, hari pasar. Pesta mingguan meriah bagi warga kampung.
Kenapa sudah hampir jam setengah 7 pagi tidak ada yang pergi kepasar membawa hasil bumi? Kenapa tidak ada pedati yang lalu lalang mengangkut muatan berat si pemiliknya? Kenapa ibunya yang biasa berjualan di hari sabtu masih tidur?
Tepat jam 7 pagi, Udin mengayuh sepeda ontelnya.
Tampak ia menuju pasar.
Disepanjang jalan Udin berpapasan dengan motor-motor dengan pengendara mengenakkan helm bertuliskan "Ojek".
Makin kencang sepedanya ia kayuh, tibalah Udin di pasar, lokasi pesta bagi warga kampungnya semasa dulu.
Kios-kios yang dulunya beratap rumbia semua sudah terganti beton kokoh dengan pintu besi, pintu besi yang bernyanyi dengan suara memekik saat ditutup dan dibuka. Sayuran hanya dijajakan sedikit saja, yang banyak sekarang ialah kain-kain dan pakaian beragam warna beraneka rupa, tapi yang paling banyak adalah barang-barang elektronik. Terlihat beberapa kios yang semua berisi barang elektronik yang belum pernah Udin jumpai dipasar itu sebelumnya, kios-kios yang kebanyakan disewa oleh orang yang bukan warga kampungnya. Mereka bermata sipit, kulitnya putih, perutnya buncit, anak-anak gadisnya mengenakkan kaca mata dan bertubuh ramping. merekalah pemilik kios berpintu besi.
Udin merasa pasar kampung itu seolah telah menjadi negeri sulap yang entah disulap oleh siapa.
Banyak penjual dan pembeli di pasar itu, tapi tidak ada satupun warga kampungnya. Udin makin bingung di sabtu paginya.
Pemuda itu kembali berkayuh diatas sepedanya untuk kembali pulang ke kampung. Penat dan peluh seolah tiada berpengaruh, semua yang melihatnya terheran dan ada yang terenyuh.
Matahari makin meninggi, kampung itu masih saja belum menampakkan jati diri.
Dipertengahan jalan pulang Udin berpapasan kembali dengan rombongan ojek tadi, hanya saja sekarang hampir dari mereka semua telah membawa boncengan penumpang. Bermacam rupanya, ada ibu-ibu yang hanya membawa jerigen dan dompet kecil saja, ada ibu-ibu yang hanya membawa lipatan-lipatan kresek saja, bapak yang mengapit ayam jantannya, ada juga mereka yang membawa jinjingan-jinjingan.
Lebih heran dari mereka yang melihatnya, makin tertanya kepala Udin.
"Apa sekarang bu Sitah penjual minyak?"
"Apa sekarang bi Mimi penjual kantong plastik?"
"Apa wak Nyoto sekarang penyabung ayam?"
"Apa yang akan dijual ibu-ibu itu didalam jinjingan - jinjingannya?"
"Atau mereka yang semua dulunya penjual sekarang jadi pembeli?"
Sliweran pertanyaan itu mengantar Udin pulang.
...
Dijatuhkannya saja sepeda tua itu, dua tiga kali "mak" dia teriakkan.
Si emak bertanya, "Kamu darimana?"
"Main kepasar mak"
"Kamu kan belum sarapan, ini..bawakan bubur bapakmu".
sepiring bubur ketan dan sepiring nasi berlauk tempe diulurkan ibunya kepada Udin.
Suasana sarapan pagi dikamar Bapak dan Emak itu terasa hangat walaupun telat. Dirman menguasai dirinya untuk bangun dan duduk bersandar di dinding yang dialasi bantal oleh istrinya.
"Emak nggak kepasar?" (Pertanyaan wajib Udin semasa kecil kepada ibunya setiap sabtu pagi)
"Ha.hah.., bapak sudah 2 bulan tidak kepasar". Ayahnya yang menjawab.
Udin lanjut bertanya, "Biasanya kan pagi - pagi Emak sudah sampai dipasar supaya sayur - sayur yang kita jual masih segar"
"2 minggu belakangan ini sayur kita tidak bisa dijual, kata mereka sayuran kita kalah bagus sama sayuran yang dijual ce Yeni"
"Ce Yeni? Aku belum dengar orang dengan nama itu dikampung kita mak"
"Dia memang orang dari kota, yang punya kios isinya sayuraaaaaaan semua. Sayurannya ce Yeni dibungkus rapi plastik, angin saja tak bisa masuk"
Kendati itu disampaikan ibunya dengan biasa saja, tapi naluri Udin menangkapnya sebagai bentuk kesedihan.
Istri Dirman membereskan piring-piring alas sarapan tadi, dan beribu rumah tanggalah ia didapur dengan segala kesibukannya. Tinggal bapak dan anak yang setengah kenyang di kamar itu.
Sang bapak seolah kehilangan pesakitannya, begitu bersemangat untuk melanjutkan ceriteranya tentang sabtu dikampung itu. Udin hanya mendengarkan bapaknya.
Dirman menceritakan awal perubahan kampung itu dimulai masa diangkatnya mas Sugi sebagai kades. Sugi yang piawai beretorika, Sugi yang apik tampilannya, Sugi yang punya banyak rekan dan kenalan orang-orang kota.
Dulunya warga percaya jabatan kades dipangku oleh mas Sugi karena semua janji yang disampaikannya terdengar meyakinkan. Kata "perubahan" selalu terdengar seolah tiada buruknya jika disampaikan sang kades.
Maka bersepakatlah warga desa mengikuti perubahan versi mas Sugi.
Jalan semen, perubahan pertama yang dibawa Sugi bersama teman kotanya. Teman kota yang mengenakkan helm berwarna kuning.
Katanya, jika semua jalan mulus bersemen, pedati-pedati akan bebas laju dan mempersingkat waktu untuk membawa bawaannya. Tapi saat semua laluan desa ini berganti setapak semen, Sugi malah melarang pedati si ikon desa untuk melintasinya. Katanya kotoran-kotoran sapi itu akan jadi pemandangan yang tak elok dipandang mata dan jejak roda pedati serta tapakan sapi cepat merusak jalan semen.
Lalu dibawanya pula si Sipit, teman kotanya yang beriklan tentang kesuperan sepeda motor dibanding ternak sebagai angkutan. Spontan, sugesti si sipit itu termakan mentah oleh warga kampung. Mereka menjual ternaknya demi membeli sepeda motor. Alhasil, petani yang dulunya berpedati, sekarang bangga dibuatkan rompi oleh Sugi dan helm bertuliskan "ojek". Sebegitu drastis perubahan hanya karena jalan semen si Sugi.
Mau tidak mau banyak hal yang dipengaruhi dikampung oleh apa yang Sugi sebut "proyek". Seperti; Karena berkurangnya binatang ternak, otomatis tidak ada tahi yang bisa dijadikan pupuk gratis lagi. Tak kapok, Kades Sugi membawa teman barunya lagi, kali ini bertubuh gemuk agak pendek, kulitnya putih dengan beberapa bercak entah itu tahi lalat atau apa, mengenakkan topi ala koboi, kiri kanan tangannya bergemerlap 24 karat.
Orang kampung tak ada yang tahu nama teman-teman mas Sugi itu, yang mereka tahu kades mereka memanggil pengiklan sepeda motor dengan sebutan "koh", kali ini pria gemuk pendatang baru ia panggil "boss".
Pria gemuk teman kades ini meniupkan angin surga lagi diseluruh pelosok kampung. Seolah mengerti dengan nasib mereka yang bertani sekaligus menarik ojek, si gendut meminta rekannya membawakan 1 karung kecil berisi butiran-butiran beraroma menyengat.
"Bapak ibu sekalian, ini pupuk terbaik yang saya buat di pabrik milik saya sendiri. Pupuk ini sudah mendunia", Katanya dengan suara bergema dalam toa.
Bagi warga kampung, kandang ternak adalah pabrik pupuk mereka, dan Kampung inilah dunia. Tapi sekarang ada dunia baru lagi yang dibawa kades Sugi dan si Gendut.
"Anda hanya perlu memupuki tanaman dan lahan pertanian 3 kali saja dari masa tanam ke masa panen, dan pupuk inipun telah teruji bisa meningkatkan jumlah hasil panen para petani".
"Anda bisa jarang pergi ke sawah ladang, suami-suami anda akan bebas mencari uang tambahan duduk menanti pelanggan di pangkalan".
Si gendut tukang pupuk terus berorasi.
Alangkah baiknya si gendut teman Sugi ini, ia juga menggratiskan pupuk-pupuknya bagi warga kampung. Tapi hanya untuk masa panen pertama. Setelah itu, agen-agennya malah bebas keluar masuk kampung berjualan pupuk yang harganya jika dihitung sebanyak bagi 2 hasil panen. Warga makin tercekik, bak hidup dalam paceklik.
Pemandangan yang dilihat Udin hari sabtu pagi ini adalah perubahan paling kejam yang dilakukan oleh mas Sugi dan teman-teman kotanya.
Pasar kampung yang dulunya ramah, sekarang menjadi pasar tetangga dari negeri sebelah. Warga yang dulunya mayoritas penjual, sekarang adalah pembeli. Pedati-pedati yang dulu melenggok dijalan berbatu membawa orang dan barang, sekarang berganti motor-motor berisik berpolusi.
Panjang Udin dan bapaknya bercerita tentang kampung yang lama tak ia jumpai. begitu banyak kearifan yang hilang, kampung itu sekarang beracun, terinfeksi virus-virus perkotaan.
Nyawa kampung itu perlahan digorok Sugi dan teman-teman, dengan pisau tumpul yang mereka bawa dari kota.
Di ujung ceritanya bersama bapak Udin menggeram, "Perubahan macam apa yang membuat terpuruk? Ini pembunuhan!!!!".
Batuk bapaknya menghentikan kisah sabtu di kampung dan pasarnya yang telah gelap itu.
Di pangkunya Dirman untuk membuatnya nyaman kembali di kasur kapas merah muda.
Benak Udin berkata, ia belum bisa berbuat apa-apa.
...
Seminggu sudah Udin bersama bapak, emak dan kampungnya. Tiba saatnya untuk kembali ke kota.
Kembali demi wisuda, wisuda yang adalah cita-citanya, wisuda yang akan tiba dalam waktu segera.
Kembali demi Sofia, Sofia yang sudah seminggu sendiri di tengah kota, Sofia yang ditinggal dalam nostalgia.
Walaupun hati Udin masih sakit melihat pasar sabtu itu, apa boleh buat.. bis ke kota cuma bisa ia jumpai dipasar tersebut. Berangkatlah pemuda itu ke kota, di iringi lambaian tangan bapak dan emaknya yang makin lama makin terlihat menjauh karna bis yang melaju makin kencang. Hanya lambaian itu yang mereka titipkan, tak ada kardus ataupun karung bekal buat anaknya.
Bis tua bergetar dan perlahan melaju.
Mata Udin kosong selama perjalanan, malah otaknya makin penuh tanya-tanya. Tangannya mengepal, tonjolan geraham tampak membengkaki dua pipinya, nafasnya dua hela per detik. Marah dan juga panik!
"Aku malu pada kuliah ekonomiku"
"Kuliahku harus secepatnya kubawa pulang"
Terbayang wajah Emak dan Bapaknya.
"Akan ku kembalikan kampungku dan pasarmu mak!!!" (sentak hati Udin).
Bersambung...