03

821 44 8
                                    

***

Setelah mengikuti kemana arah larinya sang sahabat, Asha pun tenang. Ia mengira Dhiva akan berbuat macam-macam, ternyata Dhiva lari ke toilet. Mungkin untuk membersihkan jilbab dan bajunya yang tertumpah minuman Greentea milik Anta.

Ngomong-ngomong tentang Anta, Asha belum menemukan sosok lelaki itu. Mungkin ia bingung kemana arahnya Asha dan Dhiva pergi. Ia merasa bahwa Anta adalah Mahasiswa baru di Kampus. Dan menurut Asha, Anta mungkin pindahan dari Bandung karena logat sundanya.

Dan benar saja, setelah dibicarakan Anta datang dengan terengah-engah. "Huh..Huh...Huh.. mbak kok ninggalin Anta. Anta tuh bingung pisan, mbak." Ucapnya ngos-ngosan. Asha mendelik. ia mengabaikan, Anta. Namun menurutnya Anta adalah orang yang baik, walaupun otaknya rada geser dikit, dan lelaki setengah perempuan ini, tampaknya sedikit dari manusia yang sungguh-sungguh untuk bertanggung jawab. Terlihat dari permohonan maafnya kepada Dhiva. Ya, walaupun Dhiva malah membentaknya. Sepertinya lelaki ini patut diacungi jempol.
"Mbak! Kok ngelamun,"
Asha terkejut, tentu saja. Tetapi ia hanya mendengus.

Tidak lama mereka menunggu di depan toilet, Akhirnya yang ditunggu pun keluar. Dengan pakaian yang seperti orang ya begitulah, Asha saja sampai meringis melihatnya.
"Va, baju kamu kotor banget. Atau kamu izin pulang aja, nanti aku izinin, kok."
Dhiva menghela nafas.
"Udah, gak papa kok. Di loker masih ada kerudung. Nanti aku bisa ambil sendiri."

Anta yang tadi hanya diam menyimak, kini bersuara.
"Eum,mbak. Anta ambilkeun aja gimana?" Dhiva menoleh ke sumber suara. Sebenarnya sedari tadi ia tidak menyadari ada Anta disana. Saat Anta bersuara, emosinya langsung naik. Namun tertahan karena Asha mencegahnya. "Udah Va, lagian dia udah minta maaf. Niat dia kan baik buat tolongin kamu, mungkin dia juga gak sengaja numpahin minumannya."
Dhiva menghela nafas. Benar juga apa kata sahabatnya itu. Tapi, ia tidak akan semudah itu untuk me maafkan Anta.
"Iya, mbak. Sekali lagi Anta minta maaf atuh. Kata nenek Anta teh, kalau orang mau minta maaf teh, di maafkeun. Gusti Allah teh pemaaf. Masa kita hambanya tidak." Ujarnya kembali bersuara.
Dan lagi-lagi, Dhiva tersentuh dengan kata-kata yang sangat tulus dari Anta. Ia bisa melihat ketulusan dari matanya. Tapi ingatkan dia, untuk sekali-kali mengerjai Anta. Sepertinya menyenangkan.
Dhiva tersenyum, namun saat Anta menatapnya ia kembali menampilkan wajah datarnya. "Yaudah,lo gue maafin." Anta mengembangkan senyumnya, Menampakkan gigi rapinya. Anta pun mengulurkan tangannya untuk mengajak mereka bersalaman. Namun wanita didepannya malah menangkupkan kedua tangannya didepan dada. Mereka bersamaan menjawab, "Bukan mahrom, Anta." Ucap mereka serempak. Anta hanya bisa cengengesan dan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Kenalin nama aku, Asha."

"Gue, Dhiva."

"Bagus-bagus ya namanya. Kalau Anta teh namanya Anta Pradipta, Anta teh tinggalnya di Bandung, punya Bapak sama Ibu. Anta teh juga punya adek 1. Anta dijakarta tinggalnya di kos-kosan, mbak. Anta pindahan dari Bandung. Sekarang Anta udah semester 4, terus ngambil jurusan Akuntansi, teh. Dirumah teh Ba---"
"STOPP!" Dhiva memotong pembicaraan Anta. Asha tercengang melihat Anta begitu jelas menceritakan biodatanya.
"Ihh, Anta teh belum selesai cerita, atuh." Dhiva mendelik.
"Yang nyuruh lo cerita itu siapa, hah!" Ucapnya sinis. Anta tertegun, namun ia langsung menyela, "Ya suka-suka, Anta." Ucapnya sewot. Dhiva menatapnya sinis.

Asha yang merasa akan ada perang dunia lagi, lekas melerai dua orang yang berlawanan jenis kelamin ini. Mereka masing-masing seakan mengibarkan bendera perang. Asha pun cepat-cepat membawa Dhiva kembali ke kelas. "Eh, Anta. Kalo gitu, kita balik ke kelas dulu. Assalamualaikum." Pamitnya sambil menarik tangan Dhiva.

***

Didepan pintu mereka memberi salam untuk teman-temannya. Ada yang menjawab, aja juga yang acuh. Mereka tidak perduli akan hal itu. Namun perlu dicatat, bahwa menjawab salam hukumnya adalah wajib.

HE.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang