Pergi Keluar?

31 4 1
                                    

"Eh kan aku bilang cium pipi bukan mulutnya!"

Radya mengelap bibirnya dengan telapak tangannya kasar. Seolah jijik dengan apa yang baru saja diterima bibirnya -- sebuah ciuman -- dariku.

Ugh! Tuhan maafkan aku.

Keheningan terasa semakin menyeruak, mencekat napas ku semakin lama. Aku meneguk ludah beberapa kali berharap rasa canggung itu hilang namun sia sia saja.

Agatha, yang biasanya menjadi seseorang yang memecahkan keheningan kini sama saja denganku. Bagaikan beku ditelan keheningan ini.

Oh ini semua salahku, kalau aku tidak um ... Mencium Radya seperti itu mungkin kita bertiga masih bercanda ria seperti tadi.

"Toilet dimana?" Suara itu memecah keheningan seketika beriringan dengan bangkitnya tubuh tegap nan tinggi milik satu satunya laki laki yang ada disini.

Aku menunjuk dimana toilet terdekat berada, tanpa menunggu apapun lagi, Radya segera menuju arah yang ku maksud kan.

Agatha lebih memilih sibuk dengan ponselnya dan mungkin mengacuhkan ku? Ah entahlah, mungkin saja dia hanya merasakan canggung yang hebat juga tadi.

>>••<<

•Radya POV•

"Tenang Rad oke tenang... " Ucapku berkali kali bagai merapal sebuah mantra.

Aku hanya dapat melihat pantulan wajahku yang basah karena air dalam cermin yang tepat berada di depanku ini. Tetesan tetesan air terlihat jelas meluncur dari balik helai helai rambutku yang juga ikut basah tadi.

Aku menunduk, menatap kosong pada wastafel putih itu dengan napas yang menderu deru. Berusaha menetralkan detak jantung yang menggila, payah! Aku tidak berhasil melakukannya.

Kalian pikir aku memang bersifat tenang seperti yang kutunjukkan sedari tadi?

Salah besar, aku hanya menutupi sifat asliku dengan tembok es tebal yang ku bangun tinggi tinggi.

Dan kecupan itu berhasil meruntuhkan pondasi dingin milikku. Itulah alasan aku cepat cepat kemari.

"Mungkin dia cuman salah penafsiran soal dare itu kan?" Ucapku tetap berusaha berpikir positif.

Aku mengacak acak rambutku frustasi. Sial! Apa hanya karena ciuman tak sengaja itu berhasil membuat seorang Radya Fauzi menjadi gila? Ck! Ayolah!

Aku kembali mendongak, merapikan sedikit baju serta rambutku. Tanpa sadar aku menyenggol sesuatu sampai benda itu jatuh, spontan aku berjongkok untuk meraihnya namun yang kutemukan bukanlah benda yang tadi kukira jatuh.

Sebuah gelang.

Untuk apa ada gelang di toilet? Oh mungkin milik Nadya?

Aku mengambil gelang itu, untunglah tidak rusak. Aku tertarik dengan gelang itu. Ukiran yang ada pada setiap maniknya sangat unik, seakan dibuat khusus. Ada sebuah ukiran yang seakan membentuk sebuah nama.

Aku membacanya perlahan.

"Tidak mungkin ... "

>>••<<

"Ma-maaf Radya aku nggak bermaksud, maaf sekali lagi." Ucap Nadya terdengar sangat tulus.

Ia sepertinya benar benar menyesal atas apa yang telah ia lakukan padaku.

"Hm nggak papa, nggak terlalu penting juga, udah lupain aja." Ucapku menenangkan, apa yang aku temukan di toilet tadi memunculkan rasa perduli ku pada gadis ini.

Nadya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang