Whiplash

446 38 2
                                    

Renata Mouly Nadia, 27 tahun.
-----

Orang bilang aku kuno. Manusia purbakala, hidup di zaman Batu prasejarah yang terlahir sebelum masehi. Seakan-akan aku terlihat paling 'berbeda' dari kebanyakan orang.

Namun di mataku, mereka lah yang aneh. Tepatnya, orang-orang jaman sekarang. Aku melihat tempat ramai, di mana banyak manusia berkumpul, tapi interaksi antar sesama tak seramai itu.

Contohnya, duduk satu meja sekitar 10 orang untuk temu kangen. Tapi, masing-masing sibuk dengan ponsel mereka sendiri. Padahal aku jamin, mereka juga membuka ruang obrolan grup di ponselnya. Apa gunanya bertemu kalau begitu?

Ada pula yang paling aneh dari itu semua, mencari pacar lewat internet. Astaga ... apa sih yang dipikirkan oleh mereka?

Orang yang berpacaran selama bertahun-tahun dengan orang yang jelas-jelas mereka kenal saja bisa putus, diselingkuhi, dimanfaatkan.
Apalagi dengan orang asing, yang bahkan kalian sendiri gak yakin mereka dapat dipercaya, bukan?

"Ata, elo gak bosen apa sendirian mulu? Dulu elo bilang sama gue, target nikah umur 25, tapi coba liat ... umur 27 elo bahkan belum punya pacar."

Devi Oktaviani, sahabat terbaikku sekaligus yang paling menyebalkan dari milyaran manusia di bumi. Mungkin dia terlalu khawatir akan nasib sahabatnya yang sudah yatim piatu tanpa hadirnya calon suami ini.

Memang dulu kami selalu tinggal satu atap, tapi sekarang tak bisa lagi. Devi punya keluarga baru, bahkan kini ia sedang mengandung buah hati ke-duanya.

Jadi, walaupun aku kesal, aku tak sampai hati memarahinya. Karena aku tahu dia benar-benar khawatir padaku, bukan seperti orang lain yang sepertinya senang sekali mengolok aib seseorang.

Aku memutar bola mata, "Baru 27 Dev, masih muda kok gue! Jodoh gue itu masih nyangkut di pohon, belum bisa dipetik."

"Renata Mouly Nadia, yang namanya jodoh itu kayak rezeki dari Allah. Elo gak bakalan dapet kalo gak usaha, Ta. Percuma kalo cuma berdo'a, berharap, tanpa ada usahanya."

"Dev, gue udah usaha kok! Tapi gak ada satu pun pria yang bikin gue yakin untuk menjalin suatu hubungan, apalagi buat ke arah lebih lanjut dari itu," tuturku.

"Jangan suka menetapkan standar terlalu tinggi, Ta. Sampai kapanpun elo gak bakal temuin. Gue ngomong begini karena gue itu kenal elo, gak ada orang yang sesempurna itu, kecuali mereka Nabi."

Aku menghentikan Burger yang baru saja akan kugigit. Kami bertemu di salah satu restoran fast food, berhubung Ibu yang satu ini sedang ngidam ice cream khas restoran ini.

Aku menghela napas dalam-dalam, "Dua tahun lalu, gue masih berpikiran seperti itu. Tapi sekarang udah enggak lagi. Lagipula siapa sih gue? Gue bukan orang kaya kan, gue bukan artis, gue cuma manager di perusahaan kecil. Tapi tetap aja Dev, sulit cari pria yang bisa dipercaya. Pasti elo ngerti lah maksud gue."

Devi cemberut, "Iya juga sih, emang cari pria ganteng dan kaya itu lebih gampang daripada nemuin yang baik sekarang. Apalagi cowok yang punya kombinasi tiga variabel itu, hampir mustahil."

"Hmm, ada dua kemustahilan. Mustahil gue temuin, dan kalaupun ketemu ... mustahil suka sama gue. Level-nya jauh, Dev. Gue gak berani bermimpi malah, hahaha."

"Ya kalau begitu, pantas aja elo gak ketemu-ketemu. Mindset di kepala elo udah begitu sih!" ujar Devi mulai kesal.

"Udahlah, nanti juga datang kalau udah waktunya."

"Elo gak mau nyoba dating apps gitu, Ta? Benar-benar serius cari pacar. Siapa tau kan, jodoh elo malah dari sana?" tanya Devi masih belum menyerah.

Attention to Detail [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang