Traits

252 37 6
                                    

Frangipani Loranita, 28 tahun.
-----

Aku bukan penggemar bunga, sekalipun hampir semua orang mengakui kalau wanita menyukai bunga. Alasannya mudah, karena namaku.

Namun sejak saat itu, seleraku sangat unik. Aku tak ingin mengakui sebagai suatu bencana, tapi aku juga tak pantas mengatakan jika hari itu adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan kepadaku.

Awalnya kupikir aku ini terlahir sempurna tapi nyatanya buta. Aku sampai membenci ibuku sendiri, otakku selalu berkata jika kesialan yang kuterima semua berkat Mama.

"Bunga setan!"

"Fani, bunga mayat."

"Idihh, nama bunga orang mati!"

Begitulah cemoohan yang sangat familiar di telingaku sejak kecil. Semua itu tak lain karena salah satu bagian namaku merupakan nama bunga kamboja. Frangipani Loranita. Pepohonan yang paling sering ditemukan di sekitar kuburan --ketahuan itu orang gak pernah ke Bali.

Ya, Mama yang memberikan nama aneh itu padaku karena ia jatuh hati pada bunga kematian bagi kebanyakan orang. Mama selalu bilang kepadaku, kalau arti dari bunga kamboja atau plumeria itu bukan tentang kepergian seseorang, melainkan cinta menurut kepercayaan orang Cina.

Mama memiliki darah Tiongkok dan cukup mengerti tradisinya, maka dari itu ia berharap dengan namaku ini aku akan mendapatkan cinta sejati nantinya. Selain itu Frangipani (Bunga kamboja dalam bahasa inggris) juga berarti keabadian, kelahiran dan kesetiaan. Sebenarnya bagus arti dari namaku ini, hanya saja dulu aku kurang edukasi hingga membenci setengah mati, bahkan terkadang sampai membuat ibuku sedih.

Tapi, kami tak tinggal di kota. Orang desa mana peduli arti sebuah nama itu sesungguhnya?

Yang mereka tahu, itu aneh. A little bit creepy. Selama itu lah aku membenci Mama. Hingga aku menyesal ketika ia benar-benar pergi meninggalkanku sendiri di dunia kejam ini.

Aku merupakan anak yang lahir di luar pernikahan, bahkan aku tak pernah tahu siapa Papaku yang berengsek itu. Karena ia berani menghamili Mama, tapi tak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini yang menjelaskan kenapa kami bisa terdampar di sebuah desa, karena Mama diusir oleh keluarganya sendiri. Tragis.

Sejak kepergian Mama, kuputuskan untuk merantau ke daerah perkotaan. Kuharap ia bangga karena aku sudah bekerja di perusahaan besar dengan posisi yang cukup tinggi pula. Tak sia-sia Mama berjuang seorang diri demi masa depanku.

"Ya, halo. Kenapa Ra?"

"Elo harus balik ke kantor sekarang juga, Fan!"

Aku mengernyit bingung mendengar nada mendesaknya, "Kenapa emang? Gue baru sampai resto, belum sempat pesan makanan malah."

"Presdir baru kita itu minta semua pimpinan direksi rapat mendadak. Dia mau meninjau secara langsung dan kita cuma dikasih 30 menit buat siapin bahan. Is he insane?"

Aku terlonjak kaget, "Astagaaa... gak bisa gitu dong! Kita punya hak untuk istirahat sebagai karyawan."

"Sumpah ya, Fan. Gue recomended elo buat protes ke Presdir baru itu, nanti. Tapi sekarang elo harus balik ke kantor yang penting absen muka aja di depan dia biar gak dipecat."

Aku meringis menahan perih, "Tapi perut gue ...."

"Hurry up!"

'Tut tut'

"Damn!" umpatku kesal.

***

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa pimpinan kami yang baru itu bertindak sesuka hatinya. Walaupun sejak kemarin --hari pergantian jabatan-- aku memang sudah merasa tidak suka dengannya. Entah untuk alasan apa.

Euforia karyawati yang heboh karena presdir pengganti Mr. Chen yang katanya tampan dan single itu saja belum hilang dari telingaku. Kini terbukti bukan, yang tampan biasanya berbahaya. Setan emang!

Bagiku, Mr. Chen adalah pemimpin perusahaan yang paling baik. Beliau seperti idolaku. Maka dari itu, ketika ia memutuskan untuk pensiun, aku sangat kehilangan. Padahal dekat pun tidak.

"Saya bilang kan semua pimpinan direksi, ke mana tiga orang lagi?!" Kudengar suara bernada tinggi dari balik pintu.

"Maaf Pak, tapi sekarang kan jam istirahat. Jadi banyak dari kami yang sudah keluar kantor untuk makan siang."

"Saya gak butuh alasan seperti itu! Kamu bisa lihat saya, kan? Apa saya istirahat sekarang?!"

Aku merasakan ada asap di kepala dan telingaku. Kenapa pimpinan kami sekarang bodoh sekali? Ya, siapa suruh dia tidak istirahat? Terus kalau dia tersiksa, kita juga perlu menemani dia, gitu? Lo kalo mau mati, gak perlu ngajak-ngajak. Gue ogah jadi kunti!

Kuputuskan untuk membuka pintu. "Permisi, maaf saya terlambat."

Sudah kuduga pasti pria itu akan menatapku seperti kecoa, sejak aku memutuskan untuk masuk ke ruangan ini.

Ia bertepuk tangan dengan heboh seperti selesai menonton pertunjukan. "Bagus. Siapa orang ini?"

"Lead manager marketing, Pak," jawab seseorang yang berdiri di belakang pria angkuh itu, yang kutahu sebagai asistennya.

"Saya mau dia diberhentikan sekarang juga."

What? Sumpah ya ini orang gila! Aku telat karena dia. Jalan lima belas menit nahan perih cuma buat dengar kata-kata keramat itu? Lebih baik aku tetap di restoran tadi, setidaknya perutku kan kenyang.

"Tapi Pak, apa anda lupa tujuan mengumpulkan pimpinan direksi?" tanya asistennya.

"Oh jelas saya ingat, tapi bukan berarti saya lalai untuk menghukum karyawan yang tidak disiplin."

Kurasa asap itu bukan lagi keluar di kepala dan telingaku, tapi sudah menyebar ke seluruh tubuhku. "Gue telat gara-gara elo, Bahlul! Elo sadar kan, ini waktunya karyawan buat istirahat? Kita manusia, bukan robot! Kalo eo mau bilang, elo aja gak istirahat, itu sih derita lo! Suruh siapa gak istirahat? Kalo belum siap mempimpin orang, lebih baik elo ngorok aja sana di rumah. Seenaknya aja menindas orang!"

Tanpa bisa kucegah lagi, aku menyentak meja di hadapannya, masa bodoh kalau benar-benar dipecat. Setidaknya aku tak menyesal kehilangan kesempatan langka ini.

Herannya, dia hanya tersenyum. Bahkan sorot mata garangnya hilang begitu saja. Tapi mohon maaf nih, komuk lumayan tapi kelakuan minus sih tempatnya ditempat sampah, bukan jadi pimpinan perusahaan.

Ketika ia berdiri, asistennya langsung panik, mungkin dia takut atasannya akan berbuat sesuatu yang akan mencoreng citranya sendiri. Kalau aku, sudah masa bodoh. Coba kita lihat si dewa kutu monyet ini bisa apa? Aku sih jelas marah dengan sikapnya yang seperti Tuhan itu.

"Maaf Pak, sebelumnya. Tapi dia Frangipani Loranita."

Pria angkuh itu memejamkan mata dan ketika ia membuka mata, ia menatapku cukup lama sampai akhirnya bergerak mendekatiku.

Aku bergerak mundur karena panik, sedangkan yang lainnya hanya menatap kami kebingungan. Eh bego dah, tolongin gue kenapa. Ini ada orang sinting, woy!

"Mau lo apa si? Maju satu langkah lagi, sumpah gue bakal tonjok sih!" ancamku berani. Alias pura-pura berani.

Namun ketika tanganku bersiap untuk menyerangnya, ia terlebih dahulu menangkap kedua tanganku. Menarikku ke dalam pelukannya. "Darah memang lebih kental dari susu.Ternyata benar kamu anak Papa. Tolong, sopan sedikit sama aku. Happy Birthday, Adikku."

Eh, apa?
Si Kutu monyet ini abang gue?!

END

*****

Jurus andalan, yang penting update. Wkwk

Jangan kecewa ya, aku bosen cinta-cintaan mulu. Hahaha

Attention to Detail [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang