bertemu lagi

1.2K 55 2
                                    

    "Ke  mana pisau kita berada?" tanya perempuan tua itu pada Sania.
Ia mengobrak-abrik isi dapur.

    "Entahlah. Bukankah aku baru pertama kali  diperbolehkan membantu di dapur,"
Sania berusaha sesantai mungkin agar tidak dicurigai sebagai maling yang mencuri pisaunya.

    "Kau benar, pasti aku salah taruh saja." Perempuan tua itu memandang Sania sekilas dan pergi keluar.

    "Rebuslah air untuk kita minum teh, sementara aku akan meminjam pisau pada tetangga kita." Setelah berkata begitu dia pergi.

    Sania mengiringi sampai di halaman dapurnya. Sania baru masuk setelah Ia rasa perempuan itu tidak terlihat lagi di ujung jalan sana.

    "Apa yang ia katakan? Tetangga, tempat ini sangat jauh dari desa," Sania masih bertanya dalam hatinya sambil melakukan perintah yang dipesankan perempuan tua tadi.
Sania langsung terdiam ketika ia mulai menyadari sesuatu. "Kalau dia bisa meminjam pisau pada tetangga,  itu artinya tempat ini pasti ada jalan pintas menuju ke desa ya, ampun! Pantas saja, pasti dia sedang menyembunyikanku dari pemburu lain. Ini pasti tidak diragukan lagi. Apa aku harus lari dari sini secepatnya. Ke mana arah tujuanku?" Sania berdebat dalam hatinya. Saat sedang berkutat dengan pikirannya Sania mendengar ada suara dan langkah kaki seseorang menuju ke arah dapur.

    "Ibu aku pulang!"

    Seperti suara lelaki ... apakah? Oh gawat! Pasti itu Bian. Tak dapat dihindari aku akan jadi sate malam ini, sialan!  Sania menggerutu dalam hatinya. Dia mencoba untuk terlihat setenang mungkin.

    "Tenanglah Sania kau memang calon makanan tapi makanan ini bisa mematikan," kata Sania.

    "Siapa kau? Ibu mana?"

    Sania berbalik untuk menghadapi Pria itu dan alangkah terkejutnya dia kalau Bian adalah lelaki yang menolongnya sejak hari pertama ia berada di pulau itu, Sepertinya Bian juga sama terkejutnya dengan dirinya

    "Kau ... kenapa bisa di sini?"  Bian mendekati Sania dan bertanya dengan nada yang membingungkan.

    "Aku diselamatkan ibumu untuk santap makan malammu." Sania berbicara ketus dan  berbalik membelakangi Bian.

    "Apa?!" Bian sepertinya sangat tidak percaya, gadis yang ditaksirnya akan jadi makanan yang disajikan untuknya, tapi mengingat mereka adalah pemakan manusia, mau tidak mau percaya juga.

    "Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan ayah-ibumu, di dapur."

    Bian maju dan memegang bahu Sania. "Kau tidak boleh di sini, pergilah."

    "Ke mana aku harus pergi? Aku tidak tahu jalan." Sania membaca raut wajah Bian. Mencoba mengintip pikirannya.

    "Di arah barat ada pantai di sanalah kami menemukanmu, mungkin juga kendaraanmu masih ada," kata Bian.

    Mata Sania langsung membulat. "Be-benarkah?"  Ia tidak percaya ini, akhirnya Ia bisa pulang.

"Makanya cepatlah pergi!" perintah Bian.

Sania melepaskan genggaman tangan di bahunya, Bian memperhatikan gerak-gerik Sania.

"Apakah aku harus percaya pada orang ini?" Sania diam memandang nampak ragu.

    Seperti tahu yang dipikirkannya Bian berkata, "Aku memang tidak mengenalmu begitu pun kamu, tapi percayalah aku tidak akan berdusta," jujurnya. "Apakah kau percaya? " Ia menambahkan kata lagi.

    Tanpa sadar Sania mengangguk walau ada sedikit keraguan di hatinya entah kenapa dia merasa sorot mata lekaki itu pantas dipercaya. Ia memang pernah mempelajari karater dan isyarat seseorang tapi, dalam dunia ini sangat banyak yang sulit untuk dipahami walau sudah belajar setengah mati.

    "Apa kau sudah makan beberapa hari ini?" Lelaki itu bertanya

    "Belum, dan aku tidak sudi makan walaupun ibumu memasak sayur sekalipun karena kutahu perkakas dapur ini pasti pernah digunakan untuk memasak manusia," jawab Sania.

    "Pantas kau sangat kurus." Pemuda itu berucap prihatin.

    "Aku harus pergi Bian, sekarang juga," kata Sania.

    "Baiklah, aku akan menyusulmu di sana," kata Bian.

    "Terima kasih, bantuanmu sangat berarti untukku." Sania bangkit dari duduknya

    "Boleh kutahu namamu, Nona?!!" Bian berteriak saat Sania pergi menjauh dari pandangannya.

    "Sania...!" Sania menjawab dia tidak menoleh sedikit pun tanpa berhenti terus berjalan.

Tinggalah Bian seorang diri di taman belakang dapurnya. Ia menegangi dadanya. "Sania sakit, apa kau bisa merasakan ini?" Bian menghela napas berkali-kali untuk menetralkan rasa sakit di dadanya.

##########

Kita tinggalkan dulu sejenak masalah Bian dan Sania. Mari kita melihat bagaimana kepanikan Anes dan Timnya setelah mendengar Sania tidak kunjung sampai ke tujuannya.

Tringg... Tringg... Tringgg.

    "Anda sedang menghubungi Kantor Jaksa ada yang bisa dibantu?"
Anes bertanya di telepon seraya memberi isyarat pada Leo rekannya yang sedang bertanya.

    "Kamu lihat dokumen penting yang dibawa oleh kurir tadi, Anes?" tanya Leo.

Anes memberi isyarat kalau dia menaruhnya di atas tumpukan mapnya. Kini ia telah beralih lagi pada teleponnya. "Oh Sania, ya.. saya rekannya ada apa?  Apa?!  Bukankah sudah satu minggu, seharusnya sudah sampai?"  Anes terperanjat ia bicara sedikit keras, yang lain ikut menyimak pembicaraannya dengan si penelepon.

    "Sudahkah Anda menghubunginya?" Anes bertanya lagi. "Baiklah akan saya hubungi bila sudah menemukannya, iya saya akan berusaha." Anes menutup telepon kantornya. Wajahnya bingung tidak mengerti sama sekali setelah diam beberapa saat ia mulai panik.

    "Ada apa Anes kau begitu panik?" Leo bertanya.

   "Sania hilang aku tidak tahu ke mana dia!" Anes menjawab dengan nada keras kepanikannya melupakan etikanya sebagai seorang pengecara, tata cara bicara tidak sopan dan tingkahnya juga.

    "I-i-iya... tapi tolong kau lepaskan dulu kerah bajuku dan bisa tidak kau tidak bicara sambil membawa pemadam kebakaran (semburan liur)-mu itu."

    Anes terkesiap kesadarannya mulai pulih setelah mendengar teguran dari Leo, Anes melepaskan cengkramannya pada baju Leo. "Aku memang mencengkrammu, tapi tidak sampai membawa pemadam segala itu tadi perasaanmu saja." Wajah Anes memerah menahan malu.

    Seluruh ruangan dihiasi mata-mata yang haus akan jawaban dari Anes.

    "Baiklah, Nes terserah kau saja." Leo mengusap habis wajahnya yang basah terkena semburan liur Anes, dengan tisu. "Sialan sampai masuk ke mulut!"
Lelaki itu menggerutu pelan sehingga hanya dia saja yang bisa mendengar apa yang ia katakan tadi.

Mampukah Anes menemukan Sania...?
Nantikan kelanjutannya.

Masih revisi. Jadi up sebagian saja ya.

AKU DI ANTARA KANIBAL(TAMAT) Akan DirevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang