Cinta memang begini,
Hanya berporos pada yang dicinta tanpa perduli ada yang mencinta.
***Rian mengendarai mobilnya dengan kecepatan diatas rata rata, sesekali matanya melirik arloji ditangan kirinya.
Notifikasi beberapa panggilan tak terjawab menghiasi layar depan smarphone Rian.
Bukan karena ia tak melihat panggilan tersebut, melainkan karena dia menghindari amarah proffesor di Rumah Sakit tempat ia bekerja.Sore ini, Rian memiliki operasi bedah yang untungnya tidak terlalu besar, mengingat sekarang dia sudah hampir terlambat karena operasi sebentar lagi dimulai dan dirinya masih dalam perjalanan.
Tadi seperti rencana sebelumnya, Rian mengantar Sia ke kampus namun nyatanya ajakan Rian tadi tak sepenuhnya serius.
Rian mengira Sia tak akan mengiyakan ajakannya sama seperti biasanya. Namun tanpa diduga Sia mengiyakan ajakan Rian yang tentu saja sangat cukup membuat hati Rian menghangat.Rian bahkan melupakan bahwa dirinya punya operasi sore ini. Untuk pertama kalinya, selama hampir dua tahun dirinya resmi menjadi dokter, ia terlambat seperti sekarang.
Dengan tergesah ia segera mengganti pakaiannya dengan seragam operasi setelah dirinya tiba di rumah sakit.
Dirinya gagah dengan balutan seragam operasi, kulit putih terangnya menyala dipadukan warna hijau tua. Seorang tampan dengan karir sepertinya, wanita seperti apa yang tak akan kagum?
Sia berbohong kalau dia berkata tak kagum, karena dirinya saja sering terpesona ketika melihat Rian berbalut jas kebangsaan para dokter.**
"Yang nganter lo tadi, bos lo yang dokter itu kan?"
"Gue disamping, nggak usah pake teriak kali."
"Tapi bener dia? Astaga, kok lo lucky banget, bisa kenal sama orang seperfect itu, deket lagi."
"Perfectnya apa?"
"Yah iya, dokter muda yang mapan banget udah banyak, cowok ganteng banyak juga. Tapi yang sepaket kek dia mah langkah Davisiaa!! Ileran gue." Kezia bertingkah heboh sambil menggigit jarinya gemas.
"Ehmm" Sia menganggukkan kepalanya, tanda setuju. "Dia emang perfect sih, gue juga sering bengong kalo ngeliat dia pake kemeja rapi gitu, apalagi kalo udah pake jas dokternya."
"Kayaknya dia suka lo deh."
"Hmm gaktau ah.
Lagian gue punya jheo, seperfect apapun Rian, dia gak bisa ngambil hati gue sehebat yang jheo lakuin. Dan hati gue udah sepenuhnya milik Jheo.""Lo bego sumpah! Jheo yang lo puja puja itu cuma mesin, pacaran aja lo ama mesin, kalo dia beneran serius, kenapa selama hampir 2 tahun lo pacaran ama tuh komputer, belum sekali gue denger lo cerita kalian telfonan."
"Tinggal 2 bulan dan gue bakal buktiin kalo dia itu ada."
"Segitu cintanya lo ama dia, sampe lebih besar rasa percaya lo dibandingin keraguan yang gue yakin lo rasa."
"Key, gue capek debatin ini terus."
"Ok, terserah lo sih, gue masih ada kelas, lo gpp kan balik duluan?"
"Iya"
"Ok, hati-hati"
Sia menganggkat kedua ibu jarinya, kemudian berbalik arah. Matanya menerawang ke langit yang sunyi kali ini, tanpa bintang atau bulan yang biasanya bertengger manis di atas sana.
Hatinya ragu, bahkan sangat ragu, tapi haruskah dia menyerah? Disaat semua rindu yang dibiarkan menumpuk, semua pertanyaan yang telah lama tergantung punya kesempatan dituntaskan? Haruskah dia menyerah saat dalang dari semua risau hatinya telah menjanjikan satu hari untuknya melepas rindu dan berbagai rasa campur aduk selama dua tahun terakir ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Hope-less
RomanceSia mudah tertarik. Sia mudah baper. Sia mudah bilang suka. Sia mudah percaya. Lalu sia jatuh cinta. Meski selalu tertarik pada pria berwajah tampan, pria humoris atau pria puitis. Meski dia tetap mudah baper. Meski sering dia bilang suka. Dia tak...