Awal

8 0 0
                                    

Kebahagiaan tergambar jelas diwajah Sabrina, berkali kali diberikannya ucapkan selamat berserta kecupan ringan dipuncuk kepala Agit, putranya.

Sukses menjadi Ketua Osis pada kelas 10 kini Agit resmi terpilih lagi sebagai ketua Osis yang baru.

Tak heran jika Agit terpilih sebagai ketua osis yang baru, tidak hanya karna iq yang tinggi, namun sikap sopan dan ramah adalah salah satu hal yang membuat Agit mendapatkan posisi itu lagi.

"Udah deh Ma, malu itu dilihatin orang"
Namun, bukannya berhenti sang mama malah menambah cubitan cubitan kecil di hidung putranya itu, ia rela ijin dari kantor demi melihat putra semata wayangnya itu terpilih menjadi Ketua Osis Sma Nusa Bangsa ini.

"Kenapa malu, kamu itu ngebanggain gak pernah nggak nurut. Mama jadi yakin kamu nanti bisa jadi Jaksa Agung kayak Papamu"
Jelas, raut yang ditampilkan sang Mama sangat bersinar sekaligus tak terbantahkan ketika membicarakan tentang masa depannya itu.

"Iya Ma, semoga"
Senyum tipis Agit tunjukkan untuk menutupi perasaan yang hampir meledak saat ini, mau mengelak apapun itu akan percuma.

Masa depan aku itu ditangan Mama Papa, bukan diri aku sendiri. Batin Agit.

-
Ada yang beda ketika Agit memasuki halaman rumahnya, mematikan mesin motornya pandangan Agit seketika tertuju pada rumah didepannya. Rumah yang hampir 3 Tahun ini ditinggal pemiliknya itu kini terlihat dihuni oleh  beberapa orang, terbukti dengan lampu-lampu yang makin terlihat bersinar dan dua mobil yang terparkir digarasi rumah itu.

"Loh, Kak kok nggak masuk-masuk ? "
Sabrina menghampiri Agit sambil melihat rumah didepannya juga, seolah tahu apa yang dipikirkan sang anak dia kemudian tersenyum sambil mengarahkan dagunya kerumah depannya itu

"Ohh itu... Kita punya tetangga baru, pindahan dari Bandung. Itu rumahnya udah dijual dan dibeli sama Ibu Tesa"

"Mama udah kenal ? "
"Udah dong, dia kasih kita kue juga katanya buat salam kenal"

Mamanya tersenyum manis, saat saat inilah yang ingin dia dapatkan dari pancaran wajah Mamanya ketika membicarakan masa depannya, bukan ekspresi tak terbantah yang sialnya memang tidak bisa dibantah sama sekali oleh Agit.

"Papa udah pulang ? "
Mendapati mobil Papanya ada di garasi, detak jantung Agit menjadi menggila.
Pasalnya sangat jarang Papanya yang super sibuk itu pulang sebelum dirinya selesai mengikuti Les tambahan yang didaftarkan sang Mama.

"Iya udah pulang, Mama tadi telfon Papa bilang kalau kamu kepilih lagi jadi Ketos. Papa seneng banget makanya dia pulang cepet, dia juga bawain kamu tela-tela cemilan favorit kamu Kak"

"Ohhh.... yaudah ayok masuk Ma"
Sabrina mengangguk, menggandeng tangan putranya "Iya, ayo"

-

Masih tergambar jelas bagaimana sang Papa menepuk bahunya setelah selesai makan malam tadi tanda bahwasanya beliau bangga pada putranya itu, bukannya merasa bangga Agit malah sebaliknya dia cemas dan dia tidak percaya apakah bisa selamanya dia seperti ini. Ada kalanya manusia benar benar berada di titik lemah dan enggan bangkit karena sudah terlalu lelah untuk menghadapi. Kelihatan bodoh dan malas memang tapi jika semua hal yang kamu lakukan bukanlah kehendak dari dirimu sendiri apakah tetap kamu mau berjuang ?

Suntuk memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang akan mulai dia jalani bahkan bisa saja besok sudah ada instrupsi lagi, Agit menutup buku pelajarannya.

Berjalan menuju balkon Agit duduk ditepi, memutar lagu dari playlist favorit nya sambil memandang bintang yang jauh di langit sana, dia mulai menikmati.

Ada rasa nyaman dan tenang ketika Agit melakukan itu, mengikuti irama musik yang mengalun sambil menundukkan kepala, Agit suka--dan tersenyum.

Ketika lagu hampir habis, pandangan Agit tertuju pada sebuah ruangan yang ada dirumah depannya itu. Rumah kosong yang kini dihuni itu tampak terang, kecuali satu kamar yang ada dihadapannya kini.

Agit yakin hanya ada satu lampu tumblr yang menyinari kamar itu dan itu tepat berada diatas jendela, dari balik jendela yang tidak tertutup itu dengan menyiptkan matanya samar-samar Agit melihat siluet sesorang.

Agit semakin menajamkan pandangannya, siluet yang dilihatnya tadi bergerak--berjalan keluar balkon sambil membawa gitar. Ketika siluet tadi benar-benar keluar dari kamar dan duduk dikursi yang ada dibalkon itu, Agit yakin dia adalah wanita, terbukti dari rambut pendeknya yang digerai dan dan kaos panjang warna hitamnya itu.

Agit tersenyum begitu juga tersetrum ketika wanita tadi mulai memetik gitarnya, dia seolah ikut meresapi apa yang gadis itu petikkan di gitarnya walau dia hanya mampu mendengarnya samar-samar.

Satu jam berlalu dan kini sudah pukul 11 malam, Agit masih setia diposisinya dan gadis tadi juga masih dengan gitarnya. Seolah sedang mendengarkan Agit benar-benar menunggu gadis itu menyelesaikan permainnan gitarnya.

Agit merasa asing dirumahnya, tidak ada sesuatu yang bisa membuatnya senyaman ini.
Ini gila, hanya karna gadis yang hampir tak terlihat wajahnya di gelapnya malam dengan sebuah gitar dipangkuannya, Agit benar-benar merasakan tenang.

Menyudahi kegiatan anehnya, Agit berbalik menuju kamarnya.

Tanpa disadarinya, ada sepasang mata yang memandangnya dengan rasa penasaran. Feli bukan tidak tahu kalau Agit melihatnya sejak pertama kali dia menginjakkan kaki dibalkon kamarnya itu yang Feli lakukan hanyalah seolah-oleh tidak melihatnya. Masa bodoh, pikir Feli toh Feli juga tidak kenal siapa lelaki tadi.

Melihat jam ponselnya, Feli kemudian menghentikan permainan gitarnya. Kembali ke kamar dan mengunci rapat balkon, mematikan lampu satu-satunya yang dia nyalakan di kamarnya walaupun tidak terlalu terang itu.

Berdoa dalam hati, Feli kemudian memejamkan matanya.

Semoga besok adalah awal yang baik untuk aku, selamat melewati hari-harimu di Jakarta ini Feli.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When I Saw YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang