Kemana Perginya?

31 2 1
                                    

Sebuah plang nama sekolah berdiri kokoh dihadapan kami. Ya, inilah sekolah kami. Terlihat deretan bangunan kelas dengan dinding berwarna putih dan merah. Bangunan kelas tersusun dengan sangat rapi degan bentuk letter U. Di tengah - tengahnya terdapat lapangan yang tidak terlalu luas, tapi masih cukup untuk menampung seluruh murid ketika sedang melaksanakan Upacara bendera setiap senin pagi.

Persiapan untuk upacara sedang dilakukan. Terlihat beberapa murid sedang berlatih karena ditunjuk sebagai pasukan pengibar bendera pagi ini. Seragam mereka sangat rapi. Bahkan ada yang mengenakan seragam baru. Wajar saja ini kan hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang. Tidak seperti aku. Lihatlah, seragamku sekarang terlihat sangat buruk. Rok putihku telah ternoda oleh cipratan genangan air tadi. Sepatuku pun sudah kotor dan basah. Wajahku? Tak kalah buruknya dengan seragamku. Wajahku penuh noda akibat cipratan tadi.

"Sudah, ayo kita cari keran air!" ucap Arkan.

Ya, orang yang menolongku tadi bernama Arkan, lebih tepatnya Arkan Jiazhen Sanjaya. Jiazhen? Betul sekali, ia memang masih ada keturunan Tionghoa dari darah Ayahnya. Ibunya merupakan orang Indonesia asli. Wajahnya tidak terlalu menampakkan bahwa dirinya memiliki darah keturunan China. Mungkin karena gen anak laki - laki lebih banyak terpengaruh oleh ibunya. Hanya matanya saja yang terlihat sipit seperti orang China pada umumnya. Arkan seorang muslim sejak lahir. Ayahnya pun telah menjadi seorang muallaf ketika hendak menikahi ibunya dahulu.

Arkan sangat baik padaku, padahal aku baru mengenalnya kemarin saat aku sedang dijahili anak - anak nakal itu di dekat toko perlengkapan alat tulis. Jadi sebenarnya ini adalah kali kedua Arkan menolongku.

"Sutia, kamu tunggu di sini ya, aku akan mengambil seember air dari toilet karena keran di sini sedang mati semua," ucapnya, setelahnya ia langsung bergegas mengambil air untuk membersihkan seragamku.

Tak butuh waktu lama untuk Arkan menemukan air. Lihat saja, kini ia sedang berjalan ke arahku sambil membawa ember berisi air.

***
Kriing...

Akhirnya bel istirahat pun berbunyi.

"Baiklah, untuk yang sudah selesai langsung kumpulkan di meja Ibu ya!" ucap Bu Dinda, wali kelasku yang baru. Aku sudah mengerjakan semua tugas yang diberikan, materi hari ini sangat menyenangkan, tadi di jam pertama kami diperintahkan untuk menulis cerita semasa liburan kami. Lalu setelahnya, kami diajari berhitung cepat, dan masih banyak lagi. Sungguh sekolah itu sangat mengasyikkan. Beruntung Bu Dinda masih memperkenankan aku mengikuti pelajaran setelah melihat seragamku yang masih terlihat kotor meskipun sudah ku bersihkan tadi pagi.

Oh ya, tugasku kan sudah selesai, aku harus segera mengumpulkannya di meja Bu Dinda.

***

"Assalamu'alaikum, Bu," ucapku memberi salam pada Bu Dinda, "Saya sudah selesai, Bu. Di letakkan di mana ya?" sambungku setelah mencium punggung tangan Bu Dinda.

Bu Dinda tersenyum, "letakkan di sini saja, Sut!"

"Baik, bu," aku meletakkan buku tugasku di salah satu tumpukan buku.

"Oh iya, Sutia. Kamu mau ke kantin ya?"

"Iya, bu. Ada apa?"

"Ibu, mau minta tolong. Ibu titip siomay lima ribu ya. Jangan pakai saos!" Bu Dinda tersenyum, lalu mengeluarkan uang.

"Baiklah, bu. Kalau begitu saya permisi dulu," ucapku sambil mengangkat tanganku untuk mencium punggung tangan Bu Dinda. Beliau tersenyum lalu mengulurkan tangannya. Lalu kumasukkan uang Bu Dinda ke dalam saku bajuku agar lebih aman.

Aku pun bergegas keluar dari ruang guru dan berjalan menyusuri lorong menuju kantin. Beruntung letak ruang guru sangat dekat dengan kantin.

Yaa, seperti biasa. Suasana kantin masih sangat ramai, meski jam istirahat sebentar lagi usai. Aku langsung menuju ke tempat abang penjual siomay. Beruntung pagi ini abang siomay tidak terlalu padat, jadi aku bisa mendapatkan pesanan bu Dinda dengan cepat. Ku keluarkan uang Bu Dinda untuk membayarnya. Lalu kuulurkan pada abang siomay. Baiklah, sekarang aku harus bergegas memberikan siomay ini pada Bu Dinda sebelum jam istirahat berakhir.

Kayuhan PedalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang