Ago

5 1 0
                                    

"Makasih mang Ujang" aku teriak sambil berlari ke arah bangunan sekolah. Mang Ujang menggelengkan kepalanya dari atas motor nya. Mang ujang, ojek langganan ku. Umurnya sudah tiga puluh tujuh tahun. Sudah punya istri dan satu orang anak perempuan yang diberi nama Kirana. mang Ujang sudah mengantarku sejak aku TK. Bukan karena Ayah atau Ibu ku terlalu sibuk tidak bisa mengantar dan menjemput. Mereka orang tua yang paling perhatian seantero bumi. Aku rasa, orang tua mu juga. Tapi, aku lebih memilih mang Ujang. Kenapa?. Tidak ada alasan. Hanya saja, pergi sekolah menggunakan motor itu menyenangkan bagiku dibandingkan harus menggunakan mobil ayah. Angin sepoi-sepoi yang menyapu wajah ku ditambah udara pagi yang masih segar. Jadi jangan tanya kalau terkadang aku suka masuk angin kalau mang Ujang ngebut atas permintaan ku. 

Pagi itu, pagi pertama di semester dua kelas sebelas bagi ku. Mading sudah ramai sepert awal-awal semester sebelumnya. Aku menghela napas. Seseorang menepuk pundakku.

"Ke kelas yuk, Sarah" suara itu tidak asing. 
"Memang kita sekelas?" tanya ku. Gadis itu mengangguk. Sahabatku sejak SMP dulu hingga sekarang. Gadis cerdas itu bernama Disa.

"Kelas kita ga ada yang dirubah tuh" Disa membuka pembicaraan saat kami berjalan menuju kelas.

"Oh iya? kok bisa?" tanya ku. Gadis itu mengangkat bahu.

Kelas ku dan Disa sudah ramai. Mereka sedang sibuk berdiskusi untuk memilih loker hingga akhirya beujung debat seperti biasa. Ketua kelas kami, Gian memukul meja. "Yaudah kita undi aja pakai nomer lokernya. Nanti satu orang ambil satu kertas yang udah gue buat. Harus setuju biar adil" Gian tidak pernah bertanya kami setuju atau tidak. Tapi ku akui, hampir dua tahun dia menjadi ketua kelas selalu mengambil kebijakan yang tepat. Akhirnya sengketa loker pun selesai. Delapan adalah nomer lokerku. Loker itu bersih. Namun, ada satu kotak tertinggal disana. 

"Gian, lo tau ga kakak kelas yang sebelumnya pakai loker yang sekarang gue pakai?" tanya ku ke Gian.

"gatau, memang kenapa, Sar?" tanya Gian

"Ada kotak ketinggalan" ucap ku

"Oh ya? Dikembalikan atuh" ucap Gian

"ya makanya gue tanya lo yang pakai sebelumnya siapa, biar gue kembalikan" 

"Isinya apaan?" tanya Gian melihat kotak ditangan ku

"bentar gue buka" Aku membuka kotak itu. Ada almamater berwarna marun. Almamater sekolah ini dengan nametag bertuliskan "Reno Pandji Ihsan"
"Itu mah punya kak Pandji" ucap Gia

"Kak Pandji yang atlet karate itu?" tanya ku. Gian mengangguk
"Gian, lo aja yang kembalikan yah. Gue takut" 

"Lo ga bakal dikarate sama kak Pandji" ucap Gian

"Ya tapi, entar dikarate sama pacarnya. Haha" ucap ku

"Iya juga sih, ya udah entar gue temenin aja yah" Gian berjanji menemaniku. Aku menggangguk senang. 

Jam istirahat, Gian mengajak ku untuk mengembalikan almamater kak Pandji. Aku dan Gian menyusuri koridor. Berbelok ke kiri dan jalan ke kelas dua belas ipa tiga. Di bagian utara sekolah. 

"Kak, ada kak Pandji ga?" Gian bertanya pada salah satu kakak kelas
"Woy Pandji, dicariin nih" kakak itu memanggil kak Pandji. kak Pandji keluar dari kelasnya

"Ada apa?" Kak Pandji cukup tinggi. Badannya tegap dan atletis. Jujur saja, aku tidak pernah memperhatikan dengan baik kak Pandji. Baru kali ini melihatnya seccara dekat.

"Saya Gian kak, dari kelas sebelas ipa satu. Ini teman saya nemuin almamater kak Pandji" Gian menjelaskan sambil menunjuk kotak di tangan ku

"Ooh, makasih yah" kak Pandji mengambil kotak dari tangan ku

"Iya kak, itu aja kok. Saya sama teman saya pamit dulu yah" Gian pamit

"Oke, eh kamu namanya siapa?" kak Pandji menatap ku
"Sarah" jawab ku singkat. Kak Pandji hanya ber-oh ria.

"Yaudah kak, saya pamit yah" Gian dan aku meninggalkan kak Pandji yang masih diam ditempatnya. 

"Gian, gue kayaknya mau ke perpus deh. Sekarang jamkos kan?" tanya ku

"Oh yaudah deh, entar gue chat deh kalau ada guru yah". Aku hanya mengangguk dan berbalik arah ke perpustakaan. 


Perpustakaan di sekolah ini cukup luas dan lengkap. Novel-novel terbaru dengan cepat berada pada etalase perpustakaan ini. Itu alasan kenapa aku suka berdiam cukup lama di perpustakaan. Kalau kata Disa, perpustakaan itu tempat semedi kami. Disa sudah sejak tadi bersemdi di pepustakaan. Aku menyenggol pundak Disa yang sedang sibuk memilih buku.

"Woy" Disa menyapaku.

"Udah kembaliin almamaternya?" Disa berbisik karena di sini tidak boleh ribut. Perpustakaan ini cukup sepi tapi angan coba-coba ribut disini. Kalau tidak, petugasnya akan menyuruh kami keluar. Aku mengangguk.

"Gue ke kamar mandi dulu yah. kebelet" Disa keluar dari perpustakaan. Tinggal aku sendiri sambil memilih novel-novel yang akan ku pinjam.

"Sarah?" seseorang menyapa ku dari sebelah kiri ku. kepala ku reflek menoleh ke arah suara

"Ya?" jawab ku. Peristiwa yang cukup aneh. Itu kak Pandji

"Rekomendasikan novel yang bagus dong" ucap kak Pandji
"Bagus semua kok" jawab ku singkat masih sibuk memilih novel

"Eh" itu suara Disa. 

"hai" kak Pandji menyapa Disa

"oh, hai kak" Disa sedikit ragu menawab sapaan kak Pandji

"Oh yaudah, selamat bersenang-senang membaca buku" kak Pandji lalu meninggalkan kami

Aku dan Disa lalu saling tatap, bingung.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MiddlemistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang