--------------------------------------------------
Hilangnya harapan memiliki masa tersendiri dalam hidup. Oleh karena itu, membuat keterpurukan bermain lebih lama dalam hidupmu adalah hal yang tak krusial. Karena Tuhan tidak menciptakan dirimu demikian tanpa ada sebab yang jelas.
-------------------------------------------------Tubuhnya mendekam dalam pelukan gulita. Wajah pun terbenam di antara dengkul nan kaku. Kedua tangannya terus digesekkan sekuat tenaga untuk menghangatkan suhu tubuh yang meringis kedinginan. Tak lama kemudian, gelegar tangis akhirnya pecah memeriahkan ruang yang ia tempati.
“Ibu ....”
Akhirnya terlontar satu kata dari mulut mungilnya. Pandangan yang mulai kabur berhasil menjalar memenuhi satu indra. Perlahan, kesadarannya lenyap ditelan asa.
Dalam ruangan nan sendat itu, seorang remaja berusia delapan belas tahun mengembuskan napas terakhirnya. Tewas dalam kesendirian, juga dilingkupi kesengsaraan.
Di sudut lain, sosok lelaki yang berumur sama sedang berjalan santai dengan tatapan awas. Memasangkan kancing kemeja yang terbuka. Wajahnya mendongak menatap langit, menghitung bintang yang bertengger di sana. Tujuh. Ada tujuh bintang yang terekam oleh netranya. Detik selanjutnya, embusan angin menepuk kulitnya secara kasar.
Sebuah pertanyaan melintas di pikirannya. “Mungkin sebentar lagi akan hujan?” Ia mengira-ngira.
Kondisi sekitar minim pengunjung, menguntungkannya untuk berlari kencang. Setelah beberapa saat, tubuhnya bergeming di depan pintu sebuah rumah. Pada detik selanjutnya gumpalan awan langsung menumpahkan tangis deras tanpa aba-aba yang biasa dilakukan oleh sang gerimis.
Seraya menstabilkan kinerja jantung, sosok itu mulai mengetuk pintu di hadapannya. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyadarkan pemilik rumah bahwa seseorang menanti kehadirannya di depan pintu.
“Ah, elu.” Ia menyapa tanpa rasa bersalah. “Gimana, udah selesai?”
Sosok itu mengangguk. “Not bad. Bagus juga lo bisa ngerti selera gue.” Kakinya melangkah masuk tanpa permisi. “Udah buruan masuk, hujan.”
Sang pemilik rumah menutup pintu, lalu berjalan mengekori sosok yang kini duduk di sofa ruang tengah. “Jadi, gimana?”
“Apanya?” jawabnya tak tertarik.
“Apanya-apanya! Intinya lo puas gak?” Nada bicara sang pemilik rumah sedikit meninggi. “Gue susah loh, meyakinkan orang yang kayak dia.”
Sosok itu merebahkan seluruh tubuhnya pada sofa. “Like what I've been said before, not bad. Gue lumayan puas.”
“Fine ... jadi, lo tinggalin dia di sana?”
“Tentu.” Sosok itu menjawabnya secepat kilat. “Buat apa gue mempertahankan dia kalau udah gak berguna?”
“Meski dia temen lo?” Pertanyaan tersebut dibalas oleh tatapan dingin sosok itu. Sang pemilik rumah mengembuskan napas. “Iya, gue paham. Semoga aja dia bisa kayak mainan-mainan lo yang cukup mandiri buat pulang ke rumah dalam keadaan begitu.”
“Keadaan begitu? Maksud lo?”
“Ayolah ... lo harusnya sadar gimana cara lo memperlakukan mereka dengan kasar.”
“Oh, itu,” jawab sosok tersebut dengan ketertarikan yang mulai meredup. “Udah, ah. Gue mau mandi dulu, ya. Buat malem ini, jangan ganggu gue. Sepenting apa pun hal yang nanti mau lo sampein, sampein besok aja.”
Kemudian ia melenggang pergi menaiki anak tangga, hingga sang pemilik rumah melihatnya lenyap ditelan jarak. Pandangannya kembali merambat pada layar teve yang sedang menampilkan seorang pejabat negara dengan wajah lesu. Belum lama ini pejabat tersebut dirumorkan memiliki orientasi seksual yang berbeda. Menurut kabar, ia melakukan operasi kelamin untuk menjadi wanita seutuhnya. Entah itu fakta atau bukan, para rakyat langsung membuat demonstrasi untuk menurunkannya.
Sang pemilik rumah menekan sebuah tombol yang langsung meredupkan layar teve. “Dasar manusia-manusia munafik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
S for Slave [Sudah Terbit]
Mystery / Thriller[New Adult || 18+] Tidak selamanya menjadi benar itu benar, pun dengan menjelma sebagai salah. Kita hanyalah lakon dari garis takdir yang sudah Tuhan ciptakan. Semua yang dilakukan sudah diprediksi oleh yang Kuasa. Semua kebaikan. Semua kesalahan. S...