Bab 3

968 78 14
                                    

-------------------------------------------------------
Ada waktu di mana kepercayaan akan dipertaruhkan, yakni ketika berusaha menjadi seorang manusia.
-------------------------------------------------------

Waktu berjalan begitu cepat. Kini sudah pukul sepuluh malam, dan Azel harus berjalan kaki menuju indekosnya. Mungkin nasibnya akan berbeda bila tidak mendapat pengemudi sensitif seperti tadi, yang dengan tega menurunkannya karena tersesat, lalu memaki-maki untuk mendapat imbalan.

Masa alamat tujuan sendiri bisa salah? Kalau begini saya yang rugi, dong! Jarak dari tempat yang kamu tunjuk di aplikasi, letaknya lumayan jauh dengan tujuan kamu yang sebenarnya.

Azel menghela napas bila mengingat ucapan si pengemudi, tapi ia tak ingin terjerumus menyakiti pikiran lebih lanjut. Bagaimana juga, kesalahan pertama tercipta karena dirinya yang ceroboh.

***

Bila mengabaikan kondisi sekitar yang begitu riuh dan mengambil fokus pada apa yang Azel pikirkan, maka semua jawaban yang akan didapatkan hanyalah Alva. Lelaki yang kini berjalan di sampingnya dengan perut kekenyangan.

“Zel, nanti balik naik ojol lagi?”

“Hah?” Azel terkesiap, tak siap dengan pertanyaan yang menyelonong masuk di antara kebisuan secara tiba-tiba. “Iya,” jawabnya ragu.

Dengan sebelah lengan menggaruk punggung kepala, Alva berkata, “Maaf gua gak bisa anterin lo, ya.” Terkesan sedikit nada penyesalan di dalam kalimatnya.

“Santai kali,” serunya diikuti tawa. “Masih ada waktu lain kali, 'kan?”

Alva mengangguk.

“Oh, iya, lo ngapain ngikutin gua ke sini? Parkiran motor bukannya di sana?”

Lagi, Alva mengangguk.

“Jawab kali, jangan ngangguk mulu kayak orang apaan tau.”

“Ah ... perut gua kepenuhan, Zel ... selagi bisa menggunakan bahasa tubuh, buat apa menyia-nyiakan energi yang sudah terkikis karena menampung kapasitas yang berlebihan di sini?” Alva melontarkan kelakar sembari mengusap perutnya, seolah mengandung bayi mungil yang lucu.

Azel meneguk salivanya, tak percaya dengan apa yang dilakukan temannya itu. “Iya, iya. Ngerti banget gua sama anak komunikasi,” ledeknya.

“Ya udah, kalau gitu gua langsung ke parkiran aja, ya?” tanya Alva, lalu dijawab Azel melalui anggukan pelan. “Lo hati-hati di jalan.” Kemudian menepuk bahu temannya itu sebanyak dua kali.

“Ah ....” Azel terkesima. “Iya, lo juga hati-hati, ya.”

Alva tersenyum, lalu melenggang pergi meninggalkan Azel yang bergeming di dekat pintu keluar. Untuk beberapa saat, Azel melamun, tatapannya mengikuti ke mana arah Alva bepergian, hingga sang objek perhatian lenyap di antara ruko-ruko yang dipadati pengunjung.

Melanjutkan langkah yang sempat terputus, Azel meraih gawainya dari saku celana. Jemarinya terus mengusap-usap kotak bercahaya sampai dirinya sampai di halte pemberhentian bus.

Pikiran Azel melayang-layang meninggalkan raga, sampai tak mengacuhkan panggilan seseorang di hadapannya. “Mas Agazel?”

S for Slave [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang