Bab 2

1.1K 102 22
                                    

---------------------------------------------------
Ketika nanti hikmah mengambil takhta, maka kita akan mencintai segala hal yang kita benci saat ini.
---------------------------------------------------

Mengenakan kaus berwarna hitam, jin abu pekat, serta sepatu converse yang senada dengan celana, Azel sudah siap bertemu Alva. Ia baru sampai di Mal Karawaci lima menit yang lalu menggunakan kendaraan online.

Ia melangkahkan kakinya masuk dan berjalan-jalan sebentar. Kemarin, melalui jejaring sosial, Alva berkata, “Kita ketemuan di Mal Karawaci aja, gua langsung ke sana pas pulang kuliah. Kisaran jam satu atau setengah dua.” Dan sekarang jam baru menunjukkan angka dua belas.

Kakinya bergerak tiada henti, membawa Azel menyusuri lorong yang kanan dan kirinya dipenuhi oleh ruko-ruko. “Gak jauh beda sama BIP,” gumamnya.

Tak lama, gawai Azel bergetar. Ternyata Alva yang menghubungi, dengan segera ia mengusap ibu jari untuk menerima panggilan darinya.

Lo udah di tempat?

Belum sempurna Azel menempelkan gawainya di telinga, Alva sudah berbicara. Posisi Azel saat ini berada di tempat steik dekat area timezone, di mana banyak suara bising yang mengganggu fokus indra pendengarannya. Tak ingin menjelajah lebih jauh, ia pun memutuskan untuk beristirahat di sana. Setidaknya kakinya dapat beristirahat untuk sejenak.

“Hah? Lo ngomong apa? Gua gabisa denger!”

Lo udah di tempat?” Alva mengulangi perkataannya sedikit lebih keras. “Gua baru balik, nih! Kira-kira setengah jam baru sampai,” lanjutnya.

“Iya, gua udah di tempat. Baru saja sampai,” jawabnya. “Oke, kalau gitu gua tunggu lo di tempat ... bermain? Yang ada rollercoaster-nya.”

Tak ada jawaban dari Alva. Entah karena ia sengaja tidak menjawabnya, atau karena suara rollercoaster yang melintas berbaur dengan suara Azel ketika berbicara.

“Woi! Gua nunggu lu di —”

Iya, iya! Di timezone, 'kan? Ya udah, tunggu, ya!” Alva memotong perkataan Azel dan langsung memutus telepon sepihak.

Katanya, dalam waktu tiga puluh menit, Alva akan sampai. Azel tidak mungkin duduk selama itu di sana bila tak memesan apa pun. Terlebih lagi sedari tadi pelayan di sana terus-menerus mendatangi mejanya untuk menanyakan pesanan.

Buku menu yang sudah diterima sejak Azel sampai di restoran, baru dibuka sekarang ini. Matanya menjelajahi tiap-tiap kata yang terbentuk menjadi sebuah nama makanan kebarat-baratan. Butuh waktu tiga menit untuknya dalam menentukan pilihan. Dengan segera ia mengangkat sebelah tangan, bermaksud memanggil pelayan.

“Iya, Mas, ada yang dapat saya bantu?”

“Saya pesan barbeque steak buff dan avocado juice.” Azel menutup menu di hadapannya.

“Untuk barbeque steak buff tingkat kematangannya ingin seperti apa?” tanya pelayan tersebut. “Medium rare, medium, medium well, atau well done?”

Mendengar pertanyaan pelayan selanjutnya, Azel sedikit memutar otak. Biasanya, kalau makan steik seperti ini, Bunda yang selalu menjawab tiap-tiap pertanyaan pelayan. Ayah, Azel, dan Agas, hanya perlu memilih ingin steik yang mana untuk dimakan.

S for Slave [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang