Bab 4

792 72 2
                                    

-----------------------------------------------------
Menampik nafsu adalah salah satu upaya mematikan jati diri seorang manusia.
-----------------------------------------------------

Di bawah guyuran shower,  Azel tak dapat menghapus kejadian yang baru saja dialami. Ia terkejut bukan main. Hal tersebut dapat menghantuinya seumur hidup, mungkin. Dengan keteguhan yang selama ini dijunjung tinggi, ia tak mungkin melakukannya, terlebih lagi dengan seseorang yang baru saja ia jumpa.

Sudah lima belas menit lamanya ia termenung di sana. Kulit yang bosan akhirnya mengerutkan diri, sebagai pertanda Azel harus menyudahi kelakuannya saat ini.

Setelah memakai baju yang nyaman untuk tidur, dirinya bergegas naik ke atas kasur. Bukan untuk tidur. Bukan untuk memainkan gawai. Bukan untuk menyaksikan teve. Tapi untuk kembali menimang-nimang memorinya beberapa saat lalu.

“Ah, sialan!” Azel memaki dirinya sendiri.

Kenapa perkara datang menyerbunya hari ini? Belum selesai menemukan jawaban atas pemberontakan hatinya pada Alva, sudah muncul degup lain yang diperuntukkan untuk Resty. Namun, kali ini bukan hatinya yang jatuh, melainkan hasratnya yang meluap.

Azel tidak dapat berdiam diri. Ia harus melakukan sesuatu. Ya, sesuatu.

Melayangkan pikiran ke dunia fana, berupaya menjemput ide-ide yang mungkin dapat ditemukan sedang bermain di sana.

Dapat!

Setelah berhasil meraih remote teve dan menyalakannya, Azel sengaja membesarkan volume kotak tersebut. Ia menarik napas panjang, menahannya beberapa detik, lalu mengembuskannya dengan lega, seolah membuang semua kekhawatiran yang berkelumit di otaknya.

Azel menarik celananya ke bawah.

Bayang-bayang Resty sudah menghancurkan dinding yang menghalanginya untuk melakukan hal ini. Azel menyentuh dirinya penuh nafsu, mengibaratkan jika tangannya adalah jemari-jemari lentik milik Resty.

Tubuhnya dikendalikan gairah.

Otaknya dikuasai hasrat.

Nafsunya memegang kuasa.

Desahan Azel terdengar nyaring memenuhi seisi kamar, bersaing dengan suara teve yang juga menggema-gema. Terus membayangkan jikalau ia menerima permintaan Resty. Bila ditanya betapa nikmatnya menjelma sebuah dosa? Maka jawabannya tidak dapat diwakilkan, melainkan dirasakan secara langsung.

Pada suatu titik, ia membayangkan Alva. Di tengah-tengah kelakuan kotornya saat ini, kenapa harus Alva? Apa Resty saja tidak cukup baginya, sampai-sampai membiarkan wajah Alva ikut menyusup ke dalam hasratnya?

Persetan dengan itu semua! Ia bisa merasakan kalau sedikit lagi kegiatan ini akan berakhir. Memikirkan suatu hal dengan terlalu, hanya bisa menghilangkan rasa ingin yang teramat sangat.

Hingga akhirnya titik puncak berhasil diraih. Semua terasa lega, saat melepas apa yang sedari tadi menggebu untuk dikeluarkan. Karena perasaan apa pun yang manusia pendam, pasti butuh saat untuk diizinkan pergi meninggalkan. Sama seperti hasrat. Sama seperti yang Azel lakukan saat ini.

Waktu bergulir cepat. Semuanya kembali normal. Volume teve sudah dikecilkan, hawa nafsu sudah diselesaikan. Namun, Azel merasa sebongkah penyesalan yang datang terlambat kini menyelinap di antara hati.

Banyak pertanyaan menyerbu pikiran Azel.

Akankah Tuhan akan marah dengan apa yang baru saja ia lakukan?

Mengapa kenikmatan harus terhalang perintah-Nya?

Tapi, apa benar itu adalah  dosa?

Otaknya berputar, menalarkan tiap-tiap pertanyaan yang singgah, tapi menyiksa. Sampai akhirnya Azel menemukan sebuah jawaban. Jawaban yang mungkin dapat menyelesaikan keraguannya. Keraguan tiap-tiap individual yang selalu mempertanyakan perihal dosa.

Bila menarik benang merah antara dosa dengan takdir, maka manusia hanyalah makhluk yang menjalani perannya sebaik mungkin di dalam naskah yang sudah Tuhan persiapkan. Semua dosa yang kita lakukan sudah pernah diketahui oleh-Nya. Tuhan sudah menyiapkan dosa-dosa ke hidup kita, mungkin untuk menambahkan bumbu-bumbu konflik di dalam cerita.

Bila menyambungkan takdir dengan dosa, maka akan banyak perdebatan yang mempermasalahkan kepribadian tiap-tiap manusia yang melakukan dosa. Mereka yang menganggap dirinya suci, pasti akan berkata kalau dosa adalah hal yang melepaskan diri dari takdir. Mereka berasumsi kalau Tuhan tidak akan memberi dosa sebagai alur permainan dalam naskah-Nya.

Dua jawaban itu berhasil menginjak pemikiran yang lain. Bagaimana pun juga, Azel hanya mampu berpandangan, tanpa tahu jawaban yang otentik. Karena menyalahkan takdir, sama dengan menyalahkan Tuhan, dan membuatnya terperosok lebih dekat dengan kata sengsara.

S for Slave [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang