Rintik hujan turun menerpa bumi. Menembus kilau asap hitam dari cerobong tinggi bangunan-bangunan besar berpintu besar dengan ramainya hiruk pikuk bunyi mesin. Menimpa tubuh-tubuh lelah yang berusaha menghindar dari tetesannya. Terus turun, tak berhenti. Gemercik air yang terus menimpa jalanan beraspal layaknya air mata dari sang awan yang tengah menangis.
Hiruk pikuk ramainya sebuah rumah oleh tawa manusia di dalamnya membuat udara tak begitu dingin. Ditambah lagi dengan rumah-rumah dan tempat beratap lainnya yang digunakan untuk berteduh semakin membuat udara tak terasa dingin. Semua berkumpul, menciptakan kehangatan. Menutupi hawa dingin yang menusuk. Lain halnya dengannya.
Sebuah ayunan kayu usang yang masih kuat menggantung pada salah satu dahan pohon besar berayun-ayun pelan menemani seorang gadis cantik yang duduk di atasnya. Rambut hitam legam yang bergelombang tampak basah dan lurus tak bergelombang dengan wajah menengadah ke langit menatap awan hitam yang masih saja menumpahkan airnya menimpa wajah putih cantik gadis itu, menutupi air matanya yang telah mengalir bersama hujan. Sesekali kelopak matanya berkedip menikmati sentuhan tiap tetesan air yang menerpa matanya. Seakan ia tahu kapan air hujan akan menimpa mata hitam kelabunya. Tak berselang, sebuah lingkaran merah menghalangi matanya untuk menatap sang awan hitam.
"Apa yang kamu lakukan?" Sebuah suara berat khas laki-laki mengejutkan sang gadis sehingga ia menundukkan kepalanya. Dia tak menjawab laki-laki baik hati yang melindunginya dari rintik hujan.
"Siapa dan apa yang kamu lakukan di sini?" lanjut laki-laki itu. Merasa tak akan mendapat jawaban, ia menarik tangan gadis itu ke sebuah pondok kecil di dekat taman. Dilihatnya tubuh kecil gadis itu yang bergetar membuatnya menyelimuti tubuh gadis itu dengan jaket tebalnya, menyisakan kaus tipis putih polos yang menutupi tubuh atletisnya.
"Sudah tahu tubuhmu kedinginan, tapi kenapa kamu masih tetap di sana?" Kembali, ia utarakan pertanyaannya kepada gadis itu yang masih membisu. Mau tidak mau, ia mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Cantik, takjubnya. Di situlah ia mendengar rintihan kecil yang keluar dari bibir manis nan mungil gadis itu. Dengan kedua telapak tangannya yang besar, ia mengangkat wajah sang gadis dan melihat air mata yang turun deras secara tiba-tiba dari mata hitam kelabu yang menatapnya sayu.
"Ada apa? Maaf, mungkin aku membuatmu terganggu. Aku hanya tidak ingin kamu kedinginan dan sakit. Kasihan kamu. Po-pokoknya maafkan aku!" Lelaki itu memegang pundak gadis itu seraya menunduk dalam penuh penyesalan. Gemetar, gadis itu menjawab semua kalimat yang pernah dilontarkan lelaki itu padanya sebelum ini.
"Maaf ... kenapa ... kamu baik...? Pa–padahal ... kita tidak saling kenal. Tapi … kenapa?"
Tersenyum, lelaki itu menjawab, "kamu mengingatkanku dengan seseorang yang sangat kurindukan."
"Hahh, kupikir apa. Tapi … terima kasih. Ambil jaketmu." Ia melepas jaket tebal milik lelaki baik hati itu.
"Kamu bawa saja. Lagipula, rumahku dekat dari sini. Bawa payungku juga. Dah, aku pulang dulu. Sampai jumpa cantik!" Tanpa perkenalan, lelaki itu berbalik dan kembali ke rumahnya ––mungkin.
Sebuah senyum manis yang telah lama menghilang kembali terukir di bibir manis gadis itu. Dari saat itulah, ia percaya dengan garis takdir miliknya sendiri setelah sekian lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan - Oneshoot
Short StoryHujan tak selamanya buruk Hujan tak selamanya kelam Hujan tak selamanya rindu Hujan bisa menghadirkan senyuman Hujan bisa menghadirkan takdir Hujan bisa menghadirkan kenangan Tiap rintik hujan yang menerpa bumi, di situlah sebuah senyuman akan terpa...