Chapter 02 - Mencari

6 0 0
                                    

"Lo pernah nggak sih gue ceritain tentang suatu mimpi?"

Retha menatap Dama dengan bingung, temannya terlihat melamun atau lebih tepatnya memikirkan sesuatu di saat mereka sedang berjalan di tepi lapangan kampus.

"Pernah mungkin? Tapi Dam itu nggak penting, lo mending nggausah mikirin itu dulu."

"Itu penting buat gue." Balas Dama dengan datar, tatapannya pun masih seperti tadi.

Retha dengan cepat mencoba mengikuti langkah Dama,

"Nggak gitu, Dama! Lo mending kalo jalan yang sadar dulu, itu di depan ada pohon. Sampe lo nabrak, gue yang malu anjay."

Dama menghentikan jalannya seketika, menatap bergantian antara pohon yang masih berjarak sekitar dua setengah meter di depannya dan Retha. Ia pikir ada apa. Memang ya Retha ini bikin males dia aja!

"Lebih maluan mana sama gue yang kemaren nerima- au ahhh!" Dama tidak bisa melanjutkan kalimat itu. Mulutnya terlalu bersih untuk mengucapkan nama benda laknat kemarin. Semua adegan demi adegan masih terngiang di kepala cantik Dama.

"Ih Dam sori yakan mana gue tau bakal dateng kemarin, tau gitu kan gue tungguin di kamar lo."

"Pertama nih pertama! Gue malu, tetiba ada abang kurir paket so handsome ada di depan kamar gue, tapi kemudian? Dia liat gue nerima paket yang dia kirim, dia liat gue ngebuka itu dan dia liat dalemnya apa! Malu, bego! Kedua, apa faedahnya lo beli itu anjay? Haus belaian banget lo hah?" Sembur Dama dengan menggebu-gebu. Di dalam lubuk hati Dama terukir kalimat goodbye abang kurir paket so handsome..

"Itu bukan buat gue kali, Dam." Balas Retha dengan santai.

"Terus ngapain lo beli? Iseng ha? Ngeprank gue? Untung nggak gue bakar tu barang." Ucap Dama sewot. Ya gimana nggak sewot? Demi apapun, dia malu banget, dia sama sekali tidak berharap lagi bertemu dengan abang kurir itu. Biarpun dia ganteng sih, ya tapi, ya gimana ya..

"Eh jangan dong, gila."

"Situ yang gila malah ngatain gue, sialan."

"Itu buat hadiah pernikahan kakak gue, Dam. Lo nggak mau nitip hadiah? Lo belum kasih kan?" Tanya Retha, yang sebenarnya pada dua kalimat terakhir, ia mengalihkan pembicaraan.

Dama terbelalak, "astaga! Gue lupa dong—"

Tapi tak lama kemudian menatap Retha dengan tajam, "kenapa jadi melenceng ke sana?!"

Retha terkekeh melihat reaksi Dama barusan. "Yakan emang mau gue kasih ke kakak gue, Dam."

"Manusia bego mana yang ngasih dildo buat hadiah merid? Terus itu otong suami kakak lo mau dikemanain ha?!"

"Kurang keras kali Dam lo ngomong." Retha melolot panik. Nama baiknya astaga, bisa-bisanya bahas dildo di kampus.

Dama yang baru tersadar langsung menutup mulutnya, melihat sekeliling dan memastikan tidak ada seorang pun yang tertarik dengan seruannya tadi.

"Ih elo sih bikin sebel aja." Bisik Dama dengan marah kepada Retha.

"Udah udah tenang, nanti gue bantu biar lo bisa ketemu lagi sama si abang kurir ganteng." Retha mengedipkan sebelah matanya. "Lo daritadi rewel mulu, inti masalahnya si abang kurir kan? Tenang aja lah say—"

Dama menampar tangan Retha yang merangkul pundaknya, "lo kata olshop pake say say."

"Ada gue, Damaa. Selow." Retha tertawa puas seraya menarik Dama untuk cepat-cepat menuju kelas.

——

"Niel, Papa nggak ada ngikutin gue lagi kan?"

"2 bulan belakangan, sudah tidak mengikuti lagi, bos."

Destiny DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang