22. Tibalah Saatnya

1.4K 45 0
                                    

Baiklah hari ini adalah hari mereka harus pergi untuk melanjutkan hidupnya ke perguruan tinggi. Syla DKK hanya mengantarnya di setasiun kereta. Mereka bahkan tidak mengetahui kapan mereka daftar, kapan mereka tes, tahu-tahu sudah mau pergi saja. Tak ada yang mereka katakan selama di setasiun, bahkan saat mereka tak sengaja bertatapan.

Ok sedikit ada dramat. Mereka menunggu kereta datang, sekitar tiga puluh menitan lagi.

"Bisakah kamu fokus nanti saat belajar." Seru Syla. Sheva hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Ya mungkin nanti separuh ingatan mu ada aku. Mungkin." Kata Syla penuh penekanan dikata terakhir.

"Entahlah, mungkin nanti nilaiku yang turun bukan cintaku." Jawab Sheva yang langsung mendapati pelototan dari Syla.

"Jika ini perjuangan untuk kita kedepan, aku akan berusaha. Sekeras apapun itu." Ujar Sheva setelah hening beberapa saat.

Syla memilih diam dan mendengarkan apa yang dikatakan Sheva. Menurutnya ucapanya itu sebuah harapan yang akan dikabulkannya nanti saat dia benar-benar berhasil.

"Aku tahu, tapi setiap hari kedepannya kita tidak tahu kan?" Ujar Syla ragu.

"Tenang saja." Ujar Sheva mengusap puncak kepala Syla.

"Ranvi Mama harus kembali, maaf tidak mengantar sampai kamu pergi." Ujar Mama Ranvi yang mengundang tolehan kepala teman-temannya.

"Iya, hati-hati Ma." Jawab Ranvi kemudian menyalaminya, kemudian sang Mama menatap dalam kearah Clayna yang hanya dibalas senyuman sekaligus anggukan oleh Clayna.

"Mama suka padanya." Bisik Mama Ranvi yang masih bisa didengar oleh Clayna dan membuat Clayna melotot kaget. Jangankan Clayna, Ranvi saja sampai merinding mendengarnya. Belum apa-apa mereka sudah mendapat restu.

"Kenapa?" Tanya Ranvi pada Clayna yang menunduk.

"Ah, eh, nggak papa." Jawabnya gugup. Ranvi hanya memasang senyum tipis melihat reaksi Clayna.

Benar sajalah dia saja baru bertemu kali ini dengan Mama Ranvi. Oh ya, Papa Ranvi tidak ada karena harus bekerja. Mungkin itu jadi salah satu penyebab Ranvi menjadi orang yang dingin.

Beda lagi dengan Sheva. Orang tuanya memang sibuk tapi memiliki sifat yang ceria. Sedangkan Nino, jangan ditanya pastinya dia lebih sering bersenda gurau dengan orang tuanya. Sikapnya saja seperti itu. Angga, dia bukan berasal dari Jakarta. Jadi dia tinggal bersama bibinya.

BTW orang tua mereka memang hadir. Tapi hanya sekedar mengantar saja. Beberapa menit setelahnya mereka pulang.

"Benar-benar keretanya, sudah lewat tiga puluh menit juga." Gerutu Angga.

"Itu." Ujar Kinan menunjuk ke arah kereta api.

"Ah ok, ini. Aku kasih sekarang karena waktu masih longgar sebelum berdesak-desakan." Ujar Nino memberikan sebuah kotak kecil pada Arsha.

"Apaan nih?" Tanya Arsha.

"Buka aja nanti." Jawab Nino menyiapkan kopernya.

"Oh, ok." Kata Arsha memasukkan kotaknya kedalam saku hodienya.

Mereka mulai masuk setelah kerata berhenti. Kemudian disusul suara Arsha yang serak. Ketiga temannya sontak menatap Arsha. Dia menangis. Ya ampun kurasa dia akan melepas suaminya

Ok agak sedikit lebay. Kereta mulai berjalan mereka melambai kepada pacarnya, tentu. Sedikit berbeda dengan Arsha yang sambil berteriak berbicara tidak jelas. Dia menangis, benar-benar keluar air mata.

****

Setelah meninggalkan setasiun mereka memilih makan di restoran dekat setasiun. Dengan terus menenangkan Arsha yang mulai berkhayal tidak jelas.

LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang