• 1 •

6.7K 84 1
                                    

Gadis itu tidak sadar kapan musiknya berhenti. Ketika laki-laki itu berhenti bergerak, Ally ikut berhenti. Suara tepuk tangan dari sekitar mereka menyadarkan Ally dan dia langsung menoleh ke sekeliling ruangan itu. Ternyata sejak tadi dia dan Ben sedang menjadi tontonan gratis di dalam ballroom itu. Laki-laki di depannya hanya tersenyum sambil menuntun Ally mendekat ke arah ayah dan ibunya.

"Oh, kamu sudah bertemu Ben," ayahnya berucap ketika mereka tiba. "Tadi Papa baru aja mau saling memperkenalkan kalian, tapi sepertinya tidak usah lagi ya."

"Kami sudah mengenal, Pak Barata," ujar Ben dengan tenang di samping Ally. Gadis itu baru sadar kalau tangan Ben masih melingkar di belakang pinggangnya. Tangan itu meremas pinggang ramping Ally pelan. "Iya kan, Ally?"

Ally mengangguk kikuk. "Y-ya."

"Ben sudah lama mau ketemu sama kamu," balas ibunya yang berdiri di samping ayah Ally. "Sejak kami cerita kalau kamu ikut program akselerasi dan sekarang sudah lulus SMA, dia selalu penasaran. Apalagi Papa kamu, setiap hari selalu menjejalkan foto-foto kamu ke Ben-"

"Mama," ayahnya mendengus.

Ally mendongak menatap Ben. Meminta kejelasan atas apa yang ibunya katakan. Laki-laki itu menoleh pada Ally ketika merasa ditatap. Bibirnya tersenyum tipis. "Iya, itu memang benar."

"Tapi Papa mau kamu berumur tujuh belas tahun dulu sebelum bertemu dengan Ben," ayah Ally berdeham. "Yah, maksud Papa baik. Ben itu sudah dewasa dan kalau sampai kalian dekat, kami ingin kamu cukup umur untuk ini."

Lidah Ally terasa kelu. "Maksud Papa?" tanya gadis itu susah payah.

"Ben belum cerita?" ayah Ally melebarkan matanya.

Ally kembali mendongak ke arah Ben. Laki-laki itu tersenyum kikuk kemudian meremas pelan pinggang Ally. "Saya belum membicarakan ini dengan Ally."

"Soal apa?"

"Biar saya yang menjelaskan," Ben tersenyum pada ayah dan ibu Ally. "Saya pinjam Ally sebentar."

Ben menarik Ally menjauh dari kedua orang tuanya. Laki-laki itu bahkan mengajaknya keluar dari ruangan ballroom yang ramai. Ally mengerjap ketika melihat Ben membawanya ke arah taman bunga. Laki-laki itu mengusap punggung Ally yang terbuka dan gadis itu menahan napas.

"Dingin?" tanya Ben khawatir.

Ally buru-buru menggeleng. "Tidak kok."

Ben mengangguk. Dia menuntun Ally duduk di kursi kayu yang ada di tengah taman itu. Ally duduk dengan perasaan berdebar. Ben duduk di sampingnya dan hidung Ally bisa mencium wangi parfum Ben. Lembut dan maskulin. Ally mendesah pelan kemudian menunduk. Kenapa dia bisa terpesona begini pada sosok Ben?

"Jadi begini," Ben memulai di samping Ally. "Aku sudah mengenal Papa kamu sejak lima tahun lalu. Sejak aku masih magang, belum resmi menjadi dokter di rumah sakit. Dia rekan kerja yang menyenangkan, karena kebetulan kami sama-sama dokter spesialis. Dan sudah sejak tiga tahun lalu, Papa kamu sering bercerita tentang kamu."

Ally merapatkan bibirnya. "Lalu...?"

"Setahun lalu, Papa kamu bertanya apakah aku sudah ada pacar atau calon pasangan," Ben tersenyum kecil. "Dan aku bilang belum."

Ally mengerjap. "Jangan bilang kalau Papa-"

"Papa kamu hanya menawarkan," Ben menggeleng pelan. "Sejujurnya, sampai sebelum aku tiba di sini, aku masih belum yakin dengan keputusanku. Tapi setelah aku melihatmu secara langsung," mata Ben menatap Ally lurus. "Aku ingin mencobanya."

"Mencoba apa?" tanya Ally polos.

"Mengenalmu lebih dalam," mata hitam pekat Ben menelusuri wajah Ally. Seperti dia berusaha menebak apa yang Ally rasakan saat ini. "Boleh?"

My Little Love (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang