"Kenapa kamu selalu buat aku kesal?"
"Kenapa kamu selalu ngelarang aku untuk ngelakuin hal yang aku suka?"
"Kamu itu cuma pacar. Orang luar. Nggak bisa buat aku ceritain masalah-masalah khusus. Gitu aja kamu gak bisa ngerti?"
"Mau putus aja? Oke."
"Kamu memang gak pernah sadar kalo dirimu tuh seegois itu. No hard feeling, ya."
*
Stasiun Gambir, Februari 2019
Leon merutuki jalanan yang terlalu lancar, membuatnya sampai di stasiun 2,5 jam lebih cepat dari jadwal keberangkatan. Dia memang belum terbiasa dengan ritme jalanan ibukota. Menyengajakan buru-buru pergi setelah pulang kerja karena takut jalanan terlalu macet, bukan karena ia ingin sampai terlalu cepat di stasiun. Sebaliknya, ia benci jika harus berada terlalu lama di tempat yang padat dengan pertemuan dan perpisahan.
Masih lama sampai 20.45 WIB, jadwal keberangkatan kereta api yang akan membawanya ke Kota Gudeg. berhubung tenaganya sudah habis untuk duduk pegal di atas motor, Leon memilih naik ke lantai 2 stasiun dan berjalan masuk ke sebuah restoran cepat saji. Tempat duduk terpojok yang masih kosong, menjadi incarannya setelah selesai mengambil pesanan. Setelah duduk, bukannya langsung menyantap, Leon malah membuka kacamata dan menyenderkan kepala ke dinding. Memejamkan mata. Meremas kepala.
Kepalanya mengepul. Seperti akan meledak. Berinteraksi langsung dengan manusia memang bukan hal yang ia sukai untuk dilakukan. Ia pikir, seorang data analyst tidak perlu bersinggungan dengan rekan kerja sesering ia alami saat ini. Ingin mundur, namun pekerjaan ini baru saja ia dapatkan selama dua bulan--setelah sekian lama mencari.
Lagipula, ada banyak yang harus dipertimbangkan jika ia ingin mundur dari pekerjaannya.
"Mau sampai kapan kamu hidup tanpa tujuan, Nang?"
Diembuskannya napas kuat untuk menghilangkan sesak. Ditenggaknya ocha dingin, sebelum menyuapkan sepotong tempura ke mulut. Mata rabunnya yang sedang tidak berkacamata memandang sekeliling.
Buram. Tidak ada wajah yang terlihat jelas. Lekuk tubuh manusia di sekitarnya juga terlihat sedikit samar. Andai di antara pengunjung lain di restoran ini ada seseorang yang dikenal, Leon tak akan bisa mengenali. Ia butuh kacamata agar bisa melihat lebih jelas.
Deg!
Lelaki itu terpaku beberapa detik. Tergesa, dipasangnya kacamata agar dapat melihat lebih jelas. Namun, sosok yang membuat jantungnya mencelos berjalan semakin jauh, membuat Leon sulit memastikan wajahnya.
Nafsu makannya yang tak terlalu bagus, langsung menghilang. Semua karena alam bawah sadarnya yang masih saja menyimpan sebuah sosok; menolak untuk terlupa.
*
YOU ARE READING
Regret is My Greatest Companion
Любовные романыMenyakiti. Disakiti. Ego yang tinggi. Maaf yang tak pernah terucap. Berujung pada.... Penyesalan abadi.