1. Putus, lagi.

17 0 0
                                    


"Lo habis... NGAPAIN?!"

"Putus."

"Sama Jaz?!"

"Ho-oh. Nih, baca aja chat-nya."

Yang disodorin hape masih melongo tak percaya. Takjub sekaligus kesal.

"PARAH BANGET SIH, CLA!!!" Fiya tak sanggup lagi menahan kekesalannya. Untung hanya ada mereka di ruangan itu-karyawan lain sedang keluar makan siang. Hanya Fiya dan Claire yang masih menetap, itu pun karena berita mengejutkan dari Cla.

Yang diteriaki hanya tersenyum simpul. Fiya pun mencubit pipi chubby sahabatnya, gemas.

"Kasih tau gue, kali ini alasannya apa?"

"Gue sama Jaz emang gak cocok, Fi. Udah gak bisa dipaksain."

"Bulan depan kalian setahunan, kan?"

Cla mengerjap, bingung. "Apa hubungannya?" Pertanyaan yang berbuah cubitan gemas, lagi.

"Bukannya bulan depan, Jaz sama orang tuanya mau ke rumah lo?"

"Oh." Cla diam sesaat, seperti memang baru ingat bahwa pernah ada agenda itu dalam hidupnya. "Ya udah, berarti gak jadi."

Fiya tadinya ingin mencubit Cla lebih keras lagi, namun ditahan. Sebaliknya, gadis itu meluapkan kegemasannya pada tumpukan kertas tak berdosa di atas meja kerjanya.

"Nyokap lo?" tanya Fiya lagi, ketika Cla baru saja berdiri sambil memegang dompet. Singjat, Fiya dapat merasakan sahabatnya itu menghela nafas lelah.

"Ya belom tau. Nanti aja diurusin. Yuk, makan," ajaknya untuk mengakhiri sikap lebay Fiya.

"Lo gak bisa selamanya bersikap secuek ini, Cla." Kata Fiya singkat sebelum mendahului Cla berjalan menuju lift.

Lo gak ngerti, Fi, ungkap Cla, namun hanya dalam hati. Ia capek jika harus selalu menjelaskan alasannya secara gamblang. Di satu sisi, Cla paham kenapa Fiya bereaksi berlebihan pada putusnya hubungan Cla dan Jaz. Selama sebelas bulan berpacaran, mereka sudah putus nyambung tiga kali-empat ditambah yang sekarang. Empat kali putus, tidak akan menyambung kembali.

Udah ya, Jaz. Kita emang udah gak bisa dipaksain lagi.

Jaz bilang, Oke. Berarti, Jaz juga lelah. Lelah memaksakan hubungan dengan orang yang tak sejalan.

Bukannya Cla tidak pernah mencoba untuk bertahan. Bersabar. Mengerti.

Tapi, harus sampai kapan? Dirinya juga butuh untuk dimengerti.

*

Anehnya, pukul empat sore ini, ada pesan masuk ke whatsapp Cla. Dari Jaz.

Jaz: aku jemput, ya.

Cla: gak usah, makasih.

Jaz: please? kamu juga harus balik dulu ke apartemen kan, sebelum ke stasiun?

Cla menghela napas lelah. Jaz sudah terlalu mengenal dirinya, kebiasaannya. Cla memilih untuk tidak menjawab dan membereskan barang-barangnya, bersiap pulang.

"Duluan ya, Cla! Gue udah dijemput suami, nih," seru Fiya centil. Ya, sahabatnya itu sudah empat tahun menikah dan telah dikaruniai seorang putri yang cantik. Terkadang, Cla salut dengan keberanian Fiya untuk menikah di usia 23 tahun. Usia yang cukup muda, kalau menurut standar Cla, dengan dasar pengambilan keputusan yang cukup mudah pula: cinta.

Mujur bagi Fiya, suaminya tidak hanya memberi nafkah cinta semata, sehingga hidup mereka saat ini bisa dibilang berkecukupan.

Cla melihat refleksi dirinya di dinding lift. Kacamata bulat minus tiga yang selama empat tahun terakhir nyaris tak lepas membingkai mata sayu miliknya. Pulasan warna fuchsia di bibir memberi kesan cerah pada wajahnya. Secara fisik, Cla menilai dirinya masuk kategori not bad. Oke. Orang-orang di sekelilingnya pun beranggapan begitu. Yang menjadi pertanyaan mereka, kenapa nasib percintaan Cla selalu pupus?

Karena yang bermasalah bukan fisiknya, tapi batin.

Ketika pintu lift terbuka, moodnya yang tidak begitu baik semakin menjadi-jadi saat melihat sosok yang berdiri tak jauh di hadapannya-seperti sudah menunggu di depan lift untuk menyambut Cla.

"Aku udah bilang gak usah, kan," keluh gadis itu pelan, namun tetap dapat didengar oleh lawan bicaranya.

"Kita harus bicara, Cla." Jaz berkata tegas. Lelaki itu meraih tangan sang mantan, yang tidak melawan karena energinya habis untuk merasa kesal.

Perjalanan dari kantor menuju apartemen Cla dilalui tanpa ada percakapan di antara keduanya. Selama di apartemen pun, Jaz hanya memberi makan Cio-kucing ras sphynx milik Cla-sementara Cla mandi dan menyiapkan barang bawaan.

"Cio aku bawa, ya," tawar Jaz, saat Cla keluar dari kamar, siap untuk berangkat. "Kamu di Jogja sampe Selasa, kasian kalo Cio sendirian. Gak ada yang kasih makan."

"Makasih."

Hanya itu yang dapat Cla ucapkan. Mau bagaimana lagi. Menitipkan Cio ke Jaz adalah salah satu kebiasaan kalau-kalau Cla harus dinas lama ke luar kota. Cla mengingatkan dirinya untuk mulai mencari tempat penitipan hewan yang baru, selain rumah Jaz.

Ketika sampai di stasiun, Jaz mengarahkan mobilnya ke tempat parkir. "Kita ngobrol sambil makan. Kereta kamu juga masih lama, kan." Begitu kilahnya. Cla melihat jam. Masih 2,5 jam lagi, memang. Setelah turun dari mobil dan membuka sedikit jendela agar ada cukup udara untuk Cio, keduanya masuk ke stasiun.

Gambir pada Jumat malam sungguh ramai. Akhir minggu, tentu saja. Yang jenuh dengan ibu kota akan lari ke kota yang lebih tenang. Perantau akan pulang ke kampung halamannya yang dapat dijangkau kereta.

Setelah mencetak tiket, keduanya berjalan mencari tempat makan. Sudah sampai lantai dua, semua tempat sepertinya ramai. Akhirnya mereka kembali ke lantai pertama, memutuskan untuk memesan burger dan kembali ke mobil. Cla sebenarnya tidak suka. Ia ingin menikmati suasana stasiun dan segala keramaiannya-hal yang bertolak belakang dengan Jaz.

"Jadi, apa yang masih harus dibicarakan?" tanya gadis itu to the point. Jaz, yang baru saja menggigit burgernya, sesaat menegang. Pada raut mukanya, jelas Cla bisa melihat gurat sedih. Cla memilih untuk mengabaikan ekspresi itu.

"Mama nanyain kamu." Baru saja Jaz memulai, Cla sudah malas mendengarnya. Ya, karena Mama Jaz adalah salah satu sumber pertengkaran mereka selama ini. Salah satu alasan mereka selalu putus. "Rencana bulan depan."

"Kamu udah cerita kan, ke Mama, kalo kita udah putus?"

Mata hazel itu frustrasi saat menjawab, "Mama anggap, kita bakal segera baikan, seperti yang sudah-sudah. Se-..." Kalimatnya terhenti di situ. Menggantung, sengaja ditelan sebelum tertumpah. Bukannya Cla GR, tapi dia tahu apa yang baru saja Jaz tahan.

"Tolong kasih pengertian ke Mama kamu, ya, Jaz. Maaf, kita memang gak bisa lanjut." Cla mengurut kepalanya, mencegah emosinya tertumpah. "Dan kita udah sepakat dengan hal itu."

"Kalau masalahnya karena kamu harus resign setelah-"

"Kamu tau masalahnya bukan cuma itu, Jazmie." Tegas gadis itu memotong. "Perlu, aku jabarin lagi apa yang semalam kita obrolin?"

"Cla, please-"

Namun gadis itu terus bicara. Kesal yang ditahan akhirnya meledak.

"Aku harus resign. Aku harus pinter masak. Aku harus langsung pulang begitu selesai kerja. Aku harus membatasi pergaulan sama teman-temanku. Parahnya, itu semua permintaan Mama kamu." Tersengal, Cla menenggak coke sebelum lanjut bicara. "Kamu selama ini ngapain? Mungkin kalo itu prinsip dari kamu, kita bisa coba kompromi dengan kepala dingin. Tapi itu semua keinginan Mama kamu, dan kamu gak pernah sekalipun mencoba dengar dari sisi aku, mencoba dengar maunya aku. Kamu gak ada prinsip sama sekali, Jaz!"

Ada jeda cukup lama setelah Cla selesai menuangkan sesak di dada. Sementar Jaz melunglai tanpa pembelaan. Semua yang dikatakan Cla itu benar: lelaki tak berprinsip.

"Aku selama ini berjuang sendirian, Jaz...." Cla berkata dengan suara pelan, bergetar. "Aku tau kamu sayang sama aku. But, enough is enough. Aku udah gak kuat lagi."

"I'm so... sorry."

Hanya itu yang akhirnya dapat terucap dari bibir Jaz. Dan menit-menit selanjutnya berlalu dalam diam yang menyesakkan.

Regret is My Greatest CompanionWhere stories live. Discover now