Run!

49 7 4
                                    

"Aargh!"

Egar terkesiap. Dia terbangun dari tidurnya. Teriakan Ghaffi benar-benar mengejutkannya. Egar lalu menghampiri Ghaffi dan membekap mulutnya. Egar mengawasi sekelilingnya. Aman.

Egar melepaskan tangannya. "Kenapa lo teriak tadi?"

"Gue mimpi buruk, Gar." Ghaffi menjawab seraya mengatur napasnya kembali. Wajahnya pucat dan berkeringat.

"Lo hampir aja ngebunuh kita, Ghaf!" Egar menyentak.

Ghaffi merasa bersalah, kepalanya tertunduk. Tak ada kata apa pun yang mampu keluar dari mulutnya kecuali: "Maafin gue, Gar."

Egar bergeming. Mereka terdiam.

Hari sudah gelap. Cerahnya sinar matahari telah digantikan oleh kegelapan yang mengelilingi mereka, rasa hangat telah digantikan oleh rasa dingin yang menusuk. Mereka bahkan tidak tahu sudah berapa lama mereka berada di hutan ini. Mereka tersesat, tersembunyi di antara pepohonan rindang yang menjadi naungan baru bagi mereka.

Mereka rasa, inilah akhir dari hidup mereka. Akhir yang benar-benar melelahkan dan menyakitkan. Mereka tak pernah membayangkan diri mereka akan menjadi bagian dari sesuatu yang tak pernah mereka alami sebelumnya. Semuanya terjadi begitu cepat hingga tak sempat mereka sadari terlebih dahulu. Apa pun yang baru saja menimpa mereka, itu terasa seperti mimpi. Mimpi terburuk yang pernah mereka alami.

Bahkan, mereka tidak lagi yakin apakah semua ini nyata atau khayalan semata. Mereka kira, mereka akan terbangun dan kembali menjalani hidup mereka yang menyenangkan—atau setidaknya, begitulah rasanya jika dibandingkan dengan hidup mereka sekarang. Namun, mereka akhirnya menyadari bahwa itu tidak akan pernah terjadi.

Mereka tidak tahu berapa lama mereka akan berada dalam situasi seperi ini atau berapa lama mereka akan hidup. Yang mereka tahu, mereka harus bersembunyi dan berusaha sekuat mungkin untuk tak menimbulkan suara—karena hanya itulah yang bisa mereka lakukan sekarang. Setidaknya, sampai fajar datang.

"Sst, diem," Egar berbisik. "gue denger sesuatu."

Dedaunan kering bergemeresik. Suara langkah terdengar mendekat.

"S-suara… apa itu, Gar?" tanya Ghaffi. Suaranya gemetar. Dia menggenggam erat tangan Egar.

"Dia di sini."

Egar dan Ghaffi merapatkan tubuh mereka ke dinding tanah di belakang mereka. Menutup rapat mulut masing-masing. Jantung mereka berpacu dengan sangat cepat.

Saat Egar merasa bahwa kondisi sudah aman, Egar keluar dari lubang persembunyiannya untuk memeriksa. Aman. 'Dia' sudah pergi.

"Dia udah pergi. Kita aman sekarang," ucap Egar pada Ghaffi setelah dia kembali.

Ghaffi mengembuskan napas lega.

"Tapi kita harus keluar dari sini," kata Egar. "kita harus bergerak."

Ghaffi menggeleng. "Enggak, Gar. Sampe kapan pun, gue tetep mau di sini. Gue enggak mau ngambil risiko!"

Egar tidak menggubris. "Terserah lo. Kalo lo tetep mau di sini dan mati pasrah, silakan. Tapi gue enggak mau. Seenggaknya, gue harus ngasih sedikit perlawanan."

Egar membereskan barang-barangnya, mengambil apa pun yang mungkin bisa dia gunakan lalu merangkak naik. Sama sekali tidak memedulikan Ghaffi.

"Gar, tunggu gue. Gue ikut!" Ghaffi menyusul.

Egar sudah menduga hal itu akan terjadi. Pengalaman berteman dengan Ghaffi selama bertahun-tahun benar-benar membuatnya tahu apa yang harus dilakukannya.

The VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang