⸙ Prolog ⸙

24 7 9
                                    

Aku bisa merasakannya. Tekanan yang tak ada duanya, yang selalu membuat tubuhku bergetar. Tepuk tangan itu, sorakan itu, semuanya merasuk ke dalam diriku. Tekanan yang kuat itu, seakan memanggilku tuk segera menaklukkannya. Benar, aku harus segera menaklukkannya. Di panggung megah ini, dengan kedua tangan ini, dengan musikku, aku akan segera menaklukkan semua perasaan yang mengganggu ini.

"Peserta nomor lima, silakan naik ke atas panggung,"

Akhirnya, waktuku sudah tiba. Aku tidak peduli, aku menikmati permainanku atau tidak, yang terpenting aku harus bermain bagus dan mendapat score sempurna untuk menghilangkan tekanan ini. Karena aku adalah seorang pianis.

Aku berjalan dengan anggun di atas panggung yang hanya di sorot oleh beberapa lampu itu. Membuat gaun merah temaram panjangku menari-nari seiring perjalananku menuju piano hitam yang telah menunggu tuk kumainkan. Sebelumnya, aku memberikan sebuah salam hormat kepada para hadirin yang telah hadir, begitu juga kepada para juri yang telah menatapku dengan sorot mata yang mengerikan. Tanpa mempedulikan mereka, aku duduk menghadap piano hitam itu. Memandangnya dengan penuh konsentrasi, mengambil napas panjang, dan dengan sekali hentakan, jemariku mulai menari-nari dengan lincah di atas tuts piano itu. Musik klasik yang tengah kumainkan adalah, Chopin, Waltz No. 10 in B minor op 69 No. 2.

Aku bisa mendengar decak kagum mereka dari atas sini. Itu sudah biasa kudengar, sebagai seorang pianis muda berbakat yang selalu menjadi badai dalam ajang perlombaan. Seperti yang tengah aku lakukan sekarang ini. Aku bisa merasakan, perasaan takut yang mulai menghujani para kontestan yang lain. Mereka pantas merasakannya. Mereka pantas merasa ketakutan. Takutlah, dan terus menjadi batu loncatanku!

Aku tidak peduli, jika kalian kalah dan benci kepadaku yang selalu saja meraih kemenangan. Sungguh, aku tak peduli! Yang terpenting bagiku adalah karierku sebagai seorang pianis akan melejit setinggi langit, dan dunia akan melihat keberadaanku!

Aku tidak peduli jika hati ini tidak menikmati setiap alunan musik ini. Yang terpenting, adalah karierku sebagai pianis.

Tidak terasa, aku sudah mencapai akhir dari permainanku. Seperti yang biasa terjadi, semua penonton dan juga juri bertepuk tangan dengan meriah kepadaku. Begitu meriah, membuat telingaku berdenging. Aku tidak menyukainya. Dengan segera, aku memberi hormat, dan berlenggang pergi dari panggung megah itu.



Hai semuanya...!

Ini adalah karya pertama saya, La Campanella. Jdulnya kuambil dari karya Franz Liszt.

Karena aku masih baru, jadi tolong bantuannya ya, untuk kritik dan sarannya.

Aku tunggu vote dan comment-nya ya....

Arigatou.

La CampanellaWhere stories live. Discover now