(17)
Pelajaran Kimia tidak pernah terasa begitu membosankan bagi seorang Hwang Hyunjin, entah sudah kali ke berapa anak laki-laki itu kedapatan menguap dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menatap dahan pohon yang tidak diketahui namanya, ujung rantingnya mulai menyentuh kaca jendela dan menimbulkan suara gesekan tiap kali angin berhembus. Perasaan merinding tiba-tiba muncul membuat Hyunjin menghela napas panjang dan menegakkan punggungnya. Berusaha meredam rasa sakit imajiner yang memenuhi pikirannya.
Kesalahan ketika anak laki-laki itu justru kemudian mengarahkan pandangan pada sosok yang berada dua bangku di sebelah kanannya. Han Jisung, tengah sibuk mencatat apa yang ada di papan tulis dan memperhatikan seluruh penjelasan guru mereka. Seolah terpanggil, anak laki-laki Han itu kemudian menoleh ke arah Hyunjin, melafalkan ‘Ada apa?’ tanpa suara, buru-buru menggelengkan kepala tanda bahwa dia tidak bermaksud apa-apa.
Pikirannya masih penuh, masih sekusut benang dan Hyunjin tidak tahu apakah dia masih cukup punya waktu untuk mengurai setiap helai benang yang kusut sebelum bunga-bunga di dalam alat pernapasannya itu merenggut hidupnya.
Mungkin semua benar-benar sudah terlambat.
.
.
“Hyunjin!” Dari ambang pintu kelas, Hyunjin bisa melihat sosok Hwang Yeji yang tengah berdiri sambil melambaikan tangan meminta atensi. Seolah tengah kebingungan apakah harus masuk dan menghampiri Hyunjin yang masih sibuk membereskan buku pelajarannya atau memutuskan untuk menunggu di depan kelas. Apapun itu Hyunjin memilih untuk sedikit mempercepat kegiatannya dan segera beranjak dari bangku.
“Maaf lama.” Dia sengaja mengulur waktu. “Jisung bilang dia tidak bisa ikut karena Jurnalistik ada rapat mendadak.” Berusaha membuat topik pembicaraan ringan tidak pernah sesulit ini bagi seorang Hwang Hyunjin.
“Oh, aku memang.. tidak mengajak Jisung.” Yeji tersenyum tipis pada akhir kalimatnya sebelum kemudian memutar tubuhnya dan mulai berjalan, Hyunjin menyeimbangkan langkah kakinya. “Bakal repot kalau ada Jisung.”
Entah apa yang dimaksud dengan kata repot yang dideskripsikan oleh anak perempuan di sebelahnya itu, tapi yang jelas pangkal tenggorokannya kembali tergelitik. Dengan sangat susah payah anak laki-laki Hwang itu mencoba untuk menahan batuknya dengan berdehem beberapa kali.
Payah.
Hwang Hyunjin payah.
Gerak-geriknya itu jelas tak luput dari perhatian Yeji, beberapa kali anak perempuan itu mengernyitkan dahi heran tapi tetap memilih untuk menutup mulutnya rapat. Hyunjin pun tidak berusaha memulai sebuah percakapan di antara keduanya sampai mereka berada di toko buku yang dituju. Dia tidak ingat apakah guru mereka menyuruh untuk membeli buku latihan lain atau apakah ada tugas dimana mereka diharuskan untuk membuat resensi dari sebuah novel. Entah dia yang tidak ingat atau memang mendadak kotak memori di dalam otaknya rusak mendadak.
“Mau beli buku apa?” Anak laki-laki Hwang itu bertanya hati-hati, seolah salah melontarkan kata dari mulutnya bisa membuat hidupnya berada di ambang hidup dan matiㅡdan memang benar begitu kenyataan yang dihadapi oleh Hyunjin. Kedua matanya sibuk mengamati punggung anak perempuan yang berada tidak jauh di depannya itu.
Astaga.
“Seungmin menyuruhku untuk membaca salah satu buku karya Higashino..”
“Keigo Higashino?”
“Benar!”
Kim Seungmin, ya?
Hyunjin mengangguk paham, siapa yang tak mengenal sosok Kim Seungmin yang selalu menjadi tolak ukur bagaimana seharusnya kelakuan pelajar di Korea Selatan itu. Ada sebuah dinding tinggi dan kokoh yang menjadi pembatas antara Hwang Hyunjin dan Kim Seungmin dalam beberapa aspek, meski tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya Hyunjin tak pernah punya masalah dengan nilai-nilai sekolah, tapi Seungmin jelas berada di luar jangkauannya.
YOU ARE READING
what if;
Fanfictiontentang bagaimana jika yang diyakini hwang hyunjin tidak akan mungkin terjadi.