VOTE & COMMENT JUSEYO
❣
"Jaemin, bantu ibu mengantar pakaian ini ke rumah keluarga Huang, nak!" seruan sang ibu terdengar dari arah ruang jahit di rumah minimalisnya, Jaemin yang kala itu tengah membereskan bukunya menghentikan kegiatannya lalu berjalan ke sumber suara.
"Baik bu." jawab Jaemin begitu ia sudah berada di samping ibunya.
Mengambil bungkusan berisi pakaian yang baru selesai ibunya jahit dan memasukannya ke kantung plastik.
"Aku berangkat bu." ucap Jaemin, mengecup pipi kiri ibunya dan berjalan keluar rumah.
Mengeluarkan sepeda dan mulai mengayuhnya ke arah komplek perumahan elit di sebrang gang rumahnya.
Na Jaemin itu bocah 12 tahun biasa yang hidup berdua bersama sang ibu. Ia baru lulus sekolah dasar beberapa bulan yang lalu dengan nilai yang cukup memuaskan, berharap setidaknya nilai ujian akhir yang baik dapat memberinya bantuan beasiswa agar ibunya tak perlu kerepotan begadang menerima banyak pesanan jahitan hanya untuk membeli peralatan sekolahnya.
Jaemin tak pernah tahu siapa ayahnya, ibunya tak pernah mau membicarakan. Yang ia tahu kata ibu, ayahnya adalah orang yang hebat, pintar dan luar biasa. Satu-satunya kalimat yang ibunya katakan ketika Jaemin bertanya tentang ayahnya adalah
"Ayahmu akan kembali. Percayalah. Sampai saat itu datang, tolong jangan banyak bertanya. Cukup kau selalu disamping ibu."
Jaemin tak berani bertanya tentang ayahnya lagi setelah itu. Karena ia tahu, ketika Jaemin tertidur selepas bertanya ibunya menangis sepanjang malam.
Jaemin sudah menstandarkan sepedanya di pinggir jalan ketika ia sudah berdiri di depan gerbang besar berwarna coklat kayu, lalu memencet bel.
"Siapa disana?" sahut suara seorang perempuan dari interkom.
"Halo nyonya, ini Na Jaemin. Mengantar pakaian yang sudah dijahit oleh ibuku, Dong Sicheng." balas Jaemin seraya mendekatkan mulutnya pada mic yang tersedia.
Tak lama Jaemin mendegar kunci gerbang dibuka dari dalam, menampakkan seorang wanita paruh baya berpakaian hitam putih layaknya pelayan.
"Ini uangnya nak." ucap sang pelayan seraya menyodorkan amplop putih kepada Jaemin.
Jaemin menerimanya, lalu memberikan plastik yang sedari tadi ia genggam dan mengucapkan terimakasih, membungkuk sekilas lalu beranjak menaiki sepedanya hendak pulang sebelum sebuah taksi berhenti di depan rumah keluarga Huang.
Pintu mobil terbuka menampakkan sang tuan muda Huang bersama ibunya.
Jaemin membungkuk ketika nyonya Huang mendekat.
"Ah Jaemin. Ibumu sudah menyelesaikan bajuku?" tanya nyonya Huang lembut, Jaemin mengangguk sopan.
"Iya nyonya, aku sudah memberikannya pada pelayan anda." balas Jaemin.
"Sicheng betul-betul mendidikmu dengan baik Jaemin-ah, kau sangat sopan bahkan kudengar kau peringkat pertama disekolahmu." lanjut nyonya Huang.
Jaemin hanya tersenyum manis.
"Terimakasih atas pujianya nyonya." balas Jaemin lagi seadanya.
"Seandainya Renjun bisa sesopan kau nak." keluh nyonya Huang.
"Eomma! Jangan samakan aku dengan dia." sergah Renjun yang daritadi memperhatikan interaksi ibunya dengan Jaemin.
Jaemin terdiam, ia terbiasa menerima cercaan dari Renjun. Lagipula ini belum seberapa, di sekolah Jaemin selalu dirundung Renjun. Menyebalkan, tapi Jaemin tak bisa melawan jadi ia hanya terus menghindar yang anehnya selalu berhasil. Jaemin harus akui meski ia kehilangan ayahnya, Jaemin memiliki keberuntungan yang bagus.
"Nyonya saya harus pergi sekarang, ibu pasti menunggu." ucap Jaemin mengacuhkan ucapan Renjun barusan.
Nyonya Huang hanya mengangguk mengerti.
"Permisi nyonya Huang, Renjun-ssi." pamit Jaemin lalu mengayuh sepedanya ke jalan raya untuk kembali pulang.
❣
Jaemin tiba dirumah setelah mengayuh sepedanya selama 15 menit.
Saat memasuki gerbang rumahnya, sang ibu berteriak meminta diambilkan surat yang ada di kotak pos.
Jaemin membalikkan badannya untuk mengambil berbagai macam surat.
Tagihan listrik, tagihan air, surat dari kakek neneknya di China, beberapa brosur iklan yang Jaemin buang begitu saja di tempat sampah, dan satu surat aneh yang menarik perhatian Jaemin sebuah amplop berwarna cokelat dengan segel lilin berwarna merah tanpa kartu pos dan yang lebih mengherankan lagi surat itu ditujukan... Untuknya.
Jaemin mengernyit bingung, ia tak pernah punya teman disekolah, karena Renjun anak paling berpengaruh di sekolah selalu merundungnya, ia juga merasa tak punya teman pena apalagi penggemar rahasia.
Jaemin melangkahkan kakinya ke arah ruang jahit sang ibu, meletakkan semua surat di meja kerja ibunya lalu berkata.
"Ibu, ini surat dari siapa? Bentuknya aneh sekali sih. Tapi surat itu ditujukkan untukku, padahal aku tak pernah punya teman pena."
Sicheng mengalihkan perhatiannya dari kain yang sedang ia ukur, menatap surat yang Jaemin bicarakan.
Menghela nafas pelan.
"Sudah kuduga hari saat surat itu datang akan tiba." batin Shiceng.
"Kita bicarakan nanti malam, Jaemin-ah." ucap Sicheng pada Jaemin yang kini menatapnya penasaran.
Jaemin mengangguk paham, lalu kembali kekamarnya untuk lanjut membereskan buku yang sudah tak terpakai di kamarnya.
Di ruang jahit, Sicheng hanya menatap surat beramplop cokelat itu kosong.
"Yuta hyung, aku tidak ingin Jaemin pergi. Tapi kau pasti ingin jika Jaemin kita pergi kesana kan? Mengikuti jejakmu." lirih Sicheng sendu.
❣
Halo! Wkwkwk
Aku bosen update Persephone, jadi aku publish work ini deh wkwkw
Biar kalian punya selingan juga sih
Tapi keknya, gak seru ya ceritanya? Mainstream banget gitu kan.
Next or Delete nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hocus - Focus
Fanfiction[ON HOLD] Nomin Hogwarts AU! ! BxB, Homophobic? Stay away! ^^ - Start, 23/12/18 - HIGHEST RANK #3 Nomin [12/03/2019]