"Gue bakal terima perjodohan itu."
"Excuse me, what? Lo serius? Ngapain pake tiba-tiba langsung ngomong blak-blakan gini sih, bangsat?!" hardik Lea dengan segenap tenaganya. Ia memukul Baram mundur dengan kedua kepalan tangannya sekuat yang ia bisa, namun sia-sia saja. Kekuatan bertahan Baram jauh lebih besar dibanding usaha Lea.
"Ya seperti yang udah gue bilang, gue bakal terima perjodohan itu. Sekarang, mendingan lo siap-siap menghadapi kenyataan bahwa lo juga bakalan famous karena bakalan nikah sama gue," ujar Baram dengan santai seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sori aja, Ram. Gue udah terkenal dari lahir tanpa butuh bantuan lo. Anyway, kita gak bakalan nikah. Gue bakal cari cara buat batalin ini, secepatnya. Titik," timpal Lea dengan nada tinggi. Ia berbalik kemudian menambahkan, "Dan jangan pernah seret gue dari kelas lagi." Lalu, ia bergegas menuju kelasnya tanpa berbalik lagi.
Seperti yang sudah Lea terka, sesampainya ia di ambang pintu, Yella dan Fani sudah menghadang jalannya, berusaha menanyakannya tentang apa yang terjadi.
"Tadi Baram apain lo, Le? Cerita dong, cerita dong!!"
"Pasti tadi Baram mbahas perjodohan lo yang kuno itu, ya kan?"
Perkiraan Fani yang tepat membuat Lea segera membulatkan matanya dan menjawab, "Kok lo tahu?"
Kedua temannya menatap satu sama lain dan menyengir dengan tampang tanpa dosa. "Tadi Fani ikutin lo, sih, Le. Udah gue coba tahan gegara nguping kan gak baik tuh ya, tapi ya yang namanya Fani mana bisa ditahan lagi, lah, Le. Hehe," jelas Yella panjang lebar.
"Well, lo bener. Tapi, kita perlu ngomong lebih lengkapnya ntar di rumah gue, habis pulang sekolah. Oke?" pinta Lea dengan wajah memelas.
"Kok lo jadi lemah gini, sih, Le? Kan biasanya lo yang paling tegas nan lantang. Ya, gak, Fan?" sahut Yella dengan heran.
"Iya, sih. Palingan udah kenak cupidnya Baram ini, mah," jawab Fani, disusul dengan pelototan mata dari Yella.
"Ah, malah ribut nih pada! Jadi, kaga?" tanya Lea, kembali memastikan. "Rumah gue, habis pulang sekolah, oke?"
"Iya, iya!" seru Yella dan Fani pada waktu yang sama.
---
"Maksud lo?"
"You know exactly what I mean, Le. Gue cuma mau meringatin lo kalo Baram tuh pengen mainin lo aja, oke?"
Lea membuang napasnya gusar dan mengalihkan pandangannya, kemudian kembali berujar, "Seriously, Guntur? Gue gak punya urusan lagi sama lo, kita udah putus, dan I'm not gonna be the same, oke?"
Ia segera melangkahkan kakinya menjauh, namun ia teringat sesuatu dan kembali berbalik. "Gimana lo tahu kalau gue dijodohin?"
Mendengar itu, Guntur segera menyeringai dan menarik tangan Lea menjauh dari depan rumahnya. Ia membukakan pintu mobilnya untuk Lea dengan ekspresi yang sengaja dimanis-maniskan, seolah dia masih menjadi Lea yang lama. Lea yang masih bertingkah laku manis dengan kenangan lama yang kini telah terkubur dalam.
Melihat hal itu, Lea hanya dapat mencibir dan menggerutu. "Nggak usah sok peduli, bangsat! Kalau lo sampai gak nepatin janji buat cerita gimana lo bisa tahu tentang perjodohan itu, gue gak bakal sudi nemuin lo lagi!"
---
"Woy ini si anying kemana, sih? Kan dia yang nyuruh kita ke sini. Malah udah disamperin, eh, ngilang tuh orang," gerutu Yella dengan sebal.
"Kan kalo kaya gini gue gabakal bisa benerin rambut gue jadi syantik lagi. Kan anjir jadinya," timpal Fani seraya mengibaskan rambutnya gemas karena ia sudah berkeringat. "Mana panas, lagi," tambahnya.
"Eh, itu Lea apa bukan, sih?" tanya Yella, tiba-tiba menunjuk ke arah Lea dan seorang laki-laki yang membukakan pintu mobil untuknya. "Tuh anak lagi belajar jadi cabe murahan lagi apa gimana sih? Terus gitu temennya pada dilupain. Gue bacok tuh anak waktu pulang nanti. Liat aja."
"I... It.... Itu... Guntur," kata Fani terbata-bata.
"Lo kenal, Fan? Guntur? Guntur siapa?" tanya Yella heran seraya menatap Fani dengan saksama.
"Mantan gue."
---
"Lo bawa gue ke mana, sih? Perasaan udah setengah jam, anjir. Entar temen gue marah kan gak lucu," ujar Lea dengan gusar seraya memandangi jalan dengan bingung. Bagaimana tidak, sudah setengah jam lebih ia berada di dalam mobil Guntur dan melaju tanpa tahu ke mana tujuan sebenarnya.
"Udah lah, ngikut aja," jawab Guntur dengan tenang, membuat Lea bertambah gusar.
Rasa penasaran dan kekhawatirannya kian memuncak, mengingat memori kelam yang pernah ia lalui bersama Guntur, walaupun mungkin Guntur tak ingat.
Ruangan gelap. Bayang keremangan. Nada-nada piano samar-samar terdengar dari arah loteng, diiringi dengan bekapan tangan seseorang yang membuat semuanya kian menggelap.
Memori itu baru saja melintas layaknya bayangan kegelapan, membuat Lea tiba-tiba tersentak dan terbatuk.
"Lo kenapa, Le? Butuh minum? Nih, minum aja air mineral gue," kata Guntur sembari menyodorkan air mineralnya kepada Lea sambil menyetir.
"Udah gue bilangin gak usah sok peduli lagi, Tur. Otak lo tuh gak jalan apa budeg apa gimana, sih? Sebel, gue," tolak Lea mentah-mentah, kemudian terbatuk kembali.
Melihat itu, Guntur terkekeh. "Udah, lah, Le. Gak usah sok gengsi. Lagian entar lo napa-napa. Nih, ambil aja," katanya, masih sambil menyodorkan air mineral yang belum Lea terima.
Lea melirik sinis pada Guntur dan berujar, "Bodo." Ia tetap mengabaikan sodoran air mineral dari Guntur dan memilih untuk melipat kedua tangannya lalu menatap jendela.
Perlahan, mobil Guntur memelan, dan berhenti di depan sebuah villa asing yang belum pernah Lea datangi. Mereka berdua keluar dan bersisian memasuki villa tersebut. Perasaan tidak enak segera datang menghampiri Lea tanpa aba-aba. Pikirannya penuh dengan hal-hal negatif yang tidak pasti.
Mengapa? Jelas karena villa ini kosong. Bagaimana jika Guntur memiliki niat buruk padanya? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang tidak terduga, persis seperti bayangan yang tadi menghantui Lea?
"Tur, jelasin dulu deh. Lo mau ngapain, sih? Mana villa ini kosong, lagi," kata Lea dengan pandangan curiga.
"Hey, c'mon, Le! Calm down. Gue gak bakal ngapa-ngapain lo, oke? Gue cuma mau nunjukin lo sesuatu, udah, itu doang," jawab Guntur.
"Katanya lo mau jelasin ke gue penyebab lo tahu soal perjodohan gue. Gimana, sih?"
Guntur menghela napasnya perlahan, kemudian menarik tangan Lea. Sambil berjalan, ia berujar, "Soal itu bakal gue jelasin habis yang satu ini. Janji."
Guntur menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu yang berada di bagian belakang villa. Di depan pintu, tertera tulisan "DO NOT ENTER." Guntur mengulurkan tangannya pada kenop pintu perlahan, dan dengan ragu-ragu, ia memutar kenop pintu tersebut.
Entah mengapa, perasaan Lea tidak menunjukkan tanda-tanda positif atau semacamnya. Ia rasa, sesuatu yang buruk akan terjadi, karena jelas-jelas bukan keputusan bijaksana untuk memasuki ruangan tersebut.
---
a/n
Haii!! Pakabar gaess!!??
Rosa's back! So, buat chap ini sih kaya ada sedikit misteri ringannya gitu, kaya inget sama memori masa lalunya, tapi ga jelas itu memori apa. Tunggu aja kelanjutannya! See ya :*
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Just Get Married
Teen Fiction• hiatus for a while • Apa jadinya jika seorang Baram, most wanted SMA Kencana dijodohkan oleh orang tuanya untuk menikah bersama dengan Lea, cewe cabe yang terkenal di sekolahnya? -- "Kalau gue ya iyain aja, orang ganteng elah. Buat apa disia-siai...