Namanya, Hardi

32 2 0
                                    

Siapa sangka kalau saya akan berjumpa kembali dengannya sekarang, di tengah-tengah banyak pria yang membawa pentungan dan senjata tajam sambil meneriakkan kata-kata makian. Saya dan dia berdiri berhadapan, antara mata dan mata. Saya memandangnya sedih sambil bertanya lirih, "mengapa?". Suara saya hanya sayup terdengar, tenggelam dalam gelombang amarah yang saya tidak mengerti. Dia menatap saya, matanya sayu, wajahnya garang.

"Pergi sekarang," bisiknya.

Saya menggeleng. "Tidak, mereka teman-teman saya."

"Pergi aku bilang. Selagi kamu bisa. Selagi aku bisa," dia mendorong saya, matanya berkaca-kaca. Dua kali dan saya terjungkal.

Dada saya sakit, tapi hati saya lebih sakit.

*

Sekitar tujuh tahun lalu saya berjumpa dia. Sama-sama mahasiswa baru kami waktu itu. Hari ketiga perploncoan mahasiswa baru kami sama-sama dihukum. Bawang yang kami bawa tidak tepat lima centimeter lingkarnya dan kuning telur mata sapi yang kami buat tidak tepat di tengah. Saat itulah pertama saya mendengar dia bersuara, cowok gondrong dengan wajah selalu cemberut. Seakan-akan tidak satupun hal di dunia ini yang bisa membuatnya tersenyum.

"Hardi," dia bilang sambil menjulurkan tangannya.

"Seno," saya sambut uluran tangannya sambil tersenyum.

"Hoi, dihukum malah kenalan. Senyum-senyum lagi. Pacaran yah?!" seorang senior berkelakar disambut tawa yang lainnya.

Saya tersipu dan dia merengut. Sesaat setelahnya, memandang saya saja dia tidak mau. Arogan.

Satu minggu sesudahnya, kami kembali dipertemukan. Bukan karena kehendak kami. Tapi dosen ingin kami sekelas berkelompok dua-dua. Hanya dia dan saya saja yang belum mempunyai kelompok.

"Kita mau pilih tema yang mana?" saya bertanya.

"Terserah," dia bilang sambil membuang muka. Tanaman bergerombol tak terawat di samping ruang kelas kami lebih menarik perhatiannya dari pada, saya.

"Kalau kamu gak suka satu kelompok sama saya, saya juga gak akan maksa," saya berkata kesal.

Dia kemudian mengambil tasnya, buku-bukunya kemudian pergi. Tugas pertama saya sebagai seorang mahasiswa gagal. Dosen bilang kalau kecerdasan intrapersonal kami berdua tidak terlalu baik karena kami menolak bekerja sama. Sambil menepuk-nepuk pundak saya untuk membesarkan hati, dia berkata "belajar berteman yah."

Tentu saja saya marah. Saya gagal dengan tugas pertama bukan salah saya. Itu salah dia.

"Salah apa saya sama kamu?" saya tanya padanya beberapa hari sesudahnya. Saya harus tinggal di perpustakaan fakultas mengerjakan tugas individu sebagai ganti tugas kelompok yang tidak bisa saya kerjakan. Tentu saja bersama-sama dengan dia.

Dia hanya diam. Melirik saya pun dia tidak lakukan.

"Masalahmu apa sih?" saya bertanya tidak sabar.

Dia memandangi saya. Tatapannya aneh. Hujan lebat saat itu. perpustakaan sudah sepi. Hanya beberapa pegawai perpustakaan saja yang masih tinggal, dengan kami berdua. Dia kemudian berdiri, tangannya terkepal. Tangan saya juga terkepal. Saya bisa membela diri kalau diperlukan.

Dia kemudian renggut kerah baju saya. Dia paksa saya menuju satu sisi rak buku yang yang tidak terlihat oleh petugas perpustakaan, kemudian dia mencium saya. Liar, seperti orang lapar, seperti sebuah dahaga yang telah lama terpendam. Saya terkejut, semua darah yang saya punya seakan-akan mengalir ke kepala, jantung saya berdetak cepat. Rasanya aneh, hangat di tengah-tengah hujan dan gedung perpustakaan yang lembab. Sepasang kupu-kupu manri-nari dalam perut saya. Tapi kemudian saya tonjok mukanya ketika dia mulai menggigit bibir saya. Dia berdarah, saya juga berdarah. Saat itulah, untuk pertama kalinya sejak saya berjumpa dengan Hardi, saya melihatnya tersenyum. Sesuatu, di dunia ini telah membuatnya tersenyum. Saya? Atau ciuman itu?

Saya kemudian pulang dengan perasaan aneh. Ada perasaan bersalah yang saya ingin ulangi. Seperti memakan buah yang bahkan tidak boleh saya sentuh. Saya tidak mau memikirkannya, tidak boleh memikirkannya. Seumur hidup saya telah diajar bahwa wanitalah pasangan pria, bukannya laki-laki lain. Saya takut, saya merasa kotor.

Lalu jauh di pojok hati saya, meletup-letup sesuatu yang mati-matian saya coba bunuh. Bayangannya, bayangannya mencium saya, dan senyumnya yang indah. Saya berbisik lirih sebelum tidur malam itu, "Hardi ..." 

Sebelum Menutup MataWhere stories live. Discover now