"Gue mau jadi penulis!"
"Ya, terus?"
"Tapi ... bingung."
Kalian dengar? Jaenudin sahabatku, mau jadi penulis . Sepertinya serius. Bukan main-main seperti kemarin, waktu dia bilang, "Gue mau jadi pemain bola". Baru tiga hari ikut latihan tim-nya Pak Bowo, langsung menyerah. "Latihannya kagak seru. Cuman lari, nendang bola, kagak ada tandingnya". Begitu katanya. Namun, sepertinya kali ini serius. Buktinya, seminggu ini dia di kamar terus, waktu aku tanya, "Lagi nulis novel," timpalnya.
Agak kaget juga, tiba-tiba malam ini dia muncul di depan kamarku, terus ngomong ngelantur mirip orang mabuk. Mau jadi penulis, tapi bingung. Walaupun wataknya memang kadang seperti itu, tetap saja bikin terkejut.
"Lo mau jadi penulis?!" tanyaku singkat. Lebih tepat disebut menegaskan.
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan kepala. Itupun tak benar-benar jelas. Tubuhnya sedang membujur di ranjangku, memaksaku harus memilih duduk di kursi belajar. Aku tidak bisa melihat gerak kepalanya dengan baik dari titikku sekarang.
"Terus, bingung?" runtunku.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk saja, sudah mirip boneka kucing di toko Koh Peng.
"Terus, apa yang bikin lo bingung?"
Aku melihat badannya bergerak, berpindah posisi dari berbaring ke posisi duduk. Tampaknya Jaenudin mau memberikan jawaban yang panjang. Mungkin malah mau bercerita. Sepertinya aku harus siapkan kuping, dan kesabaran.
"Gini .... "
Nah, sepertinya memang mau bercerita, ancang-ancangnya sudah terdengar. Ruat mukannya jadi serius. Aku diam saja. Memberikan keheningan yang ia perlukan.
"Gue udah nulis banyak El, enam bab. Gue nulis di Wattpad. Lo tahu kan Wattpad? Sehari satu bab, udah enam hari, jadi enam bab. Benarkan hitungan gue? Iyalah, enam, kan satu hari satu .... "
"Hey, focus!" potongku seketika. Alur Si Jaenudin melenceng kemana-mana.
Jaenudin jadi kaget. "Haaa ... apa? Oh ya. Terus, udah enam bab, gue bingung ngelanjutinnya. Fans gue udah 1K soalnya. Nah, gue mau minta bantuan lo, biar gue bisa lanjutin cerita gue," lanjutnya kemudian.
"Mau jadi penulis? Baca buku aja jarang," tuduhku frotal. Memang begitu kenyataannya kok. Aku tidak bohong. Aku lebih sering melihat Jaenudin asyik dengan stik PS atau Androidnya ketimbang benda yang disebut buku. Sekalinya melihat Si Jae membaca buku, sampulnya si kucing robot. Kurang pas untuk usianya.
"Hey, ngehek! Gue mau jadi pe-nu-lis. Bukan pembaca!" serunya keras. Matanya menatap tajam ke arahku. "Penulis itu orang yang nulis, pembaca yang baca. Jangan lo tuker-tuker."
Jaenudin mirip kerbau. Suara dengusnya yang keluar setelah kalimatnya tadi, mirip sekali dengan binatang itu. Agak sedikit dramatis, karena kemudian dia membanting tubuhnya di ranjang. Kembali ke posisi awalnya. Mungkin efek jadi penulis kali ya? Suka drama. Btw, Jaenudin sudah seperti mahasiswa salah masuk jurusan gara-gara jawabanku tadi. Aku tebak, otaknya sekarang pasti berfikir, "Ngapain tanya si El?!"
"Bangun!" perintahku. Namun aku tak menunggunya menuruti perintah itu, kulanjutkan saja kata-kataku. "Menulis tanpa membaca itu omong kosong, Jae. Buktinya sekarang. Lo bingung mau nulis lanjutan cerita lo. Itu karena motor di otak lo sudah kehabisan solar. Referensi dari buku yang bakal mengalir di kepala lo, kalau lo rajin baca."
Jaenudin beringsut pelan. Mulai duduk dengan benar. Kata-kataku sepertinya cukup pedas. Dalam teori komunkasi, inilah yang dinamakan komunikasi yang efektif. Karena telah berhasil menjadikan pesan, berubah sebagai pemahaman kognitif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Postingan Kepenulisan di Grup KWI
Non-FictionIni adalah kumpulan postingan saya mengenai kepenulisan di Komunitas Wattpad Indonesia. Mari berdiskusi.