Riset dalam menulis sebuah novel penting dilakukan. Apalagi untuk tema yang tidak kita kuasai. Tujuannya agar novel kita cukup logis dan seolah nyata. Karena jika novel kita logis, alias bisa diterima akal sehat, maka kemungkinan bisa memiliki ikatan dengan pembaca. Mereka bisa ikut merasakan apa yang kita coba tampilkan.
Riset biasanya dibutuhkan untuk beberapa hal, seperti, membuat setting tempat. Jika kita ingin menulis cerita dengan latar belakang kota London, tentu kita harus bisa menggambarkan secara baik kondisi kota tersebut. Kita tidak bisa hanya menerka-nerka. Fatal akibatnya. Cara risetnya banyak, bisa pergi kesana kalau mampu, lewat buku, lewat internet atau bertanya pada orang yang pernah pergi kesana.
Pada kondisi tertentu, riset juga diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan karakter. Seperti biasa, saya akan berikan contoh kasus. Kalian tahu novel mbak Crowdstroia berjudul Nona Teh dan Tuan Kopi, Parak? Novel itu dikritisi gara-gara adegan dalam salah satu plot, dimana kakak dari karakter utama sedang dihakimi seluruh keluarga karena ketahuan selingkuh. Adegan itu dibantai habis-habisan, karena dianggap tidak logis. Menghakimi suami selingkuh, tanpa menghadirkan istri yang bersangkutan. Pengkritisi itu langsung menyebutnya "ketahuan banget jika penulisnya belum pernah menikah". Pada saat itu Troia masih muda, masih 17 tahun waktu menulis novel tersebut. Kalau tidak salah.
Akan tetapi, novel Troia itu juga dianggap sebagai salah satu novel dengan riset yang sangat niat (baca ; baik). Troia benar-benar melakukan riset. Dan bukan hanya riset kepustakaan saja. Hasil riset tersebut disajikan dengan baik di dalam novel. Dibawa sepanjang novel, dijadikan latar pembentuk karakter tokoh utama wanita. Tidak sekedar nempel. Begitu istilahnya.
Saya gambarkan dengan lebih mudah. Misal sebuah cerita percintaan dengan latar belakang perusahaan di indonesia. Si cowok dipecat dari perusahaan. Kira-kira adegannya bakal seperti apa? Terima surat pemecatan? Atau diusir begitu saja, disuruh jangan masuk lagi besok, begitu? Kalau begitu modelnya, berarti ketahuan kurang riset. Rata-rata, perusahaan di Indonesia jarang memecat karyawannya dengan model seperti itu. Tapi, mereka akan disuruh membuat surat pengunduran diri. Tujuannya, untuk mengurangi jumlah pesangon yang akan diberikan oleh perusahaan. Karena, jika langsung memecat, akan beresiko bagi perusahaan jika karyawan tersebut melakukan gugatan lewat depnaker. Statistik menunjukkan karyawan lebih sering menang.
Atau CEO yang pintar dan cerdas. Kalian sering main CEO-CEOan kan. Riset bisa sangat berguna ketika kita sedang menampilakan kecerdasan si CEO. Misalnya, Tokoh CEO sedang menyelesaikan masalah dalam perusahaan. Bagaimana cara dia meningkatkan efisiensi kerja karyawannya. CEO tersebut membuat aturan mengenai standar performa karyawan, yang tanggung jawab penilaiannya ada di kepala cabang atau kepala deparment fungsional masing-masing, terus diaudit tiap bulan. Nah kalau kita tidak pernah tahu tentang Key Performa Indikator, kita tidak akan bisa menulis hal seperti itu.
Riset untuk setting waktu. Jika kita mencoba membuat cerita dengan setting waktu tahun 60an, maka perlu riset. Malah, harus banyak riset. Lokasi wilayah pada zaman itu. Jangan sampai menceritakan tentang Mall besar di kota bla bla bla, padahal belum dibangun. Kondisi sosial kemasyarkatan, istilah yang mereka pakai pada masa itu. Jangan masukkan istilah bucin atau nolep ,ya. Istilah itu, tahun 90an juga belum ada. Terus, Isu-isu penting jaman itu dan sebagainya.
Nah, menurut saya, begitulah seharusnya sebuah hasil riset itu ditampilkan dalam cerita. Jangan sampai, hasil riset kita cuma disebut, "Tempelan".
Terima kasih,
Salam Literasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Postingan Kepenulisan di Grup KWI
Non-FictionIni adalah kumpulan postingan saya mengenai kepenulisan di Komunitas Wattpad Indonesia. Mari berdiskusi.