Mengerjakan pekerjaan rumah tangga orang lain, tidak pernah tercatat dalam daftar cita-citaku. Namun atas kehendak Tuhan, hari ini aku berada dalam sebuah rumah besar dengan furniture yang megah. Taman yang luas dengan pepohonan rindang yang tumbuh disekitar.
Meski statusku hanya sebagai Asisten Rumah Tangga, Aku beruntung dapat merasakan sensasi berendam dalam sebuah bath tub. Duduk di atas sofa yang sangat mahal sambil menikmati secangkir teh. Menonton televisi sembari mencicipi cemilan yang sengaja aku buat. Ah, betapa mewahnya hidupku saat ini.
Semua berkat majikanku yang sangat baik. Aku bahkan tidak diperbolehkan memanggilnya dengan sebutan Nona, Nyonya atau sebutan apapun yang membuat kami terlihat seperti majikan dan pembantu. Dia hanya mengizinkanku memanggil namanya, Lia. Untuk mendapatkan kesan sopan aku membubuhi sebutan Neng saat menyapanya, Neng Lia.
Usia kami memang tidak begitu jauh, dia 1 tahun lebih muda dariku. Tetapi di usianya yang ke 19 ini, dia sudah mulai menata hidup sebagai seorang ibu. Kandungannya sudah mencapai 7 bulan. Aku bahkan membersamainya sejak dia mengalami masa-masa krisis di awal kehamilan.
Lia memberiku fasilitas terbaik yang dia miliki dari suaminya. Semuanya benar-benar sempurna. Dia membiarkan aku menikmati semua yang ada di rumah ini kecuali kamarnya, dan ruang kerja suaminya.
Tapi, kehidupan mewah yang kudapatkan saat ini tetap saja tidak membuatku menjadi terhormat di mata masyarakat. Bahkan Abah selalu menganggapku sebagai orang hina. Padahal penghasilan yang kudapatkan lumayan besar dibandingkan profesi-profesi lain yang ada kota ini. Abah memang selalu menentang pekerjaanku. Padahal Abah sendiri tidak berpenghasilan.
"Pembantu tetap saja pembantu. Sebesar apapun gajinya, tetap pembantu. Kamu lihat saja, para TKI Indonesia yang berbondong-bondong bekerja di luar negeri demi mendapat penghasilan yang besar. Apa ada di antara mereka yang hidup terhormat?"
"Tidak, bahkan mereka hidup dalam siksaan, tekanan, cacian, dan makian. Kenapa kamu sangat bangga bisa mendapatkan uang dari upahmu sebagai kacung sialan itu?" maki Abah.
Sungguh aku tidak pernah bercita-cita menjadi pembantu. Tapi ini adalah jalan yang harus aku tempuh. Tidak ada pilihan lain. Bahkan makian Abah pun tidak bisa membuat takdirku berubah.
***
Beberapa tahun yang lalu Aku adalah siswa SMA yang memiliki cita-cita besar untuk menjadi seorang Guru. Aku pikir Guru adalah profesi yang sangat mulia. Aku bisa beribadah dengan berbagi ilmu dengan orang lain, sekaligus menghasilkan uang.
Aku memang tidak terlahir dari keluarga kaya, tapi Abah sangat optimis dapat membiayai pendidikanku dari hasil panen kami. Abah memiliki 3 petak sawah dan kebun yang lumayan luas. Kehidupan kami bergantung pada hasil panen. Ini cukup.
Aku, Ibu, dan adik sangat mencintai Abah. Kami kagum dengan kegigihan Abah dalam mencari nafkah. Abah juga selalu mendorong pendidikan kami. Abah berharap banyak pada anak-anaknya. Dulu Abah adalah kepala keluarga yang sangat aku kagumi.
Namun semuanya berubah seketika. Sekarang aku membecinya. Aku benci dengan kebiasaan merokoknya yang membuat kondisi kami memburuk.
Emak menderita TB paru aktif. Meski Pemerintah memberikan banyak bantuan dalam pengobatan, bukan berarti kami terbebas dari kesulitan. Karena selama Emak berobat, Abah tidak bisa bekerja. Dia harus menjaganya. Sementara kami harus tetap makan, biaya pendidikan kami harus tetap dibayar. Harga sewa mobil untuk pulang-pergi ke rumah sakit juga tidak murah. Belum lagi biaya hidup kami saat Emak dirawat di rumah sakit.
Abah terpaksa menjual sawah dan ladang. Kami bukan hanya kehilangan sumber penghasilan, tapi juga kehilangan semangat hidup karena Emak ternyata tidak bisa diselamatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Angin Berembus
General Fiction"Alkautsar, Emak yang memberimu nama itu. Artinya nikmat yang banyak. Kamu tahu, setiap hari Allah memberikan kita nikmat yang tidak terhingga. Dengan nama itu, Emak berharap kamu akan mengingatkan Emak dan Abah atas nikmat-nikmat yang Allah beri se...