Kebencian Pada Abah

9 3 0
                                    

"Teh, Alam minta maat karena merepotkan Teteh! Tapi uang yang Teteh kirim sudah habis. Stok beras di rumah juga sudah menipis.”

SMS dari Alam membuatku terkejut. Rasanya baru satu minggu aku memberikan uang bulanan.

“Lho, bukannya Teteh sudah mengirimkan uang seminggu yang lalu? Kenapa cepat habis?” jawabku.

“TidakTeh. Terakhir Teteh ngirim uang 3 bulan yang lalu. Ini masih nyisa 30 ribu lagi. Oya, Alam juga belum membayar uang LKS sama kas slama 2 bulan karena uangnya tidak akan cukup,” ungkapnya.

“Apa?!”

Aku berusaha tenang. Setiap bulan tepatnya setiap tanggal 4 aku selalu mengirim uang gaji untuknya. Aku ingat betul tidak pernah telat sekalipun dalam mengirimkannnya.

Segera kuhubungi Mang Dayat, orang yang selalu kutitipi uang. Untuk memastikan uangnya sudah disampaikan atau belum. Dan ternyata dia sudah menyampaikannya pada Abah.

“Coba tanya ke Abah, De, kata Mang Dayat, amplopnya diterima sama Abah.” SMS ku pada Alam.

“Baiklah. Teh,” balasnya.

Beberapa menit kemudian, Alam mengabariku bahwa ada amplop di kamar Abah yang isinya hanya surat yang titimangsanya memang tanggal 2 bulan ini, tetapi tidak ada uangnya.

Ya, Tuhan! Kenapa Abah tega melakukan ini?

“Ya sudah, nanti Teteh kirim uang lagi.”

Percakapan berakhir. Tapi kebencianku pada Abah semakin menjadi. Bahkan dia tega membiarkan Alam kekurangan hanya demi memenuhi kebiasaan buruknya.

Pasti uang itu digunakan untuk membeli benda biadab itu, keterlaluan.

***

Hari ini aku meminta izin pulang. Aku harus mendapatkan penjelasan dari Abah. Kebencianku pada Abah, membuat aku tidak bisa lagi berlaku sopan di hadapannya. Abah bukan lagi Ayah yang bertanggungjawab. Sekarang Abah hanyalah laki-laki tua yang tidak berguna.

Dugaanku tidaklah melesat. Saat aku sampai di depan rumah, kudapati Abah tengah asyik menghisapnya. Benda itu, yang telah membuat keluargaku hancur.

Aku tidak pernah bisa menahan emosi saat melihat pemandangan menjijikan selama 3 tahun ini. Kuhampiri Abah dengan tatapan yang menusuk.

Marah. Tentu saja aku marah.

“Kenapa Abah melakukan ini?!” bentakku.

Abah hanya diam dengan senyum sinisnya. Dia benar-benar tidak peduli dengan kemarahanku.

“Abah, Alka sedang bicara, kenapa tidak dijawab?”

Emosiku benar-benar tidak bisa ditahan. Apalagi melihat Abah yang mencabut rokok dari mulutnya dengan begitu santai. Kemudian menghembuskan asapnya padaku.

“Alka, kenapa kamu bersikap tidak sopan pada Abah?” tanyanya.

“Apa perlu Alka bersikap sopan pada laki-laki tua yang menghabiskan hidupnya untuk rokok?” ucapku sinis.

“Dulu kamu sangat manis, Nak, seperti Emakmu. Tapi sekarang kamu berubah.”

Abah kembali menghisap rokok. Pandangannya masih terarah ke depan.

“Siapa yang berubah lebih dulu, Abah, bukan? Abah yang telah mengubah kehidupanku,” sangkalku.

Abah tersenyum kecut. Dia tidak memperdulikan semua ucapanku.

“Baiklah, lupakan masalah itu. Sekarang Alka mau tanya, kemana uang yang Alka kirimkan minggu lagu?”

Aku mulai berusaha tenang.

“Heh, sekarang kamu mulai perhitungan dengan Abahmu, Alka,” katanya.

“Itu uang untuk Alam, bukan untuk Abah. Jadi lebih baik Abah kembalikan uang itu,” tuntutku.

“Ambil saja di kamar!” sahutnya.

Aku bergegas ke kamar Abah yang berantakan puntung rokok dan bau asap rokok membuat ruangan ini sangat penat. Pandanganku langsung tertuju pada deretan rokok yang masih tebungkus rapi di dalam lemari. Jadi selama ini Abah menggunakan uangku untuk mengoleksi benda-benda ini?

Kuambil bungkusan rokok itu kemudian kulempar sekenanya. Aku benar-benar tidak menyangka. Abah melakukan ini semua. Aku bekerja dan memberikan seluruh gajiku hanya untuk benda-benda terkutuk ini.

“Alka, hentikan!” Abah berusaha mencegah amukanku.

“Abah yang harus berhenti dari semua kegilaan ini. Abah harusnya menghargai semua usahaku. Aku dan Alam masih memiliki masa depan. Berhenti menghancurkan kehidupan kami.”

“Alka, asal kamu tahu, sejak Emakmu meninggal. Tidak ada yang bisa menghargai Abah. Kamu dan Adikmu, bahkan Tuhan tidak menghargai usaha Abah. Emakmu sudah pergi begitu juga anak-anakku. Hanya ini yang masih setia pada Abah,” tunjuknya pada bungkusan rokok yang sudah berceceran di lantai.

“Alka akan membawa Alam pergi.”

Aku meninggalkan Abah sendiri di kamar.

***

“Teteh, tidakkah kita kejam pada Abah?” tanya Alam.

“Abah yang kejam pada kita, De. Dia tidak pantas lagi menjadi seorang Ayah,” jawabku.

“Tapi, bukankan selama ini Abah yang sudah menjaga dan membesarkan kita, Teh,” katanya.

“Semuanya sudah berubah, De, dia bukan Abah kita lagi.” Aku menunduk.

“Teteh, janganlah bersikap egois!” serunya.

“Kenapa jadi Teteh yang egois? Abah hanya memikirkan dirinya sendiri dan Teteh yang menafkahi keluarga. Jadi siapa yang egois?” Aku menatap Alam.

“Aku mengerti,” ucapnya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Angin BerembusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang