Satu

24 7 4
                                    

Setelah lama pesawat mengudara, akhirnya kini landing juga di tanah impian. Haru biru sambutan bagi sang keluarga baru, terasa dramatis bagi semua yang menyaksikan.

Terlihat rekan kerja Hafshah menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Kesan pertama yang Hafshah rasakan tergambar jelas dari raut wajahnya yang begitu kuat tertanam. Keluarga baru, kehidupan baru, suasana baru dan lingkungan yang baru, ia rasakan tanpa beban sedikitpun.

Hari pertama Hafshah di Palestina, ia lakukan dengan pergi ke camp pengungsian tak jauh dari wilayah Gaza guna menyalurkan bantuan dari Indonesia. Bersama dengan rekan satu timnya, mereka menuju ke tempat itu bermaksud melihat langsung kondisi mereka.

Betapa bahagianya Hafshah ketika melihat para pengungsi yang begitu terang wajahnya bak bunga surga menyambut kedatangannya. Tampak juga sekerumunan anak kecil yang tengah menghafal Al-Qur'an dengan penuh semangat memenuhi penglihatan matanya.

Saat Hafshah mencoba bergabung bersama para hafiz dan hafizhah cilik itu, dengan cepat mereka menutup mushaf dan langsung terdiam. Pandang memandang mereka lakukan dengan ekspresi wajah berbeda antara satu sama lain.

"Assalamualaikum," salam hangat dari Hafshah mulai berdengung di telinga mereka.

Seketika halaqah para hafizhah cilik itu pecah lantaran mereka lari menjauh dari hadapan Hafshah.

Salah seorang pria menjelaskan bahwa anak kecil itu masih takut dengan kedatangan orang baru yang terkesan asing. Mereka mengira bahwa orang baru yang datang ke camp itu jahat, yang akan merebut tanah kelahiran mereka.

Mendengar penjelasan semacam itu Hafshah hanya tersenyum sembari mencari cara lain. Ia tak pernah mengira bahwa anak-anak kecil di sini rupanya masih trauma dengan apa yang terjadi selama ini.

Namun Hafshah tak patah arang. Masih banyak cara untuk bisa mendekatkan dirinya dengan anak-anak di wilayah ini.

Ia pun mengeluarkan satu kotak coklat lalu berteriak memanggil anak-anak itu. Dengan berbondong-bondong mereka pun mendatangi Hafshah guna mendapatkan jatah coklatnya.

"Alhamdulillah," batin Hafshah bergumam mendapati pemandangan indah seperti itu.

Dari kejauhan tampak langkah kecil seorang anak perempuan mendatangi Hafshah. Ia meminta coklat yang Hafshah bagikan kepada teman-temannya dengan penuh semangat.

Namun urung coklat yang ada di tangan Hafshah rupanya telah habis dibagikan. Anak kecil itu pun segera berlari diiringi tangis bergema menjauh dari Hafshah.

"Permisi, apa coklatnya masih ada Kak?" tanya seorang laki-laki yang tengah menggendong anak kecil itu datang kepada Hafshah.

Hafshah segera mendongakkan kepala agar dapat menangkap sosok laki-laki itu lebih jelas lagi.

"Maaf pak sudah habis. Tapi saya hanya punya satu bungkus roti sekarang," jawab Hafshah menyodorkan satu bungkus roti miliknya pada gadis kecil itu.

Dengan malu-malu gadis itu pun mengambil bungkus dari tangan Hafshah. Sungguh sangat menyejukkan hati melihat gadis kecil itu dapat tersenyum kembali.

"Ibunya kemana Pak? Kok nurut banget sama Ayahnya," Hafshah membuka percakapan pada pria tampan bernama Fawaz itu.

Mendengar pertanyaan Hafshah, Fawaz hanya tersenyum sembari mengusap keningnya sendiri.

"Maaf Kak, saya bukan Ayahnya," jawab pria itu sembari tertawa kecil.

Diam-diam Hafshah memaki dirinya dalam hati. Betapa bodohnya ia mengajukan pertanyaan yang sungguh tak masuk akal. Rasa-rasanya Hafshah ingin sekali membenamkan wajahnya di atas tanah gersang nan panas guna menahan malu yang sudah naik sampai ke ubun-ubun.

"Keluarganya telah meninggal satu minggu yang lalu sebab ledakan misil saat mereka berada di rumahnya. Akibat ledakan itu orang tua dan saudaranya meninggal, hanya dia seorang yang berhasil selamat," pungkas Fawaz akan nasib malah Rahma gadis cantik bermata terang yang menjadi tokoh utama pembicaraan mereka.

Mendengar cerita dari Fawaz. Tak sadar air mata Hafshah mulai berjatuhan. Ia tak bisa mengira bagaimana nasib Rahma selanjutnya.

Dalam kondisi yatim piatu ia harus bertahan di bawah guyuran hujan peluru seorang diri. Berlomba dengan maut yang setiap hari mengintai dirinya. Bertemu dengan tentara Israel yang tak segan-segan menculik anak-anak kecil seperti Rahma.

Bersama umur yang masih belia, Rahma telah merasakan pedihnya luka psikis akibat ini semua. Hanya seulas senyum manis bertabur luka yang selama ini menemani hari-harinya.

Merasa sudah tak kuat lagi menahan gemuruh dalam hatinya. Hafshah pun segera berlari menjauh dari hadapan Fawaz. Bulir air mata yang sedari tadi Hafshah bendung, terurai sudah tanpa tabir di sana.

"Umi... Abi... Hafshah kangen..." suara parau Hafshah bergema ketika ia berhasil mendaratkan ponsel tepat di telinga.

Namun pahit dirasa, tak ada secuil jawaban apa pun dari seberang sana. Kini kristal bening itu kembali  meluncur lebih deras dari sebelumnya. Beberapa kali ia mencoba menghubungi lagi tetapi nihil yang didapat.

"Umi... Abi..." beberapa kali Hafshah berucap memanggil nama itu dengan penuh gundah rindu dalam hatinya.

Tiba-tiba sebuah tangan seseorang mendarat begitu saja mencoba menghapus air mata Hafshah tanpa perintah.

"Jangan bersedih," ucap gadis kecil malang itu dengan senyum mengambang.

Seketika Hafshah langsung memeluk tubuh mungil Rahma. Betapa tegarnya gadis itu menerima semua kenyataan pahit ini. Kenyataan yang juga sekaligus mimpi buruk bagi semua anak-anak di negeri ini.

Rahma membawa Hafshah dengan menarik tangannya pergi. Tak ada yang dapat mereka bicarakan selain diam yang tak bersuara. Sebab kedua wanita itu memang belum mengerti akan bahasa masing-masing. Butuh bantuan Fawaz untuk bisa mengerti satu sama lain.

Setelah berjalan beberapa meter, langkah kecil Rahma pun berhenti. Ia membawa Hafshah ke sebuah pohon kecil berdaun kertas.

Saat Hafshah mulai menilik tulisan apa yang ada pada lembaran kertas itu, ia pun hanya bisa tersenyum.

Rahma memberikan Hafshah secarik kertas beserta spidol untuk ia hias di pohon itu. Pohon yang biasa digunakan untuk menulis nama-nama seseorang yang sangat dirindukan oleh anak-anak di sini.

Dengan senang hati Hafshah pun mulai menulis di sana. Nama Abi dan Umi Hafshah kini ikut bertengger di ranting pohon itu.

"I love you so much," ucap Hafshah mencium pipi Rahma dengan penuh kasih di sana.

"Rahma... Rahma..." teriak Fawaz dari kejauhan mencari keberadaan gadis kecil hebat itu.

Mendengar panggilan dari Fawaz dengan cepat ia berlari menuju sang dokter muda itu. Rahma mengacungkan jarinya kepada Hafshah ketika ia berhasil memeluk Fawaz untuk yang kesekian kalinya.

Merasa begitu penasaran, Fawaz pun melangkah mendekati Hafshah yang tengah fokus pada pohon kertas itu.

"Udah nggak usah sedih. Bukan kamu doang kok yang rasain kehilangan. Semua orang di sini juga," ucap Fawaz dari balik arah Hafshah memberi semangat padanya.

"Baru satu hari aja udah kayak gini apalagi satu tahun," jawab Hafshah bangkit dari tanah menghadap Fawaz dengan mata sembab bekas air mata.

"Enggak usah dipikirin, yang penting kita bisa berjuang di sini lillahitaala," sambung Fawaz kembali memberi semangat.

Mendengar untaian kata-kata Fawaz, rasa sedih Hafshah pun sedikit berkurang. Ia sangat bersyukur karena masih ada orang yang dapat menguatkan dirinya ketika ia sendiri.

Bersambung...

Thanks for reading guys...
Jangan lupa kasih vote...
Jumpa lagi di next chapter...

Love On Land Al-QudsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang