1. Satu Spesies

1.6K 110 14
                                    

Malam berganti siang.
Detik berganti menit.
Menit berganti jam.

Waktu silih berganti, tanpa bisa dicegah maupun dihentikan. Tak peduli meski kita ingin, waktu tiada peduli. Ia terus bergerak tanpa henti. Juga tak peduli seberapa keras kita berjuang, di ujung selalu kesia-siaan yang kita temui.

Mematikan, waktu itu mematikan. Bagi seorang gadis bersurai coklat sepunggung, waktu adalah salah satu hal yang ia takuti sekaligus ia benci.

Rambut coklat originalnya bergoyang-goyang mengikuti irama angin berhembus. Tangan mungilnya, terus menerus melempar batu ke arah danau asri yang nampak tenang menciptakan riak air dibeberapa titik permukaan danau. Semilir angin membelai lembut paras indahnya. Memanjakannya. Hingga terasa sedikit demi sedikit ia merasa ringan. Rileks dan nyaman.

Menepi, sendiri dalam sepi. Itu yang dilakukan sang gadis bersurai coklat. Menghela nafas berat, entah sudah keberapa kalinya. Meratapi takdir yang seolah tak pernah mau berpihak padanya. Waktu memang berputar namun baginya, takdir seiring berjalannya waktu tidak pernah berubah. Selalu, selalu dan selalu tak adil padanya.

Dunia memang indah, namun tak seindah bentangan alam buatan tangan manusia yang saat ini memanjakan mata madunya. Baginya, hidup itu hanyalah sebuah permainan. Permainan tak berujung...hanya berujung dengan kematian.

Ya, begitulah yang ia pikirkan ditengah kemelut sejuta cabang gundah gulana yang merangsek di rongga dadanya.

Mata bulat jernih itu berkedip, tangannya terangkat menjadikannya tempat hinggap bagi kupu-kupu cantik berwarna biru gelap.

Sangat mempesona.

Selang beberapa detik kemudian, kupu-kupu cantik itu kembali terbang melambung tinggi. Meninggalkan goresan kecewa pada wajah sang gadis.

Jarum jam ditangannya menunjukkan pukul 06.55 WIB. Tak terasa, ia yang sudah berada disini selama kurang lebih dua jam dan memakai seragam lengkap dengan tujuan-

Wait--Seragam? Sekolah? Jam berapa sekarang? Tidak. Masa iya di awal masuk ke sekolah barunya harus telat. Sungguh ini seperti adegan yang ada di cerita klasik dunia pernovelan.

Ia benci. Ia tak suka membaca novel atau apalah itu. Tapi, ia mendengar apa yang dibicarakan orang lain di sekitarnya. Dan itu cukup membuat hari harinya terasa begitu melelahkan.

Tersadar sesuatu, ia mengernyit, menatap seksama pantulan dirinya di air. Seketika, mata bulat itu semakin membulat diiringi pekikan nyaringnya. Ekspresinya lucu. Jeritannya berhasil membubarkan sekelompok burung yang sedang bertengger ria di dahan pohon tak jauh darinya duduk.

"Oh God. Gue telat!"

Sialnya, waktu gerbang sekolah ditutup kurang dari lima menit. Dan sekarang...ah sudahlah, kali ini ia akan mencoba menerima nasibnya tak peduli apapun konsekuensinya nanti.

Sepanjang jalan, bibir mungil gadis itu terus meluncurkan aksi-aksi menggerutu sebal. Sedikit lagi. Sedikit lagi kurang dari lima puluh meter ia sampai.

Namun untuk kesekian kalinya, laju mobil kebanggaannya tertahan lampu merah. Nafasnya lama kelamaan tidak teratur. Gugup dan emosi kini bercampur jadi satu.

Ah, salahkan saja ia yang pagi-pagi sudah keluyuran hingga membuatnya lupa waktu. Yang jadi pertanyaan, kenapa pagi-pagi sekali sudah berada di danau? Harus ya di danau sepagi itu?!

Ya, Ya, Ya! salahkan saja dia.

Gadis itu menyentakkan kepalanya ke kiri, panca inderanya menangkap sesuatu yang menurutnya menarik. Disana terdapat seorang pria tua berusia sekitar kepala lima sedang duduk bersandar pada sebuah pohon yang besar dan berusia sangat tua. Namun, rindang.

Sixth Sense : Rahasia SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang