2. Arah Takdir

725 78 9
                                    

"Lo?!"

"Lo–"

Cowok bule itu mengedipkan matanya, tersadar dari ke-tertegunan-nya. "Eh, ada cewek." Matanya berkedip genit.

"Sebentar, lo murid baru ya?"

Setengah tersadar gadis itu mengangguk kaku. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng. Mata bundar jernihnya mengerjap, sontak saja tanpa ditutupi pemuda di depannya terpesona. Lalu menatapnya intens seraya tersenyum kecil. Kalau diamati lebih seksama, senyumnya merupakan senyum lega.

"Lo...satu spesies kayak gue?" tanya sang gadis polos.

Otaknya sedang mencerna sesuatu. Kalau benar, takdir macam apa yang akan ia jalani di sekolah barunya. Takdir atau justru malapetaka baru buatnya?

Mata bundar gadis itu beradu pandang dengan netra hitam kelam cowok bule itu. Saling berkomunikasi tanpa sepatah kata yang terlontar dari dua mulut insan manusia. Dari hati ke hati. Dari pikiran ke pikiran. Lebih tepatnya, telepati.

Keduanya mengangguk kaku sebagai hasil sekaligus pertanda komunikasi selesai.

Akhirnya, entah karena kasihan atau karena apa. Cowok bule yang belum diketahui identitasnya itu membawa sang gadis duduk berhadap hadapan di bangku taman yang tak jauh darinya. Sadar atau tidak sadar sang pemuda itu melupakan tujuannya ke taman belakang yaitu bolos.

Taman belakang ini sepi. Terlebih jam pembelajaran sedang berlangsung. Hanya ada dua manusia ditambah beberapa sosok tak kasat mata.

Namun, mereka yang melihat tak berani mendekat atau pun mengusik keduanya. Terlalu berisiko. Satu langkah mendekat, entah hal buruk apa yang akan mereka dapatkan. Yang jelas, keduanya memiliki potensi luar biasa satu sama lain.

Keduanya istimewa. Indigo dengan kemampuannya masing-masing. Tetapi, keduanya memang lebih dari itu.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

Gadis itu mengernyit bingung. "Hah? Pertanyaan apa? Kapan lo ngomong?" Ujarnya kebingungan namun netra coklat terangnya terus menjelajah penjuru taman. Tak terlalu memperdulikan eksistensi cowok bule yang duduk di depannya dengan raut wajah tanpa riak.

Taman belakang ini luas serta asri. Banyak bunga-bunga yang beragam jenis tumbuh dan berkembang indah. Beberapa ada juga pohon yang tumbuh besar nan rindang. Dan ada kursi kayu panjang serta kursi duduk berhadap hadapan. Ada dua macam kursi duduk, yaitu tempak duduk berpasangan dan tempat duduk melingkar, yang satu ini cocok sekali untuk siswa siswi yang suka berkelompok dengan teman sebayanya.

Menurutnya, taman ini cukup memukau untuk ukuran sekolah. Nyaman dan mampu memanjakan mata. Terutama suasana yang tenang dan segar.

Mungkin setelah ini, tempat ini akan selalu menjadi tujuan sang gadis selain kelasnya.

Gadis itu tersentak kala merasakan sentuhan pada kepalanya seraya dihentakkannya pelan hingga wajahnya menghadap pemuda bule di depannya.

Reflek, secepat kilat tangannya menepis kasar tangan cowok itu. "Wowoo, santai girl. Gue gak ngapain-ngapain lo kok." Kedua tangannya ia angkat, bagai buronan yang tercyduk polisi.

Gadis itu menghunuskan tatapan tajamnya. Sedari dulu dan pada dasarnya, gadis itu tidak suka jika ada orang asing yang menyentuh dirinya secara serampangan.

"Gak ngapa-ngapain maksud lo? Siapa lo sentuh-sentuh gue. Apa itu namanya kalau bukan apa-apain hah?!" Serunya, nadanya sedikit membentak, tak terima dengan perlakuan pemuda itu yang kini justru tertawa tak berdosa. "Cih, dasar cowok."

"Bawel banget sih," balasnya tak kalah judes. "Lagian, kalau ada orang ngomong tuh di tatap matanya bukan malah jelalatan gak jelas." Kali ini nada bicaranya tegas. Wajahnya ia condongkan ke depan. Mengamati dengan raut datar garis wajah ayu sang gadis.

Sixth Sense : Rahasia SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang